Senin, 26 Mei 2014

Satria Piningit

Satria Piningit

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  25 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Dalam pewayangan ada kisah tentang ksatria (biasanya Arjuna) yang mengembara untuk menuntut ilmu kasekten (kesaktian) kepada seorang begawan (petapa) yang sangat sakti mandraguna di tengah rimba belantara, di puncak gunung.

Biasanya dalam pakem cerita, sang ksatria jatuh cinta kepada putri begawan yang cantik jelita. Akhirnya mereka pun menikah dan melahirkan seorang putra yang bagus (bahasa Jawa, artinya: tampan) rupawan, seperti artis idola zaman sekarang: Ahmad Al Ghazali atau yang biasa dipanggil ”Al”. Ketika sang ksatria pulang ke kerajaannya, ksatria putra bagus berwajah Al itu tinggal di pertapaan, belajar ilmu kasekten, mengikuti jejak ayahnya.

Pada suatu hari, dia pun akan menjadi ksatria yang lebih sakti dari ayahnya, tetapi tidak ada yang mengenalnya, karena selama ini dia dipingit ( diisolasi) di pertapaan di atas gunung. Dialah yang dinamakan ”satria piningit” . Ketika pada suatu ketika kerajaan ayahnya sedang porak-poranda, yang dalam ramalan Joyoboyo disebutkan sebagai ”...banjir bandhang ono ngendhi-endhi, ghunung njebhlug tan anjharwani, tan angimpeni...”, yang artinya dalam bahasa Indonesia ”...dilanda banjir dan gempa bumi, gunung meletus, konflik sosial, huru-hara pilkada, diserang wabah MERS dan listrik PLN mati melulu...,” maka datanglah Satria Piningit yang dibantu oleh para dewa untuk membantu ayahandanya.

Dengan kedatangan Satria Piningit, maka kaburlah para raksasa dan ruh jahat, bencana alam mereda, kerusuhan padam, tetapi listrik justru menyala kembali. Negara pun kembali tenang, tata tentrem kerta raharja (aman sejahtera). Orang Jawa (dan juga kebanyakan orang Indonesia) sangat percaya pada mitos Satria Piningit ini. Karena itu pada setiap pergantian kekuasaan, selalu diharapkan hadirnya satria piningit yang datang di ajang goro-goro (istilah wayang di mana setan dan raksasa jahat memorak-porandakan jagat raya) dan mengusir semua bencana sehingga situasi negara bisa kembali aman dan terkendali.

Di zaman pasca-Perang Dunia II, hadir Bung Karno, satria piningit untuk memproklamasikan NKRI. Ketika Bung Karno mulai kelihatan gagal memimpin negara, datanglah satria piningit berikutnya, Soeharto, yang entah dari mana, tiba-tiba muncul untuk menyelamatkan perekonomian negara. Setelah itu giliran satria piningit SBY hadir untuk membereskan pekerjaan presiden- presiden pasca-Soeharto. Dan setelah SBY bolak-balik didemo lantaran kasus Bank Century dan banyak kasus yang lain, terjadilah Pemilu 2014 sekarang ini.

Reaksi masyarakat pun sama, mengharapkan hadirnya seorang satria piningit lagi. Siapakah satria piningit itu? Jokowi atau Prabowo? Siapa begawan-begawan yang telah mengajarkan mereka ilmu kasekten ? Tidak ada yang tahu. Yang jelas saat ini rakyat Indonesia terbagi dua antara pendukung Jokowi dan penganut Prabowo. Dua-duanya bersemangat, dua-duanya militan.

Tetapi siapa pun yang nanti jadi presiden, akan menghadapi tugas yang mahaberat selama mentalitas satria piningit masih ada. Mentalitas ini menunjukkan sikap menyerahkan segala persoalan kepada yang berkuasa, kepada raja, atau pemerintah, bahkan kepada Tuhan. Seringnya seruan ”Allahu Akbar” yang diteriakkan dalam unjuk rasa, konflik sosial, bahkan dalam mendukung salah satu capres menunjukkan sikap yang sama saja dengan kepercayaan kepada satria piningit, yaitu yang dalam istilah psikologi disebut locus of control external.

Psikolog JB Rotter (1954) mengemukakan bahwa ada dua tipe manusia, jika dilihat dari pusat kendali (locus of control ) atas perilakunya sendiri. Pertama locus of control external (LoCE) dan yang kedua adalah locus of control internal (LoCI). Orang-orang dengan LoCI percaya bahwa segala sesuatu (kegagalan maupun keberhasilannya) adalah hasil perbuatan dia sendiri. Kalau dia lulus ujian, karena ia merasa telah belajar giat, kalau gagal ia merasa karena kurang serius belajar. Sebaliknya seorang LoCE, kalau lulus adalah berkat Yang Mahakuasa (karena itu ia salat hajat sebelum ujian), sedangkan kalau tidak lulus karena dosennya sentimen padanya.

Maka orang yang percaya pada satria piningit menurut pendapat saya adalah orang-orang LoCE. Sifat kebanyakan orang Indonesia yang LoCE bisa dengan mudah kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Pada setiap keramaian sampah dibuang sembarangan dan berserakan ke mana-mana, karena orang percaya bahwa nanti kan ada tukang sampah yang membersihkan. Kalau ada kecelakaan lalu lintas sopir menyalahkan nasib, padahal dia yang lupa menyervis rem kendaraannya. Kalau banjir, minta bantuan pemerintah, atau mengeluh bahwa pemerintah lamban mengedrop bantuan, padahal penduduk sendiri yang membuangi sampah di kali.

Begitu juga dengan pilpres. Rakyat sudah pasti mengharapkan siapa pun yang terpilih bisa segera memakmurkan rakyat, menyediakan sekolah dan pengobatan gratis serta lapangan kerja dan sebagainya. Padahal, siapa pun yang terpilih jadi presiden akan menghadapi tantangan yang terberat, yaitu sikap LoCE yang masih sangat kuat, bukan hanya pada rakyat, tetapi juga pada jajaran aparat dan birokrasi pemerintah. Sikap ini harus secepatnya diubah. Dari sikap LoCE menjadi LoCI. Seluruh lapisan masyarakat harus diajak kerja keras. Pasal 33 UUD 45 harus dicapai melalui keringat semua insan Indonesia.

Aparatur pemerintah harus mewujudkan rencana Presiden dengan membantu, memudahkan dan memfasilitasi masyarakat yang akan bekerja. Kapal-kapal modern untuk para nelayan, jaringan irigasi dan distribusi pupuk murah untuk petani, pembangunan infrastruktur jalan raya dan seterusnya dan semuanya harus dibangun dengan duit pemerintah (dari pajak rakyat) atau dari uang investor ditopang oleh tenaga rakyat. Jangan lagi ada ganjal-mengganjal, jangan lagi ada BLT (Bantuan Langsung Tunai), karena BLT bisa berarti ”bukan langkah terpuji”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar