Sabtu, 24 Mei 2014

Nota Kecil untuk Badan Bahasa

Nota Kecil untuk Badan Bahasa

Sudaryanto  ;   Dosen FKIP UAD, Pengajar Tamu Bahasa Indonesia
di Guangxi University for Nationalities, Nanning, Tiongkok
HALUAN,  24 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Kongres Bahasa Indonesia (KBI) X di Jakarta telah tujuh bulan berlalu, sejak Oktober 2013. Lewat kongres itu pula, dihasilkan 33 butir rekomendasi yang menjadi keputusan KBI X. Salah satu butirnya ialah mendorong bahasa Indonesia agar bisa dipelajari dan dikenalkan di berbagai negara, termasuk di Tiongkok. Pertanyaannya kini, apakah butir rekomendasi ini sudah terlaksana? Jika ya, apakah berhasil atau sebaliknya? Apa-apa saja yang dapat dicatat di sini?

Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar FKIP UNS, Andayani (2013) menya­takan, semakin banyak negara yang mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing kedua setelah bahasa Inggris. Dia mencatat, di Australia terdapat 500 sekolah tingkat menengah yang sudah menga­jarkan bahasa Indonesia. Demikian pula, catatnya, di kawasan Asia Tenggara atau ASEAN yang telah memiliki pusat studi bahasa Indonesia seperti di Thailand.

Di Tiongkok, pada 23 Maret 2012 lalu, Mendikbud telah meresmikan Indonesia Center (Pusat Studi Indonesia) di Beijing Foreign Studies University (BFSU). Prof Wu Wenxia, seorang pensiunan pengajar bahasa Indonesia di BFSU, diangkat menjadi Direktur Indonesia Center. Peresmian Indonesia Center di BFSU kian menunjukkan betapa bahasa Indonesia telah dikenal dan dipelajari oleh mahasiswa Tiongkok.

Beberapa Catatan

Saya merasa perlu memberikan beberapa catatan, khususnya yang terkait dari Tiongkok. Pertama, prodi Bahasa Indonesia di sejumlah kampus di Tiongkok mengalami krisis staf pengajar. Saya catat, selain BFSU, masih ada empat kampus milik pemerintah yang menaungi prodi Bahasa Indonesia. Keempatnya ialah Peking University, Guangdong Foreign Studies University, Guangxi University for Nationalities (GXUN), dan Shanghai Internasional Studies University.

Prodi Bahasa Indonesia GXUN, misalnya, hanya memiliki tiga staf pengajar lokal dan seorang staf pengajar asing (tamu dari Indonesia). Sementara itu, merujuk Han (2012), prodi Bahasa Indonesia BFSU hanya memiliki seorang Prof Wu Wenxia. Lantas, prodi Bahasa Indonesia Peking University hanya memiliki dua orang staf pengajar lokal, Prof Liang Liji dan Prof Kong Yuanzhi. Kondisi serupa juga terjadi di kampus swasta di Tiongkok.

Di Xiangsihu College, misal­nya, prodi Bahasa Indonesia hanya memiliki dua staf pengajar lokal minus staf pengajar asing. Padahal, jumlah mahasiswa prodi Bahasa Indonesia Xiangsihu College cukup banyak sekitar 20 orang per ang­katan. Belum lagi mahasiswa jurusan lainnya yang mengambil mata kuliah Bahasa Indonesia sebagai bahasa asing mereka. Bisa Anda bayangkan, betapa padatnya jadwal mengajar kedua staf pengajar lokal tersebut.

Kedua, prodi Bahasa Indonesia di sejumlah kampus di Tiongkok mengalami krisis bahan bacaan. Mengutip Han (2012), karena adanya keterbatasan sumber bacaan dan tenaga ahli bahasa Indonesia saat itu, akhirnya Prof Liji dan Prof Yuanzhi memilih lebih menekuni bahasa Melayu. Di perpustakaan kampus GXUN, alih-alih menjumpai koran berbahasa Indonesia, justru yang ada buku-buku tebal berbahasa Mandarin. Di mana sumber bacaan bahasa Indonesia?

Hemat saya, keberadaan sumber bacaan bahasa Indonesia sangatlah penting. Betapa tidak, mahasiswa Tiongkok yang kuliah di prodi Bahasa Indonesia dan mengambil mata kuliah Bahasa Indonesia dapat mengetahui seluk-beluk infor­masi mengenai Indonesia dari bacaan yang dibacanya. Bahkan, jika perlu, sumber bacaan juga berbentuk e-book atau e-paper sehingga dapat dibaca di mana pun, baik di kelas, di taman, maupun di asrama mahasiswa.

Saya pikir, pihak Badan Bahasa tak akan keberatan jika mengirimkan sumber bacaan berbahasa Indonesia per bulan ke seluruh kampus di Tiongkok yang memiliki prodi Ba­hasa Indonesia. Apalagi, jika hal itu telah didukung oleh peme­rintah Tiongkok melalui Kedutaan Besar RRT di Jakarta, ­misalnya. Jadi, Badan Bahasa tidak perlu repot-repot membayar ongkos kirimnya. Apakah hal itu mungkin terjadi? Jawabnya: kenapa tidak!

Ketiga, prodi Bahasa Indonesia di sejumlah kampus di Tiongkok mengalami krisis komitmen pemerintah. Di Peking University, prodi Bahasa Indonesia digabungkan dengan prodi Bahasa Melayu, padahal tata bahasa antar­keduanya jauh berbeda meski serumpun. Alhasil, pola pembelajaran di prodi tersebut lebih mengarah ke pembelajaran bahasa Melayu. Ditambah lagi Prof Liji diberikan medali kehormatan oleh PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi pada 2004 lalu.

Sampai hari ini, saya belum pernah dengar berita penganugerahan medali kehormatan kepada Prof Wu Wenxia, atas jasa-jasanya mempromosikan bahasa Indonesia dari Presiden SBY. Juga, saya belum pernah dengar berita penganugerahan serupa kepada para dosen Indonesia yang telah mengajar bahasa Indonesia di luar negeri. Di UNY, misalnya, ada Dr Nurhadi dan Ari Kusmiatun yang telah mengajar bahasa Indonesia di Thailand dan Tiongkok.

Catatan Penutup

Sebagai penutup, saya perlu sampaikan dua hal berikut ini. Pertama, pihak Badan Bahasa dan Dikti perlu bekerja sama untuk mengatasi krisis staf pengajar asing atau tenaga ahli bahasa Indonesia. Dikti dapat berkoordinasi dengan seluruh universitas negeri dan swasta yang memiliki prodi Bahasa Indonesia, seperti UI, UNJ, UMJ, UPI, Unpas, dan sebagainya. Tiap-tiap staf pengajar yang dikirimkan diikat kontrak mengajar selama setahun di luar negeri, termasuk di Tiongkok.

Kedua, pihak Badan Bahasa dapat mengusulkan kepada Presiden SBY untuk memberikan medali kehormatan kepada para pengajar bahasa Indonesia di luar negeri. Misalnya, Prof Berthold Damhauser yang menjabat Ketua Jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Bonn, Jerman. Lantas, Prof Wu Wenxia (BFSU) dan Prof Yuanzhi (Peking University). Mereka telah berjasa dalam mempro­mo­sikan bahasa Indonesia di negaranya masing-masing.

Akhir kata, seperti halnya nota, tulisan ini saya tujukan kepada pihak Badan Bahasa agar lebih serius dalam menangani program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) di luar negeri, termasuk di Tiongkok. Di samping itu, yang tak kalah penting ialah adanya pemberian medali kehormatan bagi para pengajar bahasa Indonesia di luar negeri, baik pengajar yang berasal dari dalam negeri (baca: orang Indonesia sendiri) maupun luar negeri. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar