Jumat, 06 Agustus 2021

 

Ini 13 Alasan KPK Menolak Jalankan Saran Korektif Ombudsman

Nikolaus Harbowo ;  Wartawan Kompas

KOMPAS, 6 Agustus 2021

 

 

                                                           

Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disampaikan oleh Ombudsman Republik Indonesia terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan KPK. Dalam argumentasi hukum KPK, Ombudsman dinilai melanggar hukum dan melampaui kewenangan.

 

Ombudsman RI (ORI) sebelumnya menyurati KPK untuk menanyakan sejauh mana KPK merespons laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) ORI terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK yang disampaikan dua pekan sebelumnya. Adapun LAHP ORI menyebut adanya dugaan malaadministrasi dalam TWK KPK. ORI juga mengirimkan surat kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk menanyakan hal serupa.

 

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam jumpa pers Kamis (5/8/2021) sore, mengatakan KPK keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disarankan oleh Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Pernyataan keberatan ini didasari Pasal 25 Ayat 6b Peraturan ORI Nomor 48 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Laporan.

 

Dalam aturan itu, diatur bahwa keberatan dari terlapor atau pelapor terhadap laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP), disampaikan kepada Ketua ORI.

 

“Karenanya, kami kemudian akan menyampaikan surat keberatan ini sesegera mungkin besok pagi ke Ombudsman Republik Indonesia,” ujarnya.

 

Dalam jumpa pers, Ghufron ditemani oleh Pelaksana Tugas Kepala Biro Sumber Daya Manusia (SDM) KPK Yonathan Demme Tangdilintin.

 

Nurul menjelaskan, ada 13 pokok keberatan KPK terhadap LAHP ORI. Pertama, pokok perkara yang diperiksa ORI merupakan pengujian keabsahan formil pembentukan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2020, yang merupakan kompetensi absolut Mahkamah Agung (MA). Adapun, saat ini perkaranya sedang dalam proses pemeriksaan.

 

Menurut Ghufron, Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan bahwasanya MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi menguji peraturan perundang-undangan, di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lain yang diberikan UU. Artinya, MA memiliki kompetensi absolut untuk menguji peraturan perundang-undangan, baik formil maupun materiilnya.

 

“Oleh karena itu, menandingi, membersamai, bahkan mendahului proses konstitusional yang sedang dilakukan oleh lembaga peradilan, harus dipandang sebagai perbuatan yang mencederai dan menyerang negara hukum karena akan menghadirkan ketidakpastian hukum,” ucap Ghufron.

 

Kewajiban hukum

 

Kedua, KPK menilai, ORI telah melanggar kewajiban hukumnya untuk menolak laporan atau menghentikan pemeriksaan atas laporan yang diketahui sedang dalam pemeriksaan pengadilan. Mengutip Pasal 9 UU Nomor 37/2008 tentang ORI, disebutkan dalam melaksanakan kewenangnnya, ORI dilarang mencampuri kebebasan hakim dalam memberikan putusan. Di Pasal 36 UU ORI pun, lanjut Ghufron, ORI memiliki kewajiban hukum untuk menolak laporan yang sedang menjadi objek pemeriksaan pengadilan.

 

“Harus menolak. Walaupun kemudian juga sedang diperiksa, maka harus dihentikan. Maka, kalau ada pemeriksaan terhadap materi yang sama secara fungsional, itu adalah mengganggu kebebasan hakim dalam memberikan putusan,” kata Ghufron.

 

Ketiga, kedudukan hukum (legal standing) pelapor bukanlah berasal dari masyarakat penerima layanan publik KPK. Layanan publik KPK itu, menurut Ghufron, meliputi menerima laporan, menerima pengaduan, menersangkakan seseorang, mendakwa seseorang, melaksanakan putusan pengadilan.

 

Karena itu, urusan mutasi, kepegawaian, menurut Ghufron, merupakan urusan internal. Jika kemudian akan dipermasalahakan, seharusnya dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Itu ada jalurnya,” katanya.

 

Keempat, pokok perkara pembuatan peraturan alih status pegawai KPK pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) dan penetapan hasil TWK yang diperiksa oleh ORI bukan merupakan perkara layanan publik. Sebagaimana diatur di Pasal 1 angka 10 UU Nomor 51/2009 tentang PTUN, sengketa tentang kepegawaian adalah sengketa yang timbul akibat ditetapkannya keputusan tata usaha negara di bidang kepegawaian, oleh badan, atau pejabat yang berwenang mengenai kedudukan, kewajiban hak, dan pembinaan pegawai negeri sipil.

 

“Jadi, dari perspektif pelapor, pelapornya bukan penerima layanan KPK. Maka pokok perkaranya bukan perkara layanan publik. Kalau mau bersengketa tentang kepegawaian, wilayahnya di PTUN, bukan di Ombudsman,” ujarnya.

 

Usulan terbuka

 

Kelima, pendapat ORI yang menyatakan ada penyisipan materi TWK dalam tahapan pembentukan kebijakan, menurut Ghufron, tidak didasarkan, bahkan bertentangan dengan, dokumen keterangan saksi dan pendapat ahli dalam LAHP. Ia menegaskan, tidak ada bukti dokumen di LAHP yang menyatakan ada penyisipan.

 

“Semuanya prosesnya terbuka. Kalau pun ada usulan, usulannya usulan terbuka,” kata Ghufron.

 

Ghufron menyampaikan, sejak 9 Oktober 2020 pada saat pembahasan awal, untuk memenuhi syarat kesetiaan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), semula draf dari KPK adalah pakta integritas. Namun, pada saat itu, peserta rapat mempertanyakan soal apakah cukup dengan syarat itu.

 

“Jadi, dari 9 Oktober sudah (ada norma TWK), memang belum ada di draf. Di draf (tercantum) pada 21 Januari 2021. Jadi, pendapat ini tidak didukung oleh saksi atau pendapat ahli. Bahkan ahli mengatakan, bolehkah kalau kemudian dalam proses pembentukan itu mengusulkan, berubah dari draf awal? Boleh. Ahli yang dimintai keterangan oleh ORI, menyatakan begitu,” tutur Ghufron.

 

Keenam, KPK juga tak sependapat dengan pernyataan ORI terkait pelaksanaan rapat yang dihadiri oleh pimpinan kementerian/lembaga. ORI, dalam LAHP, berpendapat, seharusnya rapat itu dikoordinasikan dan dipimpin oleh direktur jenderal peraturan perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM.

 

Ghufron menjelaskan, selama lima kali rangkaian rapat harmonisasi, beberapa kali rapat telah dihadiri biro dengan dirjen di Kemenkumham. Namun, ketika rapat finalisasi, yang hadir adalah pimpinan KPK, yakni dirinya dan Ketua KPK Firli Bahuri.

 

Ghufron menuduh Ombudsman tidak memahami isi Pasal 35 UU Nomor 5/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Di pasal itu, menurutnya, disebutkan bahwa delegator dapat memberi delegasi. “Saya mendelegasikan kepada biro. Sewaktu-waktu ketika saya hadir sendiri, itu tidak masalah secara hukum. Tidak merupakan kesalahan. Itu secara norma,” katanya.

 

Menuduh balik

 

Ketujuh, KPK menuduh balik ORI. Dari fakta hukum yang ia dapati, saat Ghufron dimintai klarifikasi, seharusnya sesuai Pasal 15 Ayat 2 Peraturan ORI, ditentukan bahwa forum klarifikasi dilakukan oleh keasistenan yang membidangi fungsi pemeriksaan. Namun, nyatanya, Ghufron diperiksa langsung oleh anggota ORI Robert Na Endi Jaweng.

 

“Padahal, peraturannya sendiri mengatakan, keasistenan, tetapi yang hadir komisioner. Sama dengan saya ketika hadir pada saat harmonisasi di Kemenkumham. Jadi, apa yang dikatakan sebagai malaadministrasi karena pimpinannya yang hadir? Ternyata di Ombudsman dlakukan hal yang sama. Maka kalau konsisten, pemeriksaan ini juga telah dilakukan secara malaadministrasi,” ucap Ghufron.

 

Delapan, pernyataan ORI terkait KPK tidak melakukan penyebarluasan informasi rancanan peraturan KPK melalui portal internal KPK, bertentangan dengan bukti. Sebab, faktanya sejak 30 November 2020, rancangan peraturan KPK sudah diportalkan.

 

“Tidak benar kalau tidak diportalkan. Silakan tanya semua pegawai KPK di e-mail-nya masing-masing,” ucap Ghufron.

 

Kesembilan, KPK mengklarifikasi pendapat ORI berkaitan tentang terdapat nota kesepahaman dan kontrak swakelola antara KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) tentang tahapan pelaksanaan TWK. Nyatanya, ujar Ghufron, nota yang dianggap ada backdate itu tidak digunakan. Sebab, faktanya, pelaksanaan tes dilakukan oleh BKN dan dibiayai oleh BKN.

 

“Dan kalaupun benar itu ada, pembiayaan itu tidak berpengaruh pada pelaksanaan dan hasil tes. Jadi, tergantung pada pelaksanaannya, tidak tergantung pada pembiayaan, kata Ghufron.

 

Sepuluh, menurut Ghufron, pendapat ORI yang menyatakan telah terjadi malaadministrasi berupa tidak kompetennya BKN dalam melaksanaan asesmen TWK, bertentangan dengan hukum dan bukti. Sebab, pada prinsipnya, kompetensi itu adalah kewenangan atau kedaulatan hukum untuk melaksanakannya.

 

“Pertanyaannya, kalau BKN dianggap tidak kompeten, kemudian diminta menolak oleh Ombudsman, kepada siapa lagi KPK meminta TWK ini? Ini, kan, tidak logis. Lembaga atau ketetanegaraan sudah memberi wewenang kepada BKN, lalu oleh Ombudsman dinyatakan tidak kompeten, lantas kepada siapa kami akan meminta tes TWK kalau BKN menolak?” tutur Ghufron.

 

Arahan Presiden

 

Kesebelas, pendapat ORI yang menyatakan KPK tidak patut menerbitkan Surat Keputusan KPK Nomor 652/2021 karena merugikan hal pegawai untuk tidak diangkat menjadi ASN, tidak berdasar hukum. Sebab, dasar pendapat ORI tersebut kepada putusan Mahkamah Konstitusi (MK), sementara putusan MK berkaitan dengan hak untuk ikut seleksi peralihan dari pegawai KPK ke ASN.

 

“Jadi, sebenarnya konteks putusan MK tidak sesuai dengan apa yang dijadikan dasar,” katanya.

 

Keduabelas, KPK tak sependapat dengan ORI berkaitan berita acara pada 25 Mei 2021 bahwa Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB), Menkumham, Kepala BKN, lima pimpinan KPK, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), serta Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN).

 

Dalam LAHP ORI, semua pimpinan lembaga tersebut disebut ORI telah melakukan pengabaian terhadap pernyataan Presiden dan telah melakukan tindakan malaadminsitrasi berupa penyalahgunaan wewenang terhadap kepastian status hukum dan hak untuk mendapat perlakuan yang adil.

 

Padahal, menurut Ghufron, pada saat itu, rapat dipimpin oleh Menpan dan RB kemudian secara tegas disampaikan bahwa rapat tersebut adalah koordinasi untuk menindaklanjuti arahan Presiden. “Maka, sesungguhnya rapat tanggal 25 Mei 2021 di BKN adalah bukanlah dianggap pengabaian, melainkan menindaklanjuti arahan Presiden,” tutur Ghufron.

 

Ketigabelas, tindakan korektif yang direkomendaiskan ORI tidak memiliki korelasi atau hubungan sebab akibat bahkan bertentangan dengan kesimpulan dan temuan LAHP. Misal, ORI mendapati ada perbuatan malaadministrasi saat pembentukan Peraturan KPK Nomor 1/2020. Jika pembentukan peraturan itu salah, maka seharusnya semua prosesnya dibatalkan. Konsekuensinya, lanjut Ghufron, hasilnya pun salah.

 

“Semestinya secara logika kalau mengatakan proses pembentukan peraturannya salah, maka peraturannya salah, pelaksanannya salah, maka kemudian tesnya ulang. Bubar itu semua. Bukan hanya 75 pegawai. Yang 1.271 pegawai yang kami angkat pun harusnya direkomendasikan untuk kemudian dibatalkan surat keputusannya suruh tes ulang, mestinya begitu,” ucap Ghufron.

 

Tidak tunduk

 

Di akhir jumpa pers, Ghufron menegaskan, KPK sebagaimana Pasal 3 UU Nomor 19/2019 tentang KPK, disebutkan masuk dalam rumpun eksekutif. Namun, menurut dia, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, KPK tak tunduk kepada lembaga apapun.

 

“KPK independen. Kami tidak ada di bawah institusi apa pun di Republik Indonesia ini. Jadi mekanisme, misal memberikan rekomendasi ke atasan, atasan KPK, langit-langit ini hehehe. Lampu,” kelakarnya.

 

Dihubungi terpisah, anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng mengatakan, Ombudsman menunggu surat dari KPK dan lampirannya untuk dipelajari. Ia menyayangkan sikap KPK yang sudah mengumumkan ke publik dan baru mengirimkan suratnya ke Ombudsman di kemudian hari.

 

Padahal, lanjut Robert, sebelumnya Ombudsman mengirimkan surat terlebih dahulu kepada KPK dan BKN, kemudian baru diumumkan ke publik beberapa hari sesudahnya.

 

Departemen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar mengatakan, KPK seharusnya bisa menerima LAHP ORI sebagai bagian dari teguran atas kesewenang-wenangan KPK.

 

Ombudsman, katanya, telah bertindak terhadap adanya malaadministrasi, khususnya terkait dengan pengadministrasian alih status pegawai KPK. Sebagai lembaga eksekutif, hal tersebut menjadi perhatian Ombudsman.

 

Zainal mengatakan, ada peluang persoalan ini diselesaikan Presiden sebagaimana rekomendasi Ombudsman. Sebagai pembina administrasi tertinggi aparatur sipil negara, Presiden bisa mengambil alih persoalan alih status pegawai KPK menjadi ASN. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar