Pustakawan
dan Tantangan di Era Antroposen Frial Ramadhan Supratman ; Pustakawan di Perpustakaan Nasional |
KOMPAS, 14 Agustus 2021
Ketika
mengikuti berbagai seminar dan diskusi kepustakawanan, serta melihat
tulisan-tulisan yang dibuat para pustakawan di media maupun jurnal ilmiah,
saya melihat kebanyakan pustakawan cukup serius –sekaligus khawatir –terhadap
tantangan Revolusi Industri 4.0 yang ada di depan mata. Sebagai salah satu
profesi yang terancam keberlangsungannya akibat otomatisasi, pustakawan
menyiapkan berbagai “formula” untuk dapat bertahan, beradaptasi, bahkan
memberikan kontribusi di masa Revolusi Industri 4.0 Tidak
ada yang salah dari usaha tersebut. Namun terlepas dari kebutuhan pustakawan
untuk beradaptasi di era Industri 4.0, tidak banyak dari mereka yang
menyadari bahwa terdapat era lain yang sudah menghampiri manusia dari sudut
pandang geologi, yaitu era Antroposen. Ihwal era Antroposen memang masih
sedikit diperbincangkan oleh profesi-profesi di luar saintis di Indonesia. Baru-baru
ini sejarawan Universitas Chicago, Dipesh Chakrabarty, menulis buku mengenai
era Antroposen dengan judul The Climate of History in a Planetary Age. Buku
ini ditulis di luar kelaziman kajian sejarah yang hanya membicarakan masa
lalu dari sudut pandang politik, ekonomi, militer, dan diplomasi dengan
periodisasi yang sempit. Buku ini nampak sebagai buku “Big History” yang
menyadarkan kita bahwa gerak sejarah tidak dapat lepas dari perubahan alam.
Terlebih lagi pandemi Covid-19 telah menunjukkan dengan jelas bahwa manusia
merupakan bagian dari perubahan alam dan lingkungan. Sebagai
bagian dari “keluarga besar” ilmuwan sosial humaniora, pustakawan nampaknya
harus ikut terlibat dalam memikirkan era Antroposen. Posisi pustakawan
sebagai pengayom dunia literasi akan menjadi sangat vital dalam memberikan
kesadaran, pengetahuan, dan informasi kepada masyarakat bahwa planet bumi
yang kita huni tidak berjalan baik-baik saja, ada masalah besar yang harus
dihadapi bersama. Jika tidak, pengabaian terhadap kondisi alam akan semakin
membahayakan kehidupan manusia di masa depan. Era Antroposen Antroposen
berasal dari kata anthropo yang berarti “manusia” dan cene yang berarti
“baru”. Kata ini menjadi populer ketika ahli kimia yang sekaligus peraih
Nobel Kimia, Paul Crutzen, dan spesialis ilmu kelautan, Eugene F Stoermer,
menerbitkan pernyataan singkat pada tahun 2000 yang menyatakan bahwa era
Antroposen ditandai dengan “semakin meningkatnya dampak aktivitas manusia
pada bumi dan atmosfer...”. Dengan
demikian, jika melihat argumen Crutzen dan Stoermer, maka era Antroposen
sekaligus mengakhiri era Holosen yang dimulai 11.700 tahun yang lalu. Dalam
jurnal Nature tahun 2002, Crutzen menyatakan bahwa era Antroposen telah
dimulai pada akhir abad ke-18. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya
methane dan konsentrasi karbondioksida secara global. Era
Antroposen dipahami dengan kemunculan manusia sebagai kekuatan geofisik
global sejak awal 1800 ketika industrialisasi mulai berkembang dengan
memanfaatkan bahan bakar fosil. Indikator dari era ini adalah konsentrasi
karbondioksida yang semakin meningkat. Sejak tahun 1950 konsentrasi
karbondioksida di atmosfer meningkat dari 310 ppm hingga menjadi 380 ppm
(Steffen, Crutzen, McNeill, 2007). Dalam
era Antroposen, manusia berperan penting dalam menentukan kelangsungan
kehidupan di bumi. Hal ini terlihat dari perubahan alam drastis yang terjadi
belakangan ini yang berkaitan dengan deforestisasi, pemanasan global, serta
perubahan iklim dan ekologi. Disadari atau tidak, kerusakan alam yang terjadi
berpengaruh juga terhadap bencana alam yang seringkali menerpa kehidupan
manusia. Inklusi sosial Dipesh
Chakrabarty (2021) menyatakan bahwa krisis perubahan iklim merupakan krisis
banyak dimensi. Jadi, ini bukan hanya urusan ahli biologi, geologi, atau
lingkungan, tetapi juga harus menjadi perhatian para ahli ilmu sosial
humaniora, seperti pustakawan. Pustakawan menjadi salah satu profesi yang
harus ikut berpartisipasi dalam menyadarkan manusia di era Antroposen melalui
kegiatan literasi informasi. Dengan
menyadari bahwa bumi telah memasuki era Antroposen, pustakawan seharusnya
lebih memperkuat lagi peran sosial dan kebudayaannya di dalam masyarakat.
Salah satu upaya yang harus diperkuat oleh pustakawan dan perpustakaan di era
Antroposen adalah penguatan inklusi sosial. Dengan
mewujudkan kebijakan berbasis inklusi sosial, maka perpustakaan tidak lagi
hanya menunggu masyarakat datang untuk meminjam buku, tetapi menjadikan perpustakaan
sebagai wahana untuk berdiskusi dan memahami permasalahan nyata yang sedang
dihadapi. Dalam hal ini, tugas pustakawan tidak lagi hanya melakukan
manajemen koleksi dan pengetahuan, tetapi harus mengarah pada kegiatan
transfer pengetahuan kepada masyarakat secara adil. Dalam
era Antroposen, pustakawan seharusnya memberikan penguatan literasi informasi
kepada masyarakat bahwa manusia dan alam bukanlah dua hal yang terpisah dan
berbeda. Baik manusia maupun alam adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tradisi
ilmu pengetahuan modern seringkali melakukan pemisahan antara alam dan
manusia sehingga kegiatan manusia seakan-akan terpisah dari perubahan alam,
begitu juga sebaliknya. Sejarawan dan filsuf RG Colingwood, misalnya,
menyebut bahwa “semua sejarah merupakan sejarah manusia” (Chakrabarty, 2021).
Hal tersebut nampaknya tidak lagi cocok di era Antroposen yang melihat bahwa
alam tidak dapat terpisahkan dari manusia. Pustakawan yang berpihak Salah
satu tantangan untuk menggerakan pustakawan di era Antroposen adalah
menggiring pustakawan untuk lebih berpihak pada nilai dan moral. Masih banyak
diantara pustakawan yang cukup puas dengan atribut “obyektif” dalam melihat
permasalahan. Padahal ilmu perpustakaan sebagai bagian dari ilmu sosial humaniora
seharusnya dapat lebih berpihak pada nilai dan moral. Dalam
era Antroposen, keberpihakan terhadap nilai dan moral sangatlah penting.
Dalam era ini, manusia menjadi kekuatan geofisik global seiring dengan
meningkatnya urbanisasi, penggunaan lahan, globalisasi, populasi manusia,
penggunaan energi, transportasi dan komunikasi antarwilayah. Hal tersebut
berdampak pada komposisi atmosfer, iklim, karbondioksida, aliran sungai,
rantai makanan hingga biodiversiti biologi. Semua terintegrasi menjadi satu
Sistem Bumi (Steffen, Crutzen, McNeill, 2007). Karena
manusia berada dalam satu rantai dengan proses alam, maka teknologi dan moral
menjadi sangat penting untuk menjaga keberlangsungan planet bumi. Untuk itu
pustakawan seharusnya menjadi garda depan dalam menjaga moral manusia dalam
memanfaatkan teknologi dan menjaga lingkungan. Pustakawan
seharusnya tidak lagi pasif dan berdiam diri di balik perisai “obyektif”,
tetapi harus berani berpihak pada nilai dan moral yang dapat menyelamatkan
lingkungan. Melalui agenda penguatan literasi informasi mengenai lingkungan
kepada masyarakat secara luas, maka pustakawan dapat memberikan kontribusi
yang nyata untuk planet bumi. Dengan
demikian, pustakawan seharusnya tidak hanya memikirkan Revolusi Industri 4.0
untuk menyelamatkan profesinya dari otomatisasi, tetapi turut serta dalam
diskursus global yang berkaitan dengan alam dan lingkungan. Dalam era
Antroposen, agenda penguatan literasi informasi ini sangat dibutuhkan untuk
mengubah paradigma berpikir manusia mengenai alam dan lingkungan untuk
kelangsungan hidup masa depan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar