Persekolahan
tanpa Pendidikan
Daniel
Mohammad Rosyid ; Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur
|
JAWA
POS, 24 Mei 2014
KEKELIRUAN paling mendasar dalam pembangunan pendidikan selama
sejarah Indonesia modern adalah mempersempit pendidikan hanya sekadar
persekolahan belaka. Anggaran pendidikan yang semakin besar (tahun 2014
mencapai Rp 80 T) dialokasikan untuk memperbesar sistem persekolahan.
Pendidikan nonformal, apalagi pendidikan informal dalam keluarga di rumah,
dinomorduakan karena tidak terukur, tidak memiliki standar (lihat istilah
teknokratik standar pelayanan minimal), dan oleh karena itu dinilai tidak
bermutu. Anak yang tidak pernah bersekolah (seperti anak rimba) langsung
dianggap tidak terdidik dan kampungan.
Persekolahan mengubah belajar sebagai proses-proses yang alami
menjadi komoditas layanan pendidikan. Begitu belajar mensyaratkan
persekolahan, pendidikan langsung menjadi barang langka by definition. Ivan Illich telah menunjukkan dengan gamblang pada
akhir 1960-an bahwa massive schooling
system ala Amerika Serikat sang adidaya waktu itu telah gagal mewujudkan
pendidikan universal bagi warganya sendiri. Yang terjadi dari massive schooling system itu adalah massive miseducation. Hal ini berlaku
juga di Indonesia memasuki dekade kedua abad ke-21 ini, kira-kira 50 tahun
kemudian. Saya berkeyakinan, memperhatikan banyak fakta mutakhir pendidikan
Indonesia, masalah pendidikan kita saat ini adalah too much schooling, not the lack of it.
Yang paling dirugikan dari sistem persekolahan ini adalah warga
miskin, terutama yang tinggal di pedesaan dan daerah terpencil. Ini
kesimpulan yang tidak intuitif dan tidak populer, tapi memang demikianlah
adanya. Sekolah sangat bias kelas menengah perkotaan yang hidup dalam setting
industrial. Inilah akar sosiologis yang mengakibatkan urbanisasi global
selama seratus tahun terakhir, termasuk di Indonesia. Sebenarnya tidak ada "daerah
tertinggal" karena yang sebenarnya terjadi adalah "daerah yang
ditinggalkan" warga mudanya ke kawasan perkotaan.
Bukti massive miseducation itu antara lain adalah ujian nasional
(unas) sebagai puncak dari gejala sekolahisme yang memberhalakan persekolahan.
Kecurangan berupa nyontek masal terjadi secara masif dan sistemik, melibatkan
guru dan birokrat pendidikan. Sing jujur ajur. Unas yang dirancang untuk ikut
menentukan kelulusan siswa dari sebuah sekolah telah didaku sebagai alat
untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sekaligus dipakai sebagai alat
untuk memetakan capaian mutunya. Namun, hasil sigi internasional tepercaya
seperti Program in International
Student Assessment (PISA), Trends
in International Maths and Science Studies (TIMSS), serta The Learning Curve of Economic
Intelligence Unit menunjukkan bahwa kinerja pendidikan kita berhenti di
papan bawah: keaksaraan kita buruk dan kemampuan anak-anak Indonesia rendah
dalam hal berpikir orde tinggi seperti problem
solving.
Sebagai gejala sekolahisme, Kemendikbud lalu menyikapinya dengan
meluncurkan kurikulum 2013. Kurikulum baru ini diajukan sebagai penyempurnaan
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan dirumuskan sebagai bagian dari
upaya memperbesar sistem persekolahan: memperlama siswa tinggal di sekolah;
memperpanjang lama bersekolah hingga jenjang yang lebih tinggi; lalu
meningkatkan efektivitas pembelajaran melalui perubahan kurikulum, pelatihan
guru, serta perbaikan sarana dan prasarana sekolah. Pendek kata, Kemendikbud
percaya bahwa memperbesar persekolahan adalah resep untuk memastikan sebuah
bonus demografi yang bakal terjadi dalam 5-15 tahun ke depan. Hemat saya,
kerangka kebijakan ini keliru dan bakal menghasilkan tagihan demografi.
Kegagalan sistem persekolahan ini makin kentara justru di abad
internet ini. Internet sedang merobohkan tembok-tembok sekolah. Sebelum
adanya internet, belajar sebenarnya tidak pernah mensyaratkan guru dan
kurikulum yang njlimet rancangan para teknokrat ahli, apalagi formalisme
persekolahan.
Belajar semula adalah sebuah proses inside-out, pertumbuhan
bakat, minat, dan kapasitas anak yang unik. Kehadiran sekolah kemudian justru
merusak proses-proses alamiah dan spontan ini dan menjadikannya formalistis,
manipulatif, dan kaku serta outside-in penuh penyeragaman yang menghilangkan
keunikan anak. Kompetensi dan bahan kajian dirumuskan oleh perencana
kurikulum dan pasar kerja, bukan oleh warga belajar sendiri. Sir Ken Robinson
belum lama ini menegaskan bahwa sistem persekolahan adalah lembaga yang
paling bertanggung jawab atas krisis sumber daya manusia di abad ke-20. Kita
tidak mungkin melakukan revolusi mental dengan menggunakan mentalitas
standardisasi ala persekolahan.
Seperti mobil, sebenarnya kita tidak pernah membutuhkan sekolah.
Kita hanya menginginkannya, bahkan kecanduan sekolah. Sekolah merancukan
belajar dengan bersekolah. Kemudian kita merancukan kompetensi dengan gelar,
kesalehan dengan rumah ibadah, ketertiban dengan kantor polisi, mobilitas
dengan mobil, dan isi dengan bungkusnya. Seperti mobil pula, banyak sekolah
hanya tempat untuk menyombongkan diri atas status sosial kita. Akibatnya,
kita semakin tersekolahkan, tapi tidak makin terdidik sementara masyarakat
semakin terkotak-kotak dan kerekatan sosial kita merendah.
Memandang ke depan ini, harapan revolusi mental yang dikumandangkan para
calon presiden dalam Pilpres 2014 tidak bisa disandarkan pada sistem
persekolahan kita. Kita justru perlu mengurangi formalisme persekolahan, lalu
memperluas kesempatan belajar melalui jejaring belajar nonformal dan
informal. Terutama melalui penguatan keluarga sebagai satu simpul belajar
yang pertama dan utama. Kita perlu mengembalikan
tugas-tugas mendidik warga muda itu pada keluarga di rumah sebagai unit
edukatif sekaligus memperkuatnya menjadi unit produktif. Kekuatan bangsa ini
tidak boleh dipijakkan pada sekolahnya, tapi pada keluarganya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar