Antara
Popularitas dan Strategi
James
Luhulima ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
24 Mei 2014
AKHIRNYA
hanya dua calon presiden yang maju dalam pemilihan umum presiden secara langsung
pada 9 Juli mendatang. Calon presiden pertama adalah Joko Widodo, Gubernur
DKI Jakarta. Joko Widodo diajukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang
meraih 18,95 persen suara dari 124.972.491 suara sah nasional dalam pemilihan
umum legislatif atau 109 kursi dari 520 kursi di DPR, Partai Nasdem (6,72
persen suara, 35 kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (9,04 persen suara, 47
kursi), dan Partai Hanura (5,26 persen suara, 16 kursi). Secara total, Jokowi
mendapatkan dukungan 39,97 persen suara (49.962.738 pemilih) atau 207 kursi
DPR (37 persen dari kursi DPR).
Sementara
capres kedua adalah Prabowo Subianto. Prabowo diajukan Partai Gerindra (11,81
persen suara, 73 kursi), Partai Persatuan Pembangunan (6,53 persen suara, 39
kursi), Partai Amanat Nasional (7,57 persen suara, 49 kursi, Partai Keadilan
Sejahtera (6,79 persen suara, 40 kursi), Partai Golkar (14,75 persen suara,
91 kursi), dan Partai Bulan Bintang (1,46 persen suara, 0 kursi). Secara
total, Prabowo mendapatkan dukungan 48,93 persen suara (61.137.746 pemilih)
atau 292 kursi DPR (52 persen dari kursi DPR).
Menarik
untuk melihat hasil pertarungan dari kedua capres itu karena pemilu presiden
langsung pada 9 Juli mendatang merupakan pertarungan popularitas melawan
strategi.
Dalam
survei yang diadakan harian Kompas, awal Januari 2014, Jokowi memiliki
tingkat elektabilitas yang tertinggi, yakni 43,5 persen, dan Prabowo di
tempat kedua dengan angka 11,5 persen. Namun, dalam pemilu legislatif, 9
April lalu, raihan suara PDI-P dengan mengusung Jokowi sebagai calon presiden
hanya 18,95 persen. Dalam survei Kompas, sebelum Jokowi ditempatkan sebagai
capres, diperkirakan perolehan suara PDI-P 21,8 persen dan dengan kehadiran
Jokowi sebagai capres diperkirakan raihan suara PDI-P akan lebih tinggi.
Namun, ternyata keadaan tidak seperti itu. Total raihan suara PDI-P dalam
pemilu legislatif ternyata 2,85 persen lebih rendah daripada yang
diperkirakan survei.
Orang
dapat berdebat mengenai faktor Jokowi berpengaruh atau tidak, tetapi sulit
membuktikan kebenarannya, kecuali jika pemilu legislatif diadakan dua kali,
satu kali tanpa menempatkan Jokowi sebagai capres dan yang kedua dengan
menempatkan Jokowi sebagai capres. Namun, dengan Jokowi sebagai capres,
raihan suara PDI-P 4,95 persen lebih besar daripada hasil pemilu legislatif
pada tahun 2009, yang hanya 14,03 persen.
Adapun
Gerindra, yang dalam survei Kompas, diperkirakan meraih 11,5 persen suara,
ternyata dalam pemilu legislatif meraih 11,81 persen atau 0,31 persen lebih
tinggi daripada yang diperkirakan survei. Itu suatu raihan suara yang cukup
baik. Capaian tersebut tidak terlepas dari strategi tepat yang dilakukan
Gerindra.
Ada hal
lain yang juga harus diperhitungkan dalam Pemilu Presiden 2014 ini, apakah
masyarakat dapat menerima Jokowi dipasangkan dengan Jusuf Kalla? Hal sama
juga berlaku bagi Prabowo. Apakah masyarakat dapat menerima Prabowo
dipasangkan dengan Hatta Rajasa?
Melihat
semua perkembangan akhir-akhir ini, baik PDI-P dan kawan-kawan maupun
Gerindra dan kawan-kawan harus berusaha sebaik-baiknya untuk dapat meraih
kemenangan dalam pemilu presiden yang akan berlangsung 46 hari ke depan.
Pertarungan pasti sangat sengit, tidak ada yang meragukan hal itu, tinggal
kita menunggu mana yang lebih berhasil, popularitas atau strategi yang tepat.
Kali ini
Gerindra dan kawan-kawan maju ke pemilu presiden dengan amunisi yang lebih
besar daripada PDI-P dan kawan-kawan. Gerindra dan kawan-kawan maju dengan
48,93 persen suara atau 292 kursi (52 persen dari kursi DPR), sedangkan PDI-P
dan kawan-kawan maju dengan 39,97 persen suara atau 207 kursi (37 persen dari
kursi DPR). Itu jauh di atas presidential threshold, yang mensyaratkan 25
persen suara atau 20 persen dari kursi DPR.
Namun,
hasil pemilu presiden pada masa lalu memperlihatkan bahwa suara atau kursi yang
banyak itu tidak cukup untuk meraih kemenangan dalam pemilu presiden. Dalam
pemilu legislatif pada tahun 2004, urutan teratas diraih Golkar dengan 23,27
persen dan PDI-P di urutan kedua dengan 19,82 persen. Sementara Partai
Demokrat berada di urutan keempat dengan 10 persen.
Ketika
pemilu presiden berlangsung, dalam putaran pertama, Golkar yang mengajukan
Wiranto dan Salahuddin Wahid hanya meraih suara 22,19 persen, sedangkan PDI-P
yang mengajukan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi meraih 26,24 persen.
Adapun Demokrat yang mengajukan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla
meraih 33,58 persen. Karena dalam putaran pertama tidak ada yang meraih suara
50 persen plus satu, dua calon presiden yang meraih suara terbanyak maju ke
putaran kedua. Dan, dalam putaran kedua, Yudhoyono dan Kalla meraih 60,62
persen, sedangkan Megawati dan Hasyim meraih 39,38 persen.
Pemilu
Presiden 2009 dianggap sebagai pengecualian. Popularitas Presiden Yudhoyono
membuat Partai Demokrat dalam Pemilu Legislatif 2009 meraih urutan pertama
dengan 20,85 persen. Dan, dalam pemilu presiden, Yudhoyono yang dipasangkan
dengan Boediono menang dengan 60,80 persen dalam satu putaran.
Kini,
ketika Yudhoyono tidak dapat dicalonkan lagi, dalam pemilu legislatif,
Demokrat hanya menempati urutan keempat dengan 10,19 suara. Demokrat telah
mencoba memancing perolehan suara dengan mengadakan konvensi untuk memilih
calon presiden yang akan diajukan Demokrat, tetapi ternyata upaya itu tidak
memberi hasil sebagaimana yang diinginkan.
Yang
paling menyedihkan adalah Golkar. Dalam Pemilu Legislatif 2014, Golkar
berhasil menempatkan diri di urutan kedua dengan raihan suara 14,75 persen,
tetapi tidak berhasil mengajukan calon presiden yang diusungnya. Kalah dengan
Gerindra, yang berada di urutan ketiga dengan raihan suara 11,81 persen.
Golkar yang seharusnya dapat mengambil keuntungan dari posisinya di tempat
yang kedua malah mengalami perpecahan di dalam. Ketika calon presiden yang
diusungnya tidak laku dijual, Golkar malah memaksakan calon presidennya,
tetap menjadi calon presiden atau calon wakil presiden, sehingga Golkar sulit
melakukan manuver. Dan, ketika pada akhirnya Golkar memutuskan mendukung
Prabowo, banyak tokohnya yang menentang.
Pemilihan
Gubernur DKI Jakarta pun memperlihatkan bahwa dukungan dari banyak partai
saja tidak cukup. Itu sebabnya, PDI-P dan kawan-kawan serta Gerindra dan
kawan-kawan harus bekerja sekeras mungkin untuk keluar sebagai pemenang. Kita
tunggu…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar