Minggu, 25 Mei 2014

Rakyat Mesir Memilih Pemimpin Baru

Rakyat Mesir Memilih Pemimpin Baru

M Hamdan Basyar  ;   Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI
KORAN SINDO,  24 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Pada 26–27 Mei 2014 ini, di Mesir ada pemilihan umum (pemilu) Presiden untuk memilih pengganti Presiden Mohammad Mursi yang telah digulingkan pada Juli 2013. Ini adalah kali kedua rakyat Mesir memilih pemimpin pascajatuhnya kekuasaan otoriter di bawah Hosni Mubarak, pada 11 Februari 2011. Terlihat dalam jangka waktu singkat yang kurang dari lima tahun, di Mesir ada dua kali pemilu presiden. Mengapa demikian? Siapa pemimpin Mesir berikutnya?

Islamisme vs Liberal

Seperti sudah diketahui, pada Februari 2011, di Mesir telah ada pergantian rezim. Penguasa lama, Hosni Mubarak yang berkuasa lebih dari 30 tahun, telah dilengserkan oleh rakyatnya. Sejak saat itu, Mesir mengalami masa transisi demokrasi. Pada awalnya, masa yang rentan itu dikawal oleh Dewan Agung Militer (Supreme Council of the Armed Forces/SCAF). Untuk sementara, SCAF yang berkuasa menentukan baik buruknya kehidupan politik Mesir. Mereka membuat amandemen terbatas pada Konstitusi Mesir, 30 Maret 2011 untuk memperkuat posisinya.

Misalnya, dalam pasal 53 disebutkan bahwa petahana (incumbent) anggota SCAF tetap berkuasa dan mempunyai kewenangan yang besar sampai ada konstitusi baru. Selanjutnya, rakyat Mesir melakukan tahapan demokratisasi. Mereka memulai dengan mengadakan pemilu Majelis Rakyat (parlemen). Pemilu ini diselenggarakan dalam tiga tahap, sejak Desember 2011 sampai Januari 2012 (enam minggu), untuk memilih 498 anggota parlemen. Sepuluh kursi anggota parlemen lainnya ditunjuk oleh penguasa militer. Dari 498 anggota yang dipilih tersebut, dua pertiga dipilih dari daftar calon partai politik, dan sepertiga dari calon independen.

Hasil pemilu parlemen Mesir yang diselenggarakan dengan bebas tersebut, menunjukkan Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) yang berafiliasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) memenangkan suara dengan 235 kursi (47,2%). Kemudian disusul oleh kelompok Salafi dengan Partai Nour yang memperoleh 121 kursi (24,3%). Kemenangan tersebut cukup mengagetkan kalangan elite Mesir yang cenderung liberal dan sekuler. Sudah puluhan tahun, kelompok IM ditekan dalam kehidupan politik Mesir. Selama pemerintahan Mubarak, IM adalah organisasi terlarang yang tidak boleh berkiprah secara formal.

Rakyat liberal dan sekuler semakin kaget, ketika dalampemilupresiden, yangmenang adalah Mohammad Mursi dari kelompok IM. Pada putaran kedua, 16-17 Juni 2012, Mursi memperoleh 51,7% suara pemilih. Dengan perolehan tersebut, Mursi menjadi presiden Mesir pertama pasca tumbangnya Hosni Mubarak. Akan tetapi, Mursi ternyata hanya berkuasa satu tahun, karena pada Juli 2013 militer Mesir mengambil alih kekuasaannya.

Pasca penggulingan Mursi, kelompok Ikhwanul Muslimin dibubarkan. Polisi dan tentara Mesir menangkap ribuan orang pendukung organisasi tersebut, termasuk para pemimpinnya. Dalam operasi militer Mesir, ratusan pendukung Ikhwanul Muslimin tewas. Mesir kembali dalam gejolak. Ratusan pendukung Ikhwan yang ditangkap kemudian dihukum mati. Alasan militer untuk memberangus Ikhwan adalah demi stabilitas rakyat Mesir. Kemudian militer dan para pendukungnya menata kembali kehidupan politik Mesir.

Ganti Siasat

Ketika keran demokrasi dibuka, awalnya rakyat Mesir memulai dengan pemilu anggota parlemen, kemudian disusul dengan pemilu presiden, dan referendum Konstitusi (2012). Ternyata hasilnya adalah kemenangan kelompok Ikhwanul Muslimin yang islamis. Kelompok itu dianggap hanya mementingkan golongan Islam dan mengabaikan kelompok lain yang ada Mesir. Maka, Ikhwan dikeroyok ramai-ramai dan diturunkan dari kekuasaannya.

Dalam penataan politik pasca kudeta militer terhadap kekuasaan Mursi, ada perubahan siasat. Konstitusi Mesir yang menjadi landasan kehidupan berakyat diutamakan dan dibahas terlebih dahulu. Maka, terbentuklah Komite-50 untuk mengubah Konstitusi Mesir hasil referendum, 2012. Konstitusi itu dianggap kontroversi oleh kalangan liberal dan militer. Mereka menganggap Konstitusi 2012 hanya mengadopsi kepentingan Ikhwanul Muslimin. Komite-50 menggodok perubahan Konstitusi Mesir yang kemudian disahkan dalam referendum pada Januari 2014.

Setelah Konstitusi dianggap beres, rakyat Mesir memilih seorang Presiden yang dapat menjalankan roda pemerintahan. Saat inilah, mereka memilih pemimpin baru. Ada dua calon Presiden akan dipilih. Mereka adalah mantan penguasa militer, Jenderal Abdel Fattah al-Sisi dan tokoh kelompok kiri, Hamdeen Sabahi. Kedua tokoh tersebut saling membantu dalam penggulingan Presiden Mursi, satu tahun lalu. Tidak ada calon presiden dari kalangan islamis. Partai Nour yang dianggap mewakili kaum Salafi, ikut mendukung Al-Sisi.

Ini adalah pertarungan antara kelompok yang menganggap revolusi belum selesai dan kelompok yang dianggap mempertahankan kekuasaan lama. Hamdeen Sabahi didukung oleh Partai Kebebasan Liberal, Partai Aliansi Rakyat Sosialis, Partai Konstitusi, Partai Keadilan, Partai Rakyat, dan kelompok kiri lainnya. Mereka beranggapan revolusi penumbangan Hosni Mubarak belum selesai.

Mereka akan terus berjuang untuk kebebasan bagi rakyat Mesir. Sebaliknya, Abdel Fattah al-Sisi didukung oleh Partai Wafd, Partai Tagammu, Partai Mesir Bebas, dan Partai Nour. Mereka menganggap sudah ada transisi menuju demokrasi. Dari popularitas kedua tokoh itu, tampaknya Al-Sisi akan memenangkan pertarungan dengan mudah. Nama Al-Sisi menjadi pembicaraan di Mesir, setelah dia dan kelompoknya mengudeta kekuasaan Mursi. Dia semakin populer setelah menyatakan keluar dari militer untuk menyiapkan diri sebagai kandidat presiden.

Hasil survei yang disiarkan oleh koran Al Ahram (3 Mei 2014), menyebutkan Al-Sisi akan memenangkan 72% suara rakyat Mesir. Sedangkan pemilih Sabahi hanya 2% suara. Ada 22% belum menentukan pilihannya, 3% menolak menjawab, dan 1% abstain. Survei yang sama juga menjelaskan 85% rakyat Mesir akan berpartisipasi dalam pemilu presiden, 10% akan golput, dan 5% belum memutuskan. Survei tersebut dilaksanakan pada 28 April–2 Mei 2014, dengan margin error3%.

Para pendukung Al-Sisi yakin mantan menteri pertahanan ini akan mulus menjadi presiden Mesir mendatang. Pemimpin Partai Nour, Younis Makhyoun, misalnya, mengatakan dalam suatu wawancara bahwa bila Al-Sisi tidak terpilih menjadi presiden, maka Mesir bisa menjadi ”collapse of the state.” (Al Ahram, 20 May 2014). Dia ingin menunjukkan betapa Al-Sisi sangat diharapkan untuk menjaga keamanan negara Mesir. Kalau benar-benar Al-Sisi menjadi presiden Mesir, bagaimana nasib Ikhwanul Muslimin? Tampaknya kelompok yang didirikan oleh Hassan al- Banna pada tahun 1928 itu tidak dapat lagi berkiprah dalam kehidupan Mesir.

Al-Sisi akan melanggengkan larangan eksistensi Ikhwan. Apalagi dalam Konstitusi hasil referendum 2014 disebutkan larangan partai politik yang berdasarkan agama. Ternyata pemberangusan Ikhwan itu tidak hanya dilakukan oleh Al-Sisi. Capres dari kelompok kiri, Sabahi, juga akan tetap melarang Ikhwan dalam kehidupan politik Mesir. Dalam sebuah wawancara dengan TV Al-Nahar (6 Mei 2014), Sabahi mengatakan: ”The Muslim Brotherhood will not exist as an organisation whose loyalty is to foreign entities, or as a political party. This is in accordance with the 2014 constitution which bans parties based on religion.” (Al Ahram, 7 May 2014).

Dengan demikian, tampaknya kelompok Islamis di Mesir akan semakin sulit dalam kehidupan kepolitikan di sana. Muslim, memang mayoritas di Mesir, tetapi kemunculan Islamisme akan ditentang oleh kaum liberal dan juga militer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar