Menyoal
Model Capres Berkampanye
M
Jamaluddin Ritonga ; Dosen Komunikasi Universitas Esa Unggul Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Mei 2014
KAMPANYE pemilihan presiden
(pilpres) secara resmi akan digelar 4 Juni-4 Juli 2014. Partai pendukung
(koalisi) telah mendeklarasikan keunggulan komparatif pasangan bakal
capres-cawapres yang diusung dan sudah mendaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum
(KPU). Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla diusung koalisi PDIP, NasDem, PKB, dan
Hanura. Koalisi Gerindra, PAN, PPP, PKS, Golkar, dan PBB mengusung pasangan
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Keunggulan setiap pasangan dijadikan kata
kunci untuk dijual kepada calon pemilih.
Untuk melaksanakan kampanye
pilpres, partai pendukung (koalisi) juga sudah mempersiapkan platform yang
akan diwujudkan pasangan bakal capres-cawapres mereka. Platform yang diusung
tentu yang dinilai paling jitu dan feasible untuk menyelesaikan persoalan
bangsa dan negara kekinian dan mendatang.
Agar menarik, platform dan
keunggulan bakal caprescawapres disulap dengan beragam kemasan yang kemudian
ditawarkan kepada calon pemilih melalui berbagai saluran komunikasi. Kemasan
pesan yang diterima calon pemilih ada yang berisi keunggulan komparatif platform
dan calon partai pendukungnya, tapi tidak sedikit yang menyudutkan platform
dan calon partai pendukung yang menjadi kompetitor. Tujuannya tentu untuk
memengaruhi psikologis calon pemilih agar memilih platform dan calon pasangan
capres-cawapres mereka pada 9 Juli 2014.
Kemasan kampanye demikian
tampaknya akan mengemuka dalam kampanye pilpres 2014. Partai pendukung
menggunakan segala cara untuk memperoleh dukungan sebanyak mungkin calon
pemilih dengan klaim bahwa platform
mereka paling prorakyat serta capres-cawapresnya paling nasionalis, religius,
amanah, pelindung HAM, dan merakyat.
Meminimalkan hujatan
Kampanye pemilu model pendekatan
mesin politik seharusnya sudah tidak relevan diterapkan di era reformasi. Rakyat
yang memiliki hak pilih tidak selayaknya dijadikan objek politik, yang hanya
mengamini platform yang ditawarkan
partai pendukung capres-cawapres. Sebagai pemilik kedaulatan negara, sudah
sepatutnya para pemilih dijadikan subjek politik dengan melibatkan mereka
dalam menentukan platform dan capres-cawapres setiap partai pendukung.
Kalau mekanisme itu dilakukan
partai pendukung peserta Pilpres 2014, setiap partai saat berkampanye tidak
lagi menawarkan platform yang terasa asing bagi pemilih. Partai pendukung
juga tidak lagi sekadar gagah-gagahan dan asal tampil beda dalam menetapkan
capres-cawapresnya. Platform dan capres-cawapres yang diusung partai
pendukung seharusnya sudah familier dan konvergen dengan calon pemilih.
Kalau kampanye pilpres mengacu pada
platform dan capres-cawapres yang
sesuai dengan harapan masyarakat, kebiasaan para caprescawapres saling
menghujat dapat diminimalkan. Perang ayat suci, merasa partai pendukungnya
paling agamais, paling nasionalis, paling bersih, dan paling berjasa terhadap
negeri ini tidak akan mengemuka lagi. Setiap parpol dengan kepekaan empatinya
berlomba-lomba mengemas platform
dan kandidat capres-cawapres dengan ragam pendekatan persuasif, terutama
penggunaan pesanpesan yang rasional.
Untuk mengoptimalkan kampanye
yang rasional, kampanye melalui pendekatan kelompok, organisasi, dan media
massa kiranya dapat dijadikan pilihan.
Pendekatan itu dapat dikombinasikan
sesuai karakteristik dan situasi pemilih serta kemampuan finansial setiap
partai pendukung. Makin terintegrasi kombinasi pendekatan tersebut digunakan,
akan makin efektif kampanye yang dilakukan. Tentu makna efektif di sini tidak
sekadar dapat mendulang pemilih sebanyak-banyaknya, tetapi yang lebih penting
setiap partai pendukung capres-cawapres telah melaksanakan komitmennya untuk
mewujudkan kampanye pilpres sebagai sarana pendidikan politik yang edukatif.
Dengan model kampanye seperti
itu, pemilih akan mendapat suguhan pendidikan politik yang benar-benar
edukatif. Pemilih tidak lagi mendapat janji kosong dan asal bunyi dari para
capres-cawapres. Partai pendukung dalam berkampanye juga tidak lagi menjual
kucing dalam karung, tetapi benar-benar menawarkan platform yang rasional dan capres-cawapres yang familier dengan
pemilih.
Tergantung platform
Model kampanye demikian memang
belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Dalam menetapkan platform dan capres-cawapres
misalnya, masih banyak partai pendukung yang menerapkan pendekatan otoriter.
Dominasi petinggi partai tampak begitu kuat, terutama dalam menetapkan platform serta memutuskan
capres-cawapres. Usulan capres-cawapres yang berasal dari DPC dan DPD,
termasuk aspirasi masyarakat, kerap dimentahkan begitu saja oleh petinggi
setiap partai pendukung dengan berbagai alasan, terutama karena kewenangan
sudah diberikan kepada ketua umum.
Jadi, platform dan caprescawapres yang ditawarkan partai pendukung pada
kampanye Pilpres 2014 tidak konvergen dengan harapan para pemilih. Dalam
kondisi demikian, partai pendukung dan caprescawapres mereka menjadi sulit
mempengaruhi psikologis para pemilih untuk berpartisipasi pada Pilpres 2014.
Kecenderungan tersebut
dikhawatirkan membawa dua kemungkinan bagi calon pemilih. Bagi pemilih
terdidik, mungkin akan memilih golput karena tidak yakin dengan platform dan
capres-cawapres yang diusung partai pendukung.
Celakanya, jumlah pemilih
terdidik yang berasal dari kaum muda merupakan jumlah terbesar dalam Pilpres
2014. Kalau itu terjadi, partai pendukung capres-cawapres turut memberi
kontribusi meningkatnya golput di Indonesia.
Pemilih yang tidak terdidik
mungkin akan tetap menggunakan hak pilih mereka bila mendapatkan iming-iming
dari partai pendukung. Kalau itu terjadi, politik uang akan tetap marak pada
Pilpres 2014. Hal itu tentu akan memberi cacat dalam pelaksanaan demokrasi di
Indonesia, sehingga tujuan untuk meningkatkan kualitas Pilpres 2014 sulit
diwujudkan.
Dengan kecenderungan kampanye
pilpres yang diperagakan setiap partai pendukung capres-cawapres, tentu sulit
mengharapkan terlaksananya kampanye pilpres yang rasional. Kampanye pilpres
sebagai sarana pendidikan politik pun dengan sendirinya akan sulit terwujud.
Setiap partai pendukung dan capres-cawapres lebih banyak mengumbar
janji-janji kosong yang tidak familier dengan calon pemilih. Yel-yel partai
pendukung dan penampilan artis-artis pun tetap menonjol daripada pemaparan
platform yang konvergen dengan calon pemilih.
Realitas tersebut menjadi cermin
bahwa partai pendukung capres-cawapres pada Pilpres 2014 tak pantas
menyandang partai reformis. Semua parpol itu hanya menggunakan jubah
reformasi, tapi bermental otoriter. Hal itu patut disadari semua partai
pendukung caprescawapres. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar