Belajar
Diam
Samuel
Mulia ; Penulis Mode dan Gaya
Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
|
KOMPAS,
25 Mei 2014
SAYA
seorang yang mudah sekali bereaksi melalui aktivitas bicara. Bahkan, ketika
teman atau klien berbicara, saya sudah tak tahan untuk menyela mengeluarkan
pendapat. Jadi persis seperti melihat ramainya perdebatan di televisi, baik
yang lokal maupun yang tidak lokal.
Tidak bisa diam
Sudah
sejak lama sekali saya diajarkan berbicara. Sejak baru lahir di muka bumi
ini. Kalau masih bayi mungkin menangis adalah sebuah bentuk kegiatan
berbicara. Kalau di masa pertumbuhan seorang anak belum menunjukkan
tanda-tanda mampu berbicara, kenyataan itu akan membuat panik orangtuanya.
Maka,
saya salut kepada dokter yang khusus mempelajari ilmu penyakit anak. Pasti
orangnya sabar setengah mati. Mendengar anak menangis, kemudian mencari tahu
apa penyakitnya, wah... itu sungguh luar biasa. Lha wong yang dewasa seperti
saya saja kadang susah menjelaskan. Sekalinya bisa menjelaskan, malah membuat
bingung yang mendengar.
Dalam
masa dewasa sekarang ini, berbicara tidak hanya diajarkan di dalam rumah dan
sekolah umum, tetapi juga sekolah khusus yang memberi layanan untuk melatih
kemampuan berbicara dengan baik dan benar. Tidak hanya untuk keperluan
pribadi, tetapi juga keperluan untuk berbicara di ruang publik.
Kalau
saya mencalonkan diri menjadi pemimpin, saya pikir belajar berbicara juga
harus dilakukan. Karena otak boleh saja pandai, tetapi karunia menerjemahkan
sesuatu yang pandai melalui aktivitas bicara yang dapat dimengerti dengan
benar oleh orang yang mendengarkan bukanlah milik semua orang.
Saya
sendiri suka terpukau kalau melihat seseorang pandai berbicara dan berwawasan
luas, ditambah dengan suaranya yang terdengar tak ada keraguan. Di mata saya,
ia kelihatan sangat berwibawa dan mampu meyakinkan khalayak. Hal yang
demikian itu, acap kali menginspirasi saya untuk menjadi manusia yang bisa
dikagumi lewat cara berbicara.
Berbicara
adalah sebuah aktivitas yang mengeluarkan suara. Dan, acapkali tanpa melihat
wajah manusianya, suara itu bisa melambungkan impian yang mendengarkannya ke
langit ketujuh. Saya sendiri juga tak tahu apakah memang benar langit itu ada
tingkatannya, seperti istilah indera keenam.
Ini
sering terjadi saat saya mendengarkan radio dengan suara penyiarnya. Duh...,
kalau mendengar suara yang enak didengar, empuk istilahnya, saya langsung
membayangkan ah... penyiarnya pasti tampan dan cantik.
Namun,
sudah dua kali saya tertipu karenanya. Ya..., namanya juga saya manusia.
Belajar berkali-kali, berkali-kali pula tertipu. Saya pernah berpikir, ada
kalanya enak tertipu dan menipu itu.
Bumerang
Selain
itu, dengan adanya fasilitas media sosial, nyaris setiap pagi saya membaca
atau dikirimi pesan-pesan yang menyemangati saya untuk berbicara, untuk
memperlihatkan sikap, untuk menuangkan isi kepala melalui suara.
Ketika
saya sedang menikmati semua yang bersuara itu, tiba-tiba sebuah pesan muncul
di telepon genggam saya. Pesan dari seorang bekas model kondang di negeri
ini. Ia tak pernah absen untuk mengirimi saya pesan setiap hari Jumat. Kadang
pesannya itu mengingatkan saya kalau akhir pekan sudah tiba.
Kali ini
begini pesannya berbunyi. Kita tidak hanya perlu belajar berbicara untuk
menjelaskan, tetapi juga belajar diam untuk mendengarkan. Pagi itu saya
seperti tersedak buah salak. Saya membacanya sampai mengulang dua kali.
Dan,
terdiam sejenak. Lalu merasa ah.., saya tersinggung. Tidak marah maksudnya,
tetapi saya kesetrum dan mengakui kebenaran dari pesan itu. Mengakui bahwa
sesungguhnya saya lupa kapan saya ini pernah belajar diam. Seingat saya, kok,
enggak pernah sama sekali. Sejak kecil, saya telah dilatih untuk berbicara,
saya dilatih untuk bersikap yang tegas dengan bersuara. Saya dilatih untuk
menjelaskan ini, itu, begini dan begitu.
Kebetulan
saya ini juga bawel dan sekali berkicau susah berhentinya. Saya itu merasa,
kalau saya tidak berbicara, orang akan menganggap saya goblok. Penting buat
saya untuk tidak kelihatan goblok meski sesungguhnya memang goblok.
Saya
merasa orang lain harus tahu kalau saya punya otak dan tak hanya punya gigi
taring. Saya ingin orang tahu kalau saya ini bisa menggigit dan mengaum.
Dengan bersuara, saya merasa lebih gimana gitu.
Meski
demikian, bersuara dapat menjadi bumerang karena menjadi indikator kebodohan
seseorang. Maka, acapkali saya mendengar komentar macam begini. ”Makanya diem aja. Makin banyak omong makin
kliatan gebleknya”.
Saya tak
tahu apakah saya akan berjanji untuk belajar diam. Karena, buat saya yang
suka bicara dan susah berhenti, itu mungkin akan menjadi sebuah terapi yang
menyiksa. Buat saya golden itu is not silent. Kalau bisa semakin
riuh, itu akan semakin golden.
Akan
tetapi, Lao Tzu, seorang filsuf, berkata begini. He who knows does not speak. He who speaks does not know! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar