Senin, 23 Agustus 2021

 

Revolusi Kebaikan

Idi Subandy Ibrahim ;  Pengajar di Magister Ilmu Komunikasi (MIK) Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung; Pengajar Luar Biasa di Program Doktor Agama dan Media/Studi Agama-Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung;  dan Pengajar Luar Biasa di MIK Pascasarjana FISIP Universitas Brawijaya (UB) Malang

KOMPAS, 21 Agustus 2021

 

 

                                                           

Pandemi Covid-19 telah menghadirkan berbagai kesulitan bagi rakyat Indonesia. Kesulitan yang tak terbayangkan sebelumnya. Akan tetapi, rupanya dalam setiap kesulitan bersama selalu menyembul berkah. Munculnya kehendak untuk bahu-membahu dan menguatnya rasa solidaritas di berbagai lapisan masyarakat untuk bangkit bersama.

 

Momen peringatan Proklamasi Kemerdekaan Ke-76 RI punya makna mendalam. Karena juga menjadi momen perjuangan dan harapan. Perjuangan di tengah ketidakpastian melawan ”musuh” tak terlihat. Juga harapan untuk bangkit dengan semangat kebersamaan.

 

Memasuki tahun kedua pandemi, kita seperti sedang membuka kembali buku sejarah baru, di mana setiap orang menulis kisah hidupnya sendiri. Ketika dibuka, ia membentangkan cerita mengenai kesedihan, kecemasan, depresi, kesusahan, kerentanan, dan tekanan hidup. Tetapi juga menggoreskan kisah ketabahan, kesabaran, daya tahan, persatuan, dan kecintaan manusia kepada kebaikan.

 

Penduduk Indonesia berjumlah sekitar 257 juta jiwa, 35 juta di antaranya tergolong kurang beruntung. Bagi orang kecil, kehidupan pada masa pandemi seperti berjalan di terik matahari yang tanpa pelindung. Kita tahu tidak sedikit rakyat setiap hari harus berjuang agar selalu ada makanan di atas meja mereka. Kini dampak PHK dan keterbatasan akses usaha semakin menjatuhkan harapan mereka sampai titik terendah. Bantuan pemerintah atau masyarakat yang sampai kepada mereka seperti tetesan air di tengah dahaga.

 

Bantuan pemerintah tidak selalu sampai ke tangan yang paling membutuhkan. Jika pun sampai, tidak selalu digunakan seperti yang diharapkan pemerintah. Aksi solidaritas kemanusiaan dari berbagai pihak, termasuk para sukarelawan, selama pandemi menjadi alternatif kecil dalam membantu menutupi celah berbagai keterbatasan tersebut.

 

Bagaimanapun, di tengah berbagai kesulitan, rasa optimisme muncul bahwa harapan itu tidaklah sedang menggantang asap atau mengukir langit. Kini kita menyaksikan bahwa lembaran sejarah pada masa pandemi juga ditulis pribadi-pribadi yang berani. Mereka yang menulis kisah hidupnya dengan pengorbanan dan kebaikan. Mereka yang berani menanggung risiko. Tak jarang demi orang lain yang melampaui dirinya. Seperti kisah perjuangan tenaga kesehatan atau petugas dan aparat berhati mulia.

 

Api kedermawanan dan rasa welas asih tidak pernah redup dalam hati dan tetap terjaga dengan baik dalam tindakan. Orang merasa berbahagia selama ia dapat berbuat baik untuk orang lain. Setiap hari kita menyaksikan berita betapa rasa kemanusiaan tidak pernah padam di hati orang-orang kecil. Orang yang membagikan makanan, minuman, obat, dan camilan kepada banyak orang. Orang-orang yang dengan kemampuan terbatas mengulurkan tangan bantuan kepada yang membutuhkan. Seperti para sukarelawan tanpa menunggu komando memainkan orkestra kebaikan hati dan kedermawanan. Untuk membantu meringankan beban kalangan masyarakat bawah yang terkena dampak langsung pandemi.

 

Gejolak pandemi yang belum sepunuhnya surut akan seperti mendaki puncak gunung terjal sehingga dibutuhkan kerja sama dari para pendaki agar bisa sampai dengan selamat bersama di tujuan. Kerja sama dari sejumlah komponen bangsa, aktor-aktor negara, dan non-negara dalam berbagai jenjang dan jalur dalam melibatkan diri secara aktif meringankan beban masyarakat bawah yang terkena dampak langsung pandemi dan pembatasan sosial sudah tidak bisa ditawar-tawar.

 

Dalam sebuah dunia di mana miliaran orang terhubung dengan media sosial, komunikasi dan pesan kebaikan bisa menjadi penyembuh bagi mereka yang merasa sendirian karena terisolasi dari orang lain. Kita menyaksikan, kini para artis, pejabat, dan aparat mulai rajin blusukan membagikan bantuan sosial, seperti kebutuhan pokok, kepada masyarakat bawah sambil mengabarkannya ke berbagai platform media sosial. Meski ada yang mengkritiknya sebagai semacam ”narsisisme kedermawanan”, dampak baiknya jelas lebih terasa bagi masyarakat ketimbang mereka tidak melakukannya.

 

Sayangnya, dunia digital juga tak jarang menjadi pemicu kesalapahaman dan simpang siur mengenai berbagai hal yang terkait dengan pandemi. Celakanya, tak jarang pula justru ada pihak yang meraup keuntungan dari viral dengan adanya kegaduhan seputar pandemi atau vaksinasi. Dalam masyarakat yang sedang tertekan, disinformasi dan misinformasi bisa menjadi pemantik perpecahan. Semakin rendah tingkat kepercayaan terhadap sumber resmi, akan semakin membuat hoaks menjadi primadona. Mengembalikan keterpercayaan informasi pemerintah adalah jalan lain penyembuhan ”pandemi” di dunia digital.

 

Di masa seperti ini, kita perlu melakukan revolusi kebaikan, memperluas imajinasi kita secara radikal dalam memandang kebaikan dan apa artinya berbuat baik. Kita perlu menumbuhkan apa yang disebut Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet, sebagai ”atmosfer kebaikan” di berbagai bidang kehidupan. Semakin tinggi kedudukan, semakin besar ruang untuk berbuat baik. Semakin besar materi, semakin besar peluang untuk melakukannya.

 

Akhir-akhir ini kita melihat kecenderungan kuat terhadap perlunya pengakuan atas hak-hak binatang. Para penyayang binatang bisa menghabiskan uang jutaan rupiah per bulan untuk makanan dan perawatan hewan piaraannya. Jika manusia bisa begitu peduli dengan nasib binatang, pada masa pandemi ini, imajinasi kebaikan itu tinggal diperluas kepada anak-anak yang kehilangan orangtua dan mungkin akan menjalani masa depan tak pasti jika tanpa solusi perlindungan.

 

Para ahli menyebutkan, imajinasi kebaikan terkait erat dengan kapasitas empati. Empati adalah perekat yang mengikat kemanusiaan kita. Dengan empati, kita menempatkan diri pada posisi orang lain. Kita merasakan penderitaan dan kesusahan orang lain. Ketika digunakan untuk memperluas kepedulian, empati berfungsi sebagai panduan untuk merekatkan rasa solidaritas komunitas dan menatanya untuk keluar dari kesulitan.

 

”Memupuk empati memungkinkan kita membantu tidak hanya diri kita sendiri,” demikian kata Helen Riess dalam buku The Empathy Effect (2018), ”tetapi juga semua orang yang berhubungan dengan kita, baik untuk sesaat maupun seumur hidup.”

 

Menumbuhkan peradaban dan budaya empati adalah tantangan kemanusiaan kita saat ini. Sekian lama para ahli menyebut seni dan sastra bisa menumbuhkan kapasitas empati. Karena, seni dan sastra bisa menumbuhkan kepekaan akan keindahan dan kehalusan perasaan akan kehidupan. Seni dan sastra yang relevan dengan siswa akan mendekatkannya dengan kehidupan sekaligus menajamkan rasa kepedulian dan kecintaannya kepada manusia dan lingkungannya. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/21/revolusi-kebaikan/

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar