Minggu, 01 Agustus 2021

 

Derita Rakyat, Cerita Wakil Rakyat

Budiman Tanuredjo ;  Wartawan Senior Kompas

KOMPAS, 31 Juli 2021

 

 

                                                           

Tampaknya ada kesenjangan cerita antara rakyat dan wakil rakyat. Mendengar cerita rakyat seperti mendengar litani derita hidup rakyat pada masa pandemi.  Derita susah mencari oksigen. Susah dirawat di rumah sakit karena penuh.  Ketika warga meninggal, keluarga masih banyak urusan yang harus diselesaikan. Sukarelawan menjadi tumpuan.

 

”Dalam tiga minggu terakhir kami kurang tidur. Relawan kerja sampai subuh untuk pemulasaraan dan pemakaman,” tulis seorang aktivis kemanusiaan di Yogyakarta dalam pesannya kepada saya.

 

Ia mengaku ”frustrasi” dengan sikap birokrat dan wakil rakyat yang business as usual, padahal berbagai program telah disodorkan jauh-jauh hari sebelum pandemi mencapai puncaknya.

 

Cerita di alam nyata itu seharusnya tertangkap oleh 575 anggota DPR. Indonesia terbagi dalam daerah-daerah pemilihan. Setiap daerah pemilihan punya wakil rakyat dari partai politik sesuai dengan hasil pemilu. Wakil rakyat itu harus punya compassion terhadap derita rakyat, khususnya di daerah yang mereka wakili. Namun, wakil rakyat ini juga tak terdengar aktivitasnya. Begitu juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang sering disebut senator, kerap tak terdengar kiprah politiknya.

 

Menjadi anggota DPR adalah mengerjakan kekuasaan, mengolah kekuasaan, dan mengarahkan kekuasaan. Seorang anggota DPR dituntut punya kuasa wicara (the power of speech) yang memadai. Kuasa wicara menuntut sensibilitas politik wakil rakyat, menghayati persoalan daerah yang diwakilinya, dan kemudian mengartikulasikan problematika rakyat.

 

Narasi-narasi pro-rakyat seperti tenggelam dalam hiruk pikuk pandemi Covid-19. Di tengah pandemi, malah Majelis Kehormatan DPR  menggagas dan meminta pelat nomor khusus untuk kendaraan anggota DPR. Usulan itu sudah disetujui. Kapolri sudah membuat telegram untuk menyosialisasikan pelat nomor khusus mobil anggota DPR.

 

Ide pelat nomor khusus itu, meski terasa kurang pas, bisa saja jika tidak digunakan untuk gagah-gagahan. Dengan pelat nomor khusus, publik bisa langsung menyampaikan aspirasi kepada anggota DPR yang mobilnya sudah ditandai dengan pelat nomor khusus. Itu bukan ”parlemen jalanan”, melainkan anggota parlemen yang  punya tugas menyerap aspirasi masyarakat di jalanan. Rakyat bisa langsung mengadu kepada wakil mereka. Mengadu kekurangan oksigen. Mengadu kesulitan mencari rumah sakit dan pengaduan lainnya.

 

Narasi pelat nomor khusus meredup, muncul narasi perlunya rumah sakit khusus pejabat, perlunya ICU khusus anggota DPR. ”Saya tidak mau lagi mendengar anggota DPR yang tidak dapat tempat ICU,” ujar seorang anggota DPR dengan gagah berani dalam rapat dengan Menteri Kesehatan. Kecongkakan anggota DPR juga dipertontonkan saat seorang anggota DPR mengaku baru kembali dari luar negeri, tetapi menolak dikarantina.

 

Kini, muncul lagi hotel khusus untuk isolasi mandiri anggota DPR. Hal itu terungkap dari surat Sekjen DPR yang memberitahukan kepada anggota DPR soal hotel tempat isolasi mandiri anggota DPR beserta staf dan tenaga ahli dengan biaya negara. Narasi dan tindakan anggota DPR terasa kian berjarak dengan rakyat. Itu adalah kebijakan tuna-empati. Sejumlah anggota DPR telah  menolak hotel untuk isolasi.

 

Boleh jadi sebagian anggota DPR merasa telah ”berjasa” dengan disahkannya sejumlah undang-undang. Misalnya, UU Cipta Kerja yang akan menjadi daya tarik datangnya investasi ke Indonesia. Atau, inisiatif DPR merevisi UU KPK yang kini berdampak pada kisruh berkepanjangan di KPK akibat alih status pegawai KPK dan terancam lumpuhnya pemberantasan korupsi.

 

Fungsi pengawasan DPR tak sepenuhnya berjalan. DPR terkesan menjaga jarak dengan kisruh berkepanjangan di KPK. Meski ada putusan Mahkamah Konstitusi, arahan Presiden Joko Widodo, dan terakhir rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia (ORI) soal pengangkatan 75 pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara, DPR pun diam saja. Malah ada pimpinan DPR yang berhubungan erat dengan penyidik KPK terkait dengan penanganan kasus korupsi. Majelis Kehormatan DPR pun tenang-tenang saja.

 

Gerundelan rakyat terhadap wakilnya bisa ditemukan di mana-mana. Di kolom komentar kanal digital. Di akun media sosial ataupun di warung kopi. Padahal, rakyat berharap wakil mereka memperjuangkan kepentingan rakyat di daerah pemilihannya. Perjuangan wakil rakyat bisa dilakukan melalui politik anggaran, politik legislasi, dan politik pengawasan. Mungkin saja ada kisah anggota DPR yang telah berjuang bersama rakyat, tetapi itu tidak diketahui rakyat karena kelemahan komunikasi politik itu sendiri dari anggota DPR.

 

Saatnya anggota DPR mendengar jeritan rakyat, bukan jeritan sendiri. Setelah sukses menggergaji KPK dengan merevisi UU KPK yang mengakibatkan kisruh  di KPK, saatnya DPR menggunakan politik legislasinya untuk menyelesaikan UU yang memperkuat rakyat, melindungi kebebasan sipil rakyat.

 

Mengegolkan UU Perampasan Aset untuk mempercepat kerja Tim BLBI menarik dana, mengegolkan UU Perlindungan Data Pribadi, dan membuat terobosan undang-undang untuk penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu.

 

Tampaknya, ada kesenjangan antara rakyat dan wakil rakyat. DPR bisa kian teralienasi dengan rakyat. Demokrasi perwakilan tak berjalan semestinya  karena anggota DPR lebih mewakili kepentingan diri dan kelompoknya daripada kepentingan rakyat. Bagi rakyat, tak ada jalan lain, selain mencatat perilaku politik wakil rakyat dan partai politik dan tidak lagi memilihnya dalam Pemilu 2024. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar