Senin, 26 Mei 2014

Menyoal Kinerja Wakil Rakyat “Yang Terhormat”

Menyoal Kinerja Wakil Rakyat “Yang Terhormat”

M Rizki Pratama  ;   Alumnus Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIP UNAIR
OKEZONENEWS,  22 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Sudah satu bulan lebih kita banyak disibukan dengan berbagai atribut gelaran pesta demokrasi, mulai memilih para caleg hingga pada minggu kemarin KPU menetapkkan partai pemenang pemilu legislatif yang nyatanya sang jawarapun tak mampu meraih 20 persen suara, bahkan meskipun angka golput turun daripada pemilu sebelumnya angkanya kini bisa jadi menjadi pemenang karena hampir 25 persen pemilih memilih untuk tidak memilih dan tidak menggunakan hak pilihnya ditambah dengan suara yang tidak sah, meskipun angka golput dianggap turun dari pemilu periode sebelumnya (29 persen), banyak analisis menyebutkan rakyat sudah apatis dengan pemilu yang menjadi haknya sendiri, justru bukankah partai dan para personnya lah yang mencoreng pemilu yang seharusnya menjadi ajang keadilan bagi rakyat untuk menentukan dan mengubah masa depan, kini menjadi momen penuh ke sia-siaan jika kita melihat tingkah-polah partai yang direpresentasikan oleh wakil rakyat yang duduk pada hasil pemilu sebelumnya.

Pemilihan legislatif tentu sudah berakhir akan tetapi persoalan masa depan bangsa ini yang ada dibebankan para legsilatif pilihan rakyat tentu masih menjadi tanda tanya besar. Apakah dapat kita mengandalkan para legislator kita untuk membangun bangsa ini padahal acap kali ucapan ketika kampanye menjadi macan kertas ompong ketika sudah duduk di kursi empuk. Rakyat yang kecewa pun tak dapat berbuat banyak ketika mereka yang seharusnya menjadi saluran aspirasi justru mengalami konstipasi akut dalam mencerna aspirasi rakyat.  Masyarakat disuguhi tontonan menarik dari berbagai calon-calon wakil mereka di lembaga leglislatif, bahkan untuk menarik perhatian para pemilih caleg tak segan untuk menggelontorkan dana ratusan hingga miliaran rupiah dalam kegiatan kampanye, padahal dana yang dikeluarkan dipastikan akan membebani para caleg sendiri, banyak yang menjadi stres karena gagal terpilih bahkan berdasarkan fakta banyak yang tertangkap menjadi koruptor. Pemilih pasti akan mengalami keputusasaan ketika kepentingan bersama yang dahulu menjadi janji para caleg tak terpenuhi dan secara current sangat mungkin aspirasi terbaru pemilih sulit untuk masuk menjadi agenda politik dalam pengambilan kebijakan.

Sangat sulit untuk mengukur apa-apa yang caleg lakukan selama periode memimpin. Laporan dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)  menunjukkan fakta yang sangat menjengkelkan untuk menggambarakan kinerja para wakil rakyat. Formappi melakukan evaluasi terhadap kinerja semua anggota DPR periode 2009-2014, mulai dari laporan kekayaan ke KPK hingga keaktifan mereka. Hasilnya, mayoritas rapor anggota DPR itu sangat buruk. Mayoritas anggota DPR, yakni 435 (83,3 persen), anggota DPR berkinerja buruk. Hasil penelitian Formappi menyebutkan, sebanyak 117 anggota (22,5 persen) mendapat rapor buruk serta 318 anggota (61,3 persen) mendapat rapor sangat buruk. Meskipun dalam hal ini kinerja dalam dunia politik adalah intangible menurut riset ini adalah tetap menggambarkan fakta yang bahkan akan terus berulang ke depannya.

Tentu yang paling sulit bagi masyarakat adalah cara untuk memastikan aspirasi mereka dapat didingear oleh wakil rakyat sekaligus bagaimana cara untuk menghukum wakil rakyat yang bebal, solusi untuk tidak memilih mereka pada periode kedua juga tak akan menyelesaikan masalah sebab lima tahun bukanlah waktu yang singkat Kinerja para wakil rakyat terdaulu lebih sering bertentangan dengan kewajiban mereka (ambivalen), pekerjaan membuat UU sesuai dengan prolegnas juga tak banyak yang selesai, dan aspirasi masyarakat lebih banyak tak terwujudkan. Data Formappi merupakan kinerja pada masa lalu yang membuat masa kini pemilih semakin enggan untuk memilih mereka hasilnya banyak incumbent papan atas berguguran, selain itu faktor penghambat kinerja yang baik juga masih saja ditambah banyaknya potensi kecurangan dari para calon legislatif, mahalnya biaya ongkos dalam pesta demokrasi juga menjadi alasan banyak para wakil rakyat menjadi kontraproduktif ketika sudah duduk di kursi empuk DPR. Bambang Wijayanto (Kompas, 14/05/14) menyebutkan kecurangan itu dilakukan sebagian peserta dan penyelenggara pemilu yang sebagiannya juga melibatkan pemilih.

Lebih-lebih bila kecurangan itu didasarkan atas sikap dan perilaku koruptif dan kolusif. Semua itu dipastikan kelak berujung pada kualitas legitimasi hasil pemilu dan akhirnya akan berakibat pada kapasitas kinerja dan spiritualitas para legislator terpilih. Semua yang diawali oleh kecurangan pasti juga diakhiri oleh kecurangan pula, jika bagi-bagi uang dilakukan oleh caleg sebelum menjabat saja pasti ketika menjabat akan ambil-ambil uang rakyat. Politik uang menjadi pembeda kualitas antara calon legislatif yang berkualitas pasti tak mungkin berani menghamburkan uang untuk meraih simpati pemilih, trendnya justru politik uang semakin marak berdasarkan hasil survei yang dipaparkan oleh Agus Riewanto (Republika, 30/04/14) Menurut riset yang dilakukan oleh Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) pada 1.005 TPS di 25 provinsi cukup mengejutkan. Ternyata praktik politik uang meningkat pesat dari 10 persen pada Pemilu 2009 menjadi 33 persen pada Pemilu 2014.

Partai & Kepentingan Ekonomi VS Kepentingan Publik

Secara alami memang para caleg sampai berubah status menjadi legislator berumah pada partai akan tetapi keduanya harus bermuara pada hal yang sama yaitu rakyat yang memiliki isu yang sama atau disebut dengan publik, jadi sudah jelas jika ketika publik dirugikan partai dan  legislator dapat ditendang, akan tetapi sejauh ini kepentingan partai dan pribadi masing-masing masih menjadi yang nomor satu,  legislator makin kaya dan banyak partai terendus memakai dana hitam untuk operasionalnya, bahkan rakyat terlalu  jauh untuk berhubungan dengan para wakilnya yang terkadang tak pernah turun ke daerahnya. Hasil pengawasan terhadap dana kampanye oleh peserta  pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2014 yang diterbitkan oleh BAWASLU  pada akhir bulan April kemarin menunjukkan fakta bahwa pertama, banyak transaksi dana kampanye yang tidak jelas. Kedua, laporan tidak akuntabel dan transparan. Ketiga, partai politik tidak memiliki panduan dalam membuat pencatatan, serta keempat, hampir semua Partai Politik tidak memiliki kesiapan pembukuan laporan awal dana kampanye dan rekening khusus dana kampanye terkait keterangan dalam pemberian laporan secara rinci. Jadi masalah dana dalam partai menjadi salah satu hal yang sangat membebani kinerja legislator ketika akan melakukan gebrakan dan tidak diizinkan oleh partai sebab telah mendapatkan titipan dari oknum-oknum penyumbang dana.

Melacak buruknya kinerja wakil rakyat maka background partai yang busuk dengan kekusaan hitam untuk mengeruk sumber-sumber ekonomi membuat jangkauan tangan aspirasi rakyat semakin mahal dan tak terjangkau. Kita tidak akan pernah mempunyai sistem legislasi yang berkualitas jika dinamika partai tetap saja berjibaku mengamankan pos-pos untuk mengeruk sumber, sudah jadi rahasia umum ketika pos kementerian dan lembaga, hingga tim kerja dalam legislasi tertentu menjadi sarang mafia ekonomi. Semakin jauhnya aspirasi masyarakat akan membuat hasil legislasi juga tak akan bermutu, gugat menggugat antara masyarakat yang seharusnya memberikan aspirasi kepada legislator agar terjadi kebijakan yang partisipatif-deliberatif kepada aturan tertentu yang dibuat oleh DPR jelaslah maka trust rakyat akan semakin tergerus jika kinerja DPR tak pernah sesuai dengan harapan.

Salah satu yang mengkhawatirkan adalah ketika kegagalan mereka dalam memimpin akan membuat kesan pada rakyat bahwa sudah tak ada lagi lembaga terhormat yang mewakili mereka, akibatnya makna pentingnya politik yang sesugguhnya akan tergerus dan mungkin jika tak ada perbaikan sama sekali negara ini akan menuju failed state dan mungkin menjadi negara autopilot ketika kehidupan berbangsa dan bernegara yang seharusnya dicontohkan oleh para Negarawan yang duduk di majelis sudah salah kaprah. Inilah yang kita takutkan. keberadaan wakil rakyat memang sangat penting akan tetapi jika para legislator tetap bekerja sekadarnya seperti yang dulu-dulu, jangan berlebihan pula kita akan mengharap lebih para legislator baru yang telah kita pilih, mungkin banyak dari mereka yang berbuat curang yang tak pernah kita ketahui dan seseungguhnya kitalah yang menjadi korban. Tesis opini ini harus benar-benar menjadi perhatian jika memang para wakil rakyat memiliki kinerja yang superior jelas rakyat akan dengan suka cita menggunakan haknya, jika yang terjadi sebaliknya maka representasi wakil rakyat di lembaga legislatif tak ada artinya bahkan kesalnya cuma pemborosan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar