Demokrasi
Kapitalistis
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 30 April 2014
SEORANG calon anggota legis
latif (caleg) untuk parlemen tingkat pusat di salah satu daerah pemilihan
(dapil) di Jawa Barat mengeluh keras kepada saya suatu kali. Ia, yang memang
memiliki hubungan sangat dekat dengan saya, ialah figur politik yang sangat
tidak asing di wilayahnya, baik sebagai aktivis mahasiswa puluhan tahun
hingga menempati posisi penting dalam sebuah institusi politik.
Selama
setahun lebih ia berkeliling, memaparkan visi, melakukan pendekatan
emosional, dan menciptakan hubungan kepercayaan dengan konstituennya.
Dengan keyakinan penuh, ia
menguras sumber daya pribadinya, termasuk ekonomi, untuk hasrat
memperjuangkan rakyat di wilayahnya di tingkat pusat. Menjelang hari akhir
pelaksanaan pemilihan, seorang caleg dari partai lain, yang juga sahabatnya,
hanya tertawa mendengar uraian optimistis orang dekat saya tersebut. “Lihat
saja, nanti aku bom!“ kata caleg pesaing kepada sahabat saya.
Semula sahabat
saya kurang mengerti, sampai waktunya itu terjadi. Segala perjuangannya
sia-sia, ia gagal masuk parlemen, karena semua konstituennya dilempar `bom'
yang tak lain amplop-amplop berisi sejumlah uang dari caleg pesaingnya.
Cerita pendek di atas tentu saja
telah menjadi cerita umum di negeri yang tengah memproses `upacara' modern
dari tradisi demokrasinya: pemilihan anggota legislatif dan eksekutif
(presiden). Sebuah upacara yang sangat mahal lantaran ia harus diurapi dan
dimaknai oleh nilai material dan finansial yang sangat besar. Di luar contoh
tersebut, ada caleg lain di dapil Jabar lainnya, yang meliputi Bogor dan
Cianjur, menghabiskan tak kurang dari Rp14 miliar dana pribadinya untuk
meraih posisi nomor satu di daftar kandidat partainya.
Berita beberapa media pun
memberi kita informasi bagaimana ratusan caleg yang gagal terganggu
keseimbangan emosi bahkan mental karena mengalami kerugian sangat besar,
bahkan menghabiskan hampir seluruh simpanan atau harta benda mereka, karena
mimpi dan obsesi menjadi anggota legislatif. Sebuah lembaga survei bahkan
menerbitkan laporan penelitiannya yang menyatakan tak kurang dari 30% seluruh
jumlah caleg--sekitar 200 ribu orang menurut KPU--terlibat dalam praktik money politics, kecurangan finansial
dalam persaingan merebut kursi parlemen.
Hasil penelitian itu saya kira
terlalu konservatif. Praktik kecurangan finansial dalam sejarah demokrasi
kita yang cukup panjang, kini telah berlangsung begitu masif sehingga angka
50% pun terasa terlampau moderat. Lebih jauh lagi, praktik dari tradisi
modern bernama demokrasi ini memang sebenarnya memiliki diktum yang tak
terbantahkan: `siapa punya uang, dia menang'.
Barangkali, Anda juga tidak
terkejut bila mengetahui kenyataan seperti ini sesungguhnya bukan monopoli
atau menjadi ciri khas dari demokrasi Indonesia. Ia terjadi di mana-mana,
mendunia. Termasuk di negara besar yang selama ini menganggap dirinya-¬juga
merekayasa anggapan di hampir semua bangsa--adalah bangsa dengan praktik
demokrasi terbaik, acuan dan contoh bagi negeri-negeri lain; Amerika Serikat.
Demokrasi atau monekrasi
Sebuah riset yang dilakukan dua
lembaga riset ternama AS, Center for
Responsive Politics dan National
Institute on Money in State Politics, menelusuri aliran dan penggunaan
uang oleh para caleg baik untuk Kongres maupun Senat AS, di tingkat negara
bagian maupun federal. Hasilnya sungguh mengejutkan, jumlah anggota DPR
ataupun Senat AS ternyata didominasi oleh mereka, para caleg, yang
mengeluarkan uang atau biaya tertinggi di antara para pesaingnya.
Pada 2010 jumlah itu mencapai
85% untuk DPR dan 83% untuk Senat (DPD). Di tahun-tahun sebelumnya,
angka-angka itu membengkak, 93% (DPR) dan 86% (DPD) pada 2008, 94% (DPR) dan
93% (DPD) di 2006, serta 98% (DPR) dan 88% (DPD) di 2004. Terlihat, pada 2006
dan 2004, bisa dikatakan hampir seluruh anggota parlemen (DPR) di AS
mengikuti kompetisi demokrasi dengan mengandalkan jumlah kekayaan atau harta
benda yang dimiliki untuk memenangi pertaruhan.
Fakta itu sudah memberi kita
bukti, demokrasi bukan lagi sebuah medan perjuangan ketika idealisme dan
ide-ide kebangsaan atau masa depan dipertaruhkan demi kemaslahatan rakyat
yang--konon--adalah pemilik kedaulatan tertinggi. Demokrasi telah menjadi
medan perang perebutan kekuasaan yang sematamata berbasis atau mengandalkan
kemampuan atau kapasitas modal/kapital untuk menang atau meraih kekuasaan
itu.
Kata `demos' dalam demokrasi seharusnya sudah diganti oleh terma lain,
seperti modal, kapital atau uang, menjadi kapitakrasi atau monekrasi.
Demokrasi saat ini telah menjadi sebuah wahana penting dan efektif bagi
pelaksanaan bahkan penguasaan kapitalisme, lebih khusus lagi, para kapitalis
yang sebelumnya sudah menguasai sumber-sumber ekonomi sebuah negeri.
Inilah sebuah larutan atau
hibridasi baru dari dua entitas modern paling mencekam dan paling global
penetrasi ideologisnya: demokrasi kapitalistis. Dua kekuatan utama yang
mengendalikan dunia, hidup sebuah bangsa, bahkan manusia di tingkat kehidupan
personalnya, melakukan semacam peleburan ideologis dan praktis untuk saling
memperkuat diri, lebih tepat, untuk lebih memberi garansi bagi dominasi
mereka pada sisa dunia, atau rakyat pada umumnya.
Kita tidak bisa berpaling. Apa
yang teridentifikasi dari kata `mereka' sebagai pemilik kuasa politik dan
kapital yang bersatu itu adalah orang-orang yang sama. Segolongan elite kecil
yang jumlahnya tidak lebih dari 0,1% dari total penduduk sebuah negara. Apa
arti dari realitas-hiper ini? Semua pihak saya kira bisa membaca dari bilik
atau sudut pandang/kepentingannya sendiri-sendiri.
Setidaknya kita kini mengetahui,
peri hidup kita selama ini, dari seluruh dimensinya, tidak lain terawasi,
terkontrol bahkan dikendalikan oleh kuasa-kuasa yang selama ini--sadar atau
tidak sadar--menggengam urat nadi dari kehidupan kita: politik dan ekonomi.
Dua kata atau entitas budaya itulah yang kini menjadi panglima bagi seluruh
elemen sosial dan budaya lainnya, mulai hukum, pendidikan, keilmuan, agama,
hingga kesenian.
Siapa pun mengerti dan mungkin
pernah mengalami, bagaimana praksis-praksis dalam dunia hukum hingga
legitimasi artistik sebuah kesenian ternyata tidak lepas, bahkan berada di
bawah kendali kuasa politik dan ekonomi. Siapa punya uang, ia kuasa, ia
menang. Dalam lapangan kebudayaan di belakang hari, uang bisa menentukan
siapa menjadi penyair, pengarang, bahkan budayawan.
Dalam dunia
pendidikan, lihatlah beberapa usaha komersialisasi pendidikan yang mendirikan
supercamp untuk siswa-siswa kelas
III SMA yang ingin memasuki perguruan tinggi. Mereka dilatih dan dijamin
dapat lolos ke perguruan tinggi dengan membayar pelatihan di supercamp hingga lima puluhan juta
rupiah. Siapa punya uang, dia kuasa, dia menang. Pendidikan kita, secara sistemis, ternyata sudah
menjadi alat dari internalisasi ideologi demokrasi kapitalistis, demi
kepentingan elite lokal ataupun global, yang kita biayai menggunakan uang
kita sendiri.
Ini bukan lagi
ironi, melainkan tragedi dari dunia pendidikan di negeri ini. Tapi tragedi
itu sudah terjadi. Bukan hanya di kalangan generasi muda, generasi masa depan
bangsa ini, melainkan juga pada seluruh elemen yang membangun,
mempertahankan, dan mengembangkan bangsa dan kebudayaan yang menopangnya. Apakah
semua soal ini, apakah horison semacam ini, tertangkap apalagi tertuang dalam
visi dan misi dari para calon presiden kita? Anda sendiri bisa memeriksanya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar