Negeri
di Awan Alissa Wahid ; Aktivis dalam Bidang Sosial dan Keagamaan |
KOMPAS, 15 Agustus 2021
Bulan
Agustus biasanya menjadi bulan perayaan Indonesia, di mana rakyat berkumpul
di sentra-sentra lingkungannya, merayakan keberagaman dan persatuan. Berbagai
seseruan menjadi tradisi bersama, mulai dari parade, gotong royong kampung,
acara tirakat kemerdekaan, lomba-lomba, hingga panggung gebyar kemerdekaan di
seluruh penjuru Tanah Air. Agustusan
juga menjadi momen untuk menyelami kembali tentang sebuah gagasan bernama
Indonesia, di mana negerinya gemah ripah loh jinawi, rakyatnya adil makmur
sentosa dengan negara yang melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta berkonstribusi aktif di tingkat
dunia. Sukacita
Agustusan ini tentu meredup bersama pandemi. Tahun 2021 menjadi tahun kedua
kita memperingati kelahiran negara bangsa ini dalam aura penuh keprihatinan.
Setahun ini, pandemi ini telah menjungkirbalikkan kehidupan bersama. Per
13 Agustus 2021, sejumlah 3,8 juta orang terkonfirmasi positif di Indonesia.
Resmi tercatat lebih dari 115.000 orang meninggal dunia. Yang cukup
menyesakkan, laman Pusara Digital laporcovid19.org menyebutkan, 1.834 tenaga
kesehatan di Indonesia ikut menjadi korban jiwa. Data
ini pun belum ditambah data anekdotal yang tidak tercatat resmi, entah karena
data kasus tercatat Covid-19 yang tidak dikonsolidasikan dalam data resmi
negara maupun data yang tidak dicatat sebagai kasus Covid-19. Jumlah warga
yang menolak pandemi dengan sikap abai prokes maupun menghindar dari sistem
layanan kesehatan sangat besar, berimbas data yang tidak ter-cover. Kata dr
Pandu Riono, yang terjadi adalah herd stupidity, menunjukkan kegagalan kita
mencerdaskan kehidupan bangsa dalam hal pemahaman pandemi. Para
epidemiolog memperkirakan, angka faktualnya berkisar 5 sampai 8 kali lebih
besar. Kawasan-kawasan pemakaman baru yang dalam waktu cepat tertutup pusara
menjadi saksi tak terbantahkan, betapa akbar jumlah kematian akibat pandemi
ini. Pandemi
ini memberikan pukulan besar kepada keluarga-keluarga Indonesia. Kementerian
Sosial mencatat lebih dari 11.000 anak kehilangan orangtua akibat Covid-19.
Penduduk miskin meningkat, menjadi 27,4 juta jiwa pada Maret 2021. Kelompok
pekerja informal menjadi lapisan pertama yang terpukul oleh hilangnya
pendapatan harian, akibat ketiadaan mitigasi berupa perlindungan sosial yang
malangnya justru sempat dikorupsi. Sebagai
dampak ikutannya, tantangan kehidupan berkeluarga pun meningkat. Angka
perceraian meningkat. Kasus kekerasan terhadap anak meningkat, terutama
terkait pembelajaran daring yang melibatkan orantua. Begitu juga kekerasan
terhadap perempuan. Dalam jangka panjang, kecenderungan baru ini berpotensi
menyulut kebiasaan kekerasan berulang. Cita-cita membangun kesejahteraan umum
kembali mundur selangkah. Sejatinya,
kita sedang berada pada situasi perang, memperjuangkan keselamatan kita
bersama sebagai bangsa. Apabila di tahun 1945 kita berperang melawan pasukan
kolonial, di masa ini kita melawan pasukan virus yang jauh lebih kuat
daripada manusia. Di
masa perjuangan kemerdekaan, kita mencatat para pahlawan dari berbagai
lapisan bangsa kita yang rela memberikan jiwa raganya untuk mewujudkan
kedaulatan bangsa. Setahun ini, kita mencatat para pahlawan dengan tujuan
yang sama, dengan senjata yang berbeda. Terdepan
dalam barisan adalah para tenaga kesehatan yang berjibaku dalam keterbatasan
sarana prasarana serta risiko pribadi yang sangat tinggi. Di baris
setelahnya, para petugas pemakaman yang bekerja nonstop untuk menggali dan
menguburkan jenazah para korban Covid-19. Mereka
diikuti para sukarelawan garis kritis yang mengantar para pasien mencari RS
yang penuh atau mengurus jenazah, para sukarelawan gerakan kemanusiaan,
seperti Sonjo Jogja, Gusdurian Peduli, Gerakan Islam Cinta, yang mengantar
bantuan dari rakyat yang terus bergotong royong, sebagaimana perang
kemerdekaan. Sebagaimana
masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, kita sedang menghadapi situasi
genting. Republik Indonesia diproklamirkan dengan memanfaatkan kesempatan
dalam kesempitan. Dalam situasi penuh ketidakpastian, ketidaksiapan,
ketidaknyamanan, dan di tengah perbedaan pandangan, para pemimpin kita ikhlas
bersepakat untuk melahirkan Republik Indonesia, lalu bahu-membahu merawat
bayi republik. Bagaimana
dengan para pemimpin saat ini? Sebagian besar elite bangsa setahun ini
sepertinya memiliki prioritas yang berbeda dengan para pemimpin bangsa tahun
1945. Alih-alih memusatkan sumber dayanya untuk berkontribusi menghadapi
pandemi, kita justru disuguhi berbagai aksi yang menuai komen julid dari
publik. Misalnya
pernyataan pejabat yang meremehkan pandemi atau saling menegasikan, kebijakan
pemerintah daerah yang tidak selaras dengan pemerintahan di atasnya,
kehebohan parlemen menuntut perlakuan istimewa misalnya RS khusus bagi wakil
rakyat dan fasilitas isolasi mandiri di hotel. Yang paling epik adalah munculnya baliho-baliho
wajah-wajah tokoh nasional. Pragmatisme terhadap kepentingan politik membuat
mereka takut rakyat lupa wajah mereka di tahun 2024 nanti. Sebagaimana
disampaikan lugas oleh Buya Syafii Maarif, negeri ini surplus politisi, minus
negarawan. Situasi
setahun ini menunjukkan mandat membentuk Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia, masih belum terjangkau. Tahun
2021 ini, kita tidak pantas merayakan kemerdekaan kita dengan pesta.
Keprihatinan ini tidak hanya demi menghormati jutaan jiwa yang terdampak
pandemi ini. Lebih dari itu, pesta
kemerdekaan tidak pantas kita lakukan karena tahun ini kita belajar lebih
banyak tentang pekerjaan rumah kita yang masih jauh dari cita-cita membangun
negeri yang adil makmur sentosa. Agaknya,
negeri yang kita cita-citakan masih berada di atas awan. ● Sumber
: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/15/negeri-di-awan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar