”Quo
Vadis” RUU Pemasyarakatan? Rizky Karo Karo ; Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita
Harapan/Pemberi Bantuan Hukum di LKBH FH UPH |
KOMPAS, 4 Agustus 2021
Sosialisasi
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) berjalan mulus, tanpa
hambatan. Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kumham) tengah gencar
menyosialisasikan RKUHP dan berharap tidak ada lagi demonstrasi besar-besaran
menolak pengesahan RKUHP yang berpotensi menimbulkan kluster penyebaran
Covid-19. Diskusi
publik secara hybrid (daring dan luring) untuk menyerap aspirasi dari seluruh
kalangan masyarakatan, unsur akademisi, unsur praktisi, unsur penegak hukum,
dan unsur masyarakat umum sering dilakukan di seluruh wilayah Indonesia.
Meskipun begitu, menurut hemat penulis, RUU Pemasyarakatan jangan dilupakan,
jangan hanya menargetkan RKUHP harus segera diundangkan. Namun, pembahasan,
sosialisasi RUU Pemasyarakatan tidak semasif RKUHP. Pemidanaan
tidak akan artinya tanpa pembinaan narapidana untuk memberikan keadilan di
lembaga pemasyarakatan, mengembalikan martabatnya, untuk memanusiakan manusia
sebagaiman fungsi teori keadilan bermartabat (Teguh Prasetyo, 2015). Selain
itu juga menjadikan narapidana sebagai
orang yang baik dan dapat diterima kembali oleh masyarakat, serta tentu tidak
akan mengulangi perbuatan pidana yang sama atau melakukan perbuatan pidana
yang lain. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan) menjadi dasar hukum
untuk sistem pemasyarakatan. UU Pemasyarakatan sudah saatnya juga diubah,
harus segera mengikuti perkembangan zaman, dan segera diundangkan jika
pemerintah menargetkan RKUHP untuk diundangkan pada tahun ini. Jika tidak,
maka pejabat yang berwenang, dan petugas di lembaga pemasyarakatan (lapas),
akan kesulitan untuk menyesuaikan bentuk-bentuk pemidanaan sebagaimana diatur
dalam RKUHP. Masalah
klasik sistem pemasyarakatan di Indonesia ialah kapasitas lapas dan rumah
tahanan yang telah melebihi kapasitas (overcapacity), jumlah petugas lapas
yang tidak seimbang dengan narapidana, dan terkadang ada juga tahanan yang
dititipkan, dan sering kita membaca atau mendengar di berita, terjadi
perbuatan pidana di lapas, salah satunya peredaran narkotika di lapas. Apakah
wacana menambah lapas di Indonesia menjadi solusi? Menurut hemat saya, tidak,
dan cenderung akan memiliki potensi, meningkatnya jumlah narapidana, terlebih
saat ini kita masih berperang melawan Covid-19 yang juga berdampak pada
perekonomian keluarga, namun masyarakat tetap butuh makan. Orang yang sudah
tidak dapat berpikir jernih, dapat saja dia rela melakukan perbuatan pidana
karena dia berpikir, di luar saya tidak makan, tapi di lapas, di penjara,
saya tentu diberi makan karena itu adalah salah satu hak tahanan, hak
narapidana yang dijamin oleh undang-undang. Bentuk
pemidanaan yang akan diatur dalam RKUHP terdiri dari pertama, pidana pokok;
kedua, pidana tambahan; ketiga, pidana yang bersifat khusus tindak pidana
tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Pidana pokok yang terdiri dari
pidana penjara, pidana tutupan, pidana
pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial. Pidana
tambahan terdiri atas pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu
dan/atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi, pencabutan
izin tertentu, dan pemenuhan kewajiban adat setempat. Ketiga, pidana yang
bersifat khusus merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara
alternatif. Sedangkan,
berdasarkan Pasal 10 KUHP, pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana
tambahan. Pidana pokok terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana
kurungan, pidana denda, pidana tutupan. Kedua, pidana tambahan terdiri atas
pencabutan hak-hak tertentu,
perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim. Oleh
karena itu, RUU Pemasyarakatan juga harus segera diundangkan untuk
menyesuaikan bentuk pemidanaan dalam RKUHP. Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kumham perlu menyiapkan bentuk pemidanaan yang baru tersebut,
misalnya bagaimana cara pelaksanaan pidana pengawasan? Bagaimana pelaksanaan
pidana kerja sosial, apakah akan salah satunya dilaksanakan juga di lapas
sekian jam tertentu? Apakah narapidana tetap di lapas atau dapat menjalankan
pemidanaan sebagaimana putusan pengadilan yang inkracht van gewijsde? Bagaimana persiapan anggaran, apakah
Permenkumham Nomor 40 Tahun 2017 tentang Pedoman Penyelenggaraan Makanan Bagi
Tahanan, Anak, dan Narapidana juga akan disesuaikan jika RKUHP dan RUU
Pemasyarakatan diundangkan? Marwah pemasyarakatan Pasal
3 UU Pemasyarakatan menyatakan sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan
warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan
masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang
bebas dan bertanggung jawab. Namun menurut pendapat penulis yang harus
diperhatikan adalah bagaimana pembinaan terhadap narapidana agar narapidana
tidak menjadi residivis mengingat narapidana pencurian motor dapat belajar
bagaimana cara mencuri mobil di dalam lapas. Salah
satu ketentuan kontroversial dalam RUU Pemasyarakatan adalah hak rekreasi
kepada narapidana. Menurut hemat penulis, hal tersebut akan mendatangkan
kebaikan bagi narapidana. Pertama, narapidana akan mendapatkan kesempatan
untuk menjernihkan pikiran, psikisnya. Kedua, mengurangi niat oknum dan
menghindari perbuatan melawan hukum yang dulu pernah terjadi, bahwa ada
narapidana yang pelesiran bebas ke Bali. Namun,
Kumham wajib membuat peraturan pelaksana terkait pengawasan rekreasi
tersebut, apakah hanya diperbolehkan dalam hitungan jam, atau hari, kriteria
narapidana apakah yang mendapatkan hak tersebut? Pemidanaan bukanlah sebagai
ajang balas dendam sebagaimana teori klasik hukum pidana, teori absolut. Menurut
Jeremy Bentham dalam Muladi dan Barda Nawawi (1992), bahwa pidana ditetapkan
pada tiap kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih berat dari
pada kesenangan dan kenikmatan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Oleh
karenanya, RUU Pemasyarakatan harus juga segera dibahas dan sering
disosialisasikan walau tidak masuk sebagai daftar RUU Prolegnas Prioritas
2021. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar