Derita
Rakyat, Cerita Wakil Rakyat Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 31 Juli 2021
Tampaknya
ada kesenjangan cerita antara rakyat dan wakil rakyat. Mendengar cerita rakyat
seperti mendengar litani derita hidup rakyat pada masa pandemi. Derita susah mencari oksigen. Susah dirawat
di rumah sakit karena penuh. Ketika
warga meninggal, keluarga masih banyak urusan yang harus diselesaikan.
Sukarelawan menjadi tumpuan. ”Dalam
tiga minggu terakhir kami kurang tidur. Relawan kerja sampai subuh untuk
pemulasaraan dan pemakaman,” tulis seorang aktivis kemanusiaan di Yogyakarta
dalam pesannya kepada saya. Ia
mengaku ”frustrasi” dengan sikap birokrat dan wakil rakyat yang business as
usual, padahal berbagai program telah disodorkan jauh-jauh hari sebelum
pandemi mencapai puncaknya. Cerita
di alam nyata itu seharusnya tertangkap oleh 575 anggota DPR. Indonesia
terbagi dalam daerah-daerah pemilihan. Setiap daerah pemilihan punya wakil
rakyat dari partai politik sesuai dengan hasil pemilu. Wakil rakyat itu harus
punya compassion terhadap derita rakyat, khususnya di daerah yang mereka
wakili. Namun, wakil rakyat ini juga tak terdengar aktivitasnya. Begitu juga
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang sering disebut senator, kerap tak
terdengar kiprah politiknya. Menjadi
anggota DPR adalah mengerjakan kekuasaan, mengolah kekuasaan, dan mengarahkan
kekuasaan. Seorang anggota DPR dituntut punya kuasa wicara (the power of
speech) yang memadai. Kuasa wicara menuntut sensibilitas politik wakil
rakyat, menghayati persoalan daerah yang diwakilinya, dan kemudian
mengartikulasikan problematika rakyat. Narasi-narasi
pro-rakyat seperti tenggelam dalam hiruk pikuk pandemi Covid-19. Di tengah
pandemi, malah Majelis Kehormatan DPR
menggagas dan meminta pelat nomor khusus untuk kendaraan anggota DPR.
Usulan itu sudah disetujui. Kapolri sudah membuat telegram untuk
menyosialisasikan pelat nomor khusus mobil anggota DPR. Ide
pelat nomor khusus itu, meski terasa kurang pas, bisa saja jika tidak
digunakan untuk gagah-gagahan. Dengan pelat nomor khusus, publik bisa
langsung menyampaikan aspirasi kepada anggota DPR yang mobilnya sudah
ditandai dengan pelat nomor khusus. Itu bukan ”parlemen jalanan”, melainkan
anggota parlemen yang punya tugas
menyerap aspirasi masyarakat di jalanan. Rakyat bisa langsung mengadu kepada
wakil mereka. Mengadu kekurangan oksigen. Mengadu kesulitan mencari rumah
sakit dan pengaduan lainnya. Narasi
pelat nomor khusus meredup, muncul narasi perlunya rumah sakit khusus
pejabat, perlunya ICU khusus anggota DPR. ”Saya tidak mau lagi mendengar
anggota DPR yang tidak dapat tempat ICU,” ujar seorang anggota DPR dengan
gagah berani dalam rapat dengan Menteri Kesehatan. Kecongkakan anggota DPR
juga dipertontonkan saat seorang anggota DPR mengaku baru kembali dari luar
negeri, tetapi menolak dikarantina. Kini,
muncul lagi hotel khusus untuk isolasi mandiri anggota DPR. Hal itu terungkap
dari surat Sekjen DPR yang memberitahukan kepada anggota DPR soal hotel
tempat isolasi mandiri anggota DPR beserta staf dan tenaga ahli dengan biaya
negara. Narasi dan tindakan anggota DPR terasa kian berjarak dengan rakyat.
Itu adalah kebijakan tuna-empati. Sejumlah anggota DPR telah menolak hotel untuk isolasi. Boleh
jadi sebagian anggota DPR merasa telah ”berjasa” dengan disahkannya sejumlah
undang-undang. Misalnya, UU Cipta Kerja yang akan menjadi daya tarik
datangnya investasi ke Indonesia. Atau, inisiatif DPR merevisi UU KPK yang
kini berdampak pada kisruh berkepanjangan di KPK akibat alih status pegawai
KPK dan terancam lumpuhnya pemberantasan korupsi. Fungsi
pengawasan DPR tak sepenuhnya berjalan. DPR terkesan menjaga jarak dengan
kisruh berkepanjangan di KPK. Meski ada putusan Mahkamah Konstitusi, arahan
Presiden Joko Widodo, dan terakhir rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia
(ORI) soal pengangkatan 75 pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara, DPR pun
diam saja. Malah ada pimpinan DPR yang berhubungan erat dengan penyidik KPK
terkait dengan penanganan kasus korupsi. Majelis Kehormatan DPR pun
tenang-tenang saja. Gerundelan
rakyat terhadap wakilnya bisa ditemukan di mana-mana. Di kolom komentar kanal
digital. Di akun media sosial ataupun di warung kopi. Padahal, rakyat
berharap wakil mereka memperjuangkan kepentingan rakyat di daerah
pemilihannya. Perjuangan wakil rakyat bisa dilakukan melalui politik
anggaran, politik legislasi, dan politik pengawasan. Mungkin saja ada kisah
anggota DPR yang telah berjuang bersama rakyat, tetapi itu tidak diketahui
rakyat karena kelemahan komunikasi politik itu sendiri dari anggota DPR. Saatnya
anggota DPR mendengar jeritan rakyat, bukan jeritan sendiri. Setelah sukses
menggergaji KPK dengan merevisi UU KPK yang mengakibatkan kisruh di KPK, saatnya DPR menggunakan politik
legislasinya untuk menyelesaikan UU yang memperkuat rakyat, melindungi
kebebasan sipil rakyat. Mengegolkan
UU Perampasan Aset untuk mempercepat kerja Tim BLBI menarik dana, mengegolkan
UU Perlindungan Data Pribadi, dan membuat terobosan undang-undang untuk
penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Tampaknya,
ada kesenjangan antara rakyat dan wakil rakyat. DPR bisa kian teralienasi
dengan rakyat. Demokrasi perwakilan tak berjalan semestinya karena anggota DPR lebih mewakili
kepentingan diri dan kelompoknya daripada kepentingan rakyat. Bagi rakyat,
tak ada jalan lain, selain mencatat perilaku politik wakil rakyat dan partai
politik dan tidak lagi memilihnya dalam Pemilu 2024. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar