Kamis, 01 Mei 2014

Demokrasi Kapitalistis

Demokrasi Kapitalistis

Radhar Panca Dahana  ;   Budayawan
MEDIA INDONESIA, 30 April 2014
                                                
                                                                                         
                                                             
SEORANG calon anggota legis latif (caleg) untuk parlemen tingkat pusat di salah satu daerah pemilihan (dapil) di Jawa Barat mengeluh keras kepada saya suatu kali. Ia, yang memang memiliki hubungan sangat dekat dengan saya, ialah figur politik yang sangat tidak asing di wilayahnya, baik sebagai aktivis mahasiswa puluhan tahun hingga menempati posisi penting dalam sebuah institusi politik. 

Selama setahun lebih ia berkeliling, memaparkan visi, melakukan pendekatan emosional, dan menciptakan hubungan kepercayaan dengan konstituennya.
Dengan keyakinan penuh, ia menguras sumber daya pribadinya, termasuk ekonomi, untuk hasrat memperjuangkan rakyat di wilayahnya di tingkat pusat. Menjelang hari akhir pelaksanaan pemilihan, seorang caleg dari partai lain, yang juga sahabatnya, hanya tertawa mendengar uraian optimistis orang dekat saya tersebut. “Lihat saja, nanti aku bom!“ kata caleg pesaing kepada sahabat saya. 

Semula sahabat saya kurang mengerti, sampai waktunya itu terjadi. Segala perjuangannya sia-sia, ia gagal masuk parlemen, karena semua konstituennya dilempar `bom' yang tak lain amplop-amplop berisi sejumlah uang dari caleg pesaingnya.

Cerita pendek di atas tentu saja telah menjadi cerita umum di negeri yang tengah memproses `upacara' modern dari tradisi demokrasinya: pemilihan anggota legislatif dan eksekutif (presiden). Sebuah upacara yang sangat mahal lantaran ia harus diurapi dan dimaknai oleh nilai material dan finansial yang sangat besar. Di luar contoh tersebut, ada caleg lain di dapil Jabar lainnya, yang meliputi Bogor dan Cianjur, menghabiskan tak kurang dari Rp14 miliar dana pribadinya untuk meraih posisi nomor satu di daftar kandidat partainya.

Berita beberapa media pun memberi kita informasi bagaimana ratusan caleg yang gagal terganggu keseimbangan emosi bahkan mental karena mengalami kerugian sangat besar, bahkan menghabiskan hampir seluruh simpanan atau harta benda mereka, karena mimpi dan obsesi menjadi anggota legislatif. Sebuah lembaga survei bahkan menerbitkan laporan penelitiannya yang menyatakan tak kurang dari 30% seluruh jumlah caleg--sekitar 200 ribu orang menurut KPU--terlibat dalam praktik money politics, kecurangan finansial dalam persaingan merebut kursi parlemen.

Hasil penelitian itu saya kira terlalu konservatif. Praktik kecurangan finansial dalam sejarah demokrasi kita yang cukup panjang, kini telah berlangsung begitu masif sehingga angka 50% pun terasa terlampau moderat. Lebih jauh lagi, praktik dari tradisi modern bernama demokrasi ini memang sebenarnya memiliki diktum yang tak terbantahkan: `siapa punya uang, dia menang'.

Barangkali, Anda juga tidak terkejut bila mengetahui kenyataan seperti ini sesungguhnya bukan monopoli atau menjadi ciri khas dari demokrasi Indonesia. Ia terjadi di mana-mana, mendunia. Termasuk di negara besar yang selama ini menganggap dirinya-¬juga merekayasa anggapan di hampir semua bangsa--adalah bangsa dengan praktik demokrasi terbaik, acuan dan contoh bagi negeri-negeri lain; Amerika Serikat.

Demokrasi atau monekrasi

Sebuah riset yang dilakukan dua lembaga riset ternama AS, Center for Responsive Politics dan National Institute on Money in State Politics, menelusuri aliran dan penggunaan uang oleh para caleg baik untuk Kongres maupun Senat AS, di tingkat negara bagian maupun federal. Hasilnya sungguh mengejutkan, jumlah anggota DPR ataupun Senat AS ternyata didominasi oleh mereka, para caleg, yang mengeluarkan uang atau biaya tertinggi di antara para pesaingnya.

Pada 2010 jumlah itu mencapai 85% untuk DPR dan 83% untuk Senat (DPD). Di tahun-tahun sebelumnya, angka-angka itu membengkak, 93% (DPR) dan 86% (DPD) pada 2008, 94% (DPR) dan 93% (DPD) di 2006, serta 98% (DPR) dan 88% (DPD) di 2004. Terlihat, pada 2006 dan 2004, bisa dikatakan hampir seluruh anggota parlemen (DPR) di AS mengikuti kompetisi demokrasi dengan mengandalkan jumlah kekayaan atau harta benda yang dimiliki untuk memenangi pertaruhan.

Fakta itu sudah memberi kita bukti, demokrasi bukan lagi sebuah medan perjuangan ketika idealisme dan ide-ide kebangsaan atau masa depan dipertaruhkan demi kemaslahatan rakyat yang--konon--adalah pemilik kedaulatan tertinggi. Demokrasi telah menjadi medan perang perebutan kekuasaan yang sematamata berbasis atau mengandalkan kemampuan atau kapasitas modal/kapital untuk menang atau meraih kekuasaan itu.

Kata `demos' dalam demokrasi seharusnya sudah diganti oleh terma lain, seperti modal, kapital atau uang, menjadi kapitakrasi atau monekrasi. Demokrasi saat ini telah menjadi sebuah wahana penting dan efektif bagi pelaksanaan bahkan penguasaan kapitalisme, lebih khusus lagi, para kapitalis yang sebelumnya sudah menguasai sumber-sumber ekonomi sebuah negeri.

Inilah sebuah larutan atau hibridasi baru dari dua entitas modern paling mencekam dan paling global penetrasi ideologisnya: demokrasi kapitalistis. Dua kekuatan utama yang mengendalikan dunia, hidup sebuah bangsa, bahkan manusia di tingkat kehidupan personalnya, melakukan semacam peleburan ideologis dan praktis untuk saling memperkuat diri, lebih tepat, untuk lebih memberi garansi bagi dominasi mereka pada sisa dunia, atau rakyat pada umumnya.

Kita tidak bisa berpaling. Apa yang teridentifikasi dari kata `mereka' sebagai pemilik kuasa politik dan kapital yang bersatu itu adalah orang-orang yang sama. Segolongan elite kecil yang jumlahnya tidak lebih dari 0,1% dari total penduduk sebuah negara. Apa arti dari realitas-hiper ini? Semua pihak saya kira bisa membaca dari bilik atau sudut pandang/kepentingannya sendiri-sendiri.

Setidaknya kita kini mengetahui, peri hidup kita selama ini, dari seluruh dimensinya, tidak lain terawasi, terkontrol bahkan dikendalikan oleh kuasa-kuasa yang selama ini--sadar atau tidak sadar--menggengam urat nadi dari kehidupan kita: politik dan ekonomi. Dua kata atau entitas budaya itulah yang kini menjadi panglima bagi seluruh elemen sosial dan budaya lainnya, mulai hukum, pendidikan, keilmuan, agama, hingga kesenian.

Siapa pun mengerti dan mungkin pernah mengalami, bagaimana praksis-praksis dalam dunia hukum hingga legitimasi artistik sebuah kesenian ternyata tidak lepas, bahkan berada di bawah kendali kuasa politik dan ekonomi. Siapa punya uang, ia kuasa, ia menang. Dalam lapangan kebudayaan di belakang hari, uang bisa menentukan siapa menjadi penyair, pengarang, bahkan budayawan.

Dalam dunia pendidikan, lihatlah beberapa usaha komersialisasi pendidikan yang mendirikan supercamp untuk siswa-siswa kelas III SMA yang ingin memasuki perguruan tinggi. Mereka dilatih dan dijamin dapat lolos ke perguruan tinggi dengan membayar pelatihan di supercamp hingga lima puluhan juta rupiah. Siapa punya uang, dia kuasa, dia menang. Pendidikan kita, secara sistemis, ternyata sudah menjadi alat dari internalisasi ideologi demokrasi kapitalistis, demi kepentingan elite lokal ataupun global, yang kita biayai menggunakan uang kita sendiri.

Ini bukan lagi ironi, melainkan tragedi dari dunia pendidikan di negeri ini. Tapi tragedi itu sudah terjadi. Bukan hanya di kalangan generasi muda, generasi masa depan bangsa ini, melainkan juga pada seluruh elemen yang membangun, mempertahankan, dan mengembangkan bangsa dan kebudayaan yang menopangnya. Apakah semua soal ini, apakah horison semacam ini, tertangkap apalagi tertuang dalam visi dan misi dari para calon presiden kita? Anda sendiri bisa memeriksanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar