Oh,
Jakarta Bre Redana ; Penulis kolom “Udar
Rasa” Kompas Minggu |
KOMPAS,
28 Februari
2021
Banyak rumah teman saya di Jakarta
kebanjiran pekan lalu. Di antaranya rumah sahabat saya, Ceka, di Kemang.
Rumah dia berhadap-hadapan dengan rumah budayawan kondang yang juga saya
kenal baik, Sardono W Kusumo. Air surut dalam semalam. Saya bersiap untuk
membantu bersih-bersih andai kata dibutuhkan, tapi ia menentukan menyewa jasa
pihak profesional. Saya yakin rumahnya saat ini sudah bersih dan kinclong
kembali. Selain pintar masak dan menata rumah, Ceka adalah wanita yang sangat
mandiri. Di Jakarta yang sebagian wilayahnya
langganan banjir, yang lebih sukar surut menurut saya bukan air, tapi
kebencian. Ketika sejumlah kota terlanda banjir dan Jakarta tampak lumayan
baik-baik saja, bahkan ada penghuni Jakarta berujar, lihat aja ntar. Sindroma
patologi sosial: tidak lega kalau kotanya tidak banjir dan bisa punya
kesempatan untuk saling menyalahkan. Betullah Umberto Eco. Dalam Chronicles of a
Liquid Society, dia menulis antara lain soal benci dan cinta (On hatred and
on love). Menurut Eco, kebencian bisa bersifat kolektif dan mudah
dikembangbiakkan. Rezim totaliter jelas membutuhkan kebencian.
Begitupun rezim-rezim lain entah itu diktatoriat kapitalis, sosialisme
proletar, tidak ketinggalan tentu saja fundamentalisme agama. Mereka
menanamkan dan menyebarluaskan kebencian sebab kebencian memiliki daya
menyatukan rakyat. Orang yang bersedia meledakkan diri dengan bom sulit
dibayangkan bahwa ia mencintai sesuatu. Lebih mungkin dia membenci sesuatu
secara mendalam. Eco mengenang masa kecil di Italia. Rezim
fasis mengajarkan para murid untuk membenci pihak-pihak yang dikategorikan
layak dibenci. Umpatan-umpatannya rasis. Di Indonesia, fasisme dianggap tidak ada
dan sama sekali dianggap bukan ancaman. Ancaman paling serius yang ditanamkan
pada rakyat adalah komunisme. Orang memburu komunis, mencari-cari dan
menghidupkannya ketika binatangnya telah tiada, mengambil risiko ditertawakan
anak-anak ”zaman now”. Tentu saja dalam hal banjir tadi pandangan
saya kemungkinan terdistorsi bias media sosial. Media sosial kebanyakan
isinya melulu pemujaan membabi buta pada satu pihak atau seseorang, dan
kebencian tidak kalah dahsyat kepada pihak atau pribadi yang lain. Yang satu
dianggap malaikat, satu lagi dianggap setan, bahkan andaikan sebutlah
dua-duanya gemar bohong dan doyan kamera. Buzzer mana peduli. Saya yakin di dunia nyata masih banyak
orang waras dan gemar tolong-menolong. Jadi ingat pengalaman beberapa tahun
lalu ketika banjir besar melanda Jakarta. Seorang teman perempuan bertahan di
rumahnya di Kelapa Gading yang terkepung banjir. Teman-teman, tanpa seragam
bertulis bakti sosial, bergiliran menyuplai kebutuhan pokok setiap hari. Giliran para cowok piket, hari itu teman
perempuan tadi menyatakan hanya butuh dibelikan pembalut wanita. Kami ke
supermarket mencari pembalut. Ternyata pembalut ada ukurannya. Model dan
bentuknya pun beda-beda. Tak terlupakan, kami malah kena semprot ketika
menelepon dan dengan bahasa lugu bertanya ukuran dia. Berbeda dari yang sering diucapkan orang
bahwa benci dan cinta adalah dua sisi dari satu mata uang, kembali menurut
Eco, cinta bukanlah kebalikan dari benci. Jika saya mencintai istri saya,
bukan berarti saya membenci yang bukan istri saya. Orangtua yang mencintai anak-anaknya juga
bukan berarti membenci anak-anak yang bukan anaknya. Tepatnya, mereka
mencintai anaknya, kurang cinta atau kurang peduli pada anak-anak yang bukan
anaknya. Cinta sifatnya eksklusif, posesif, sulit
dibikin jadi produk massal seperti kebencian. Meski dalam sistem kepercayaan
saya ada perintah untuk mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri, saya
rasa tidak masuk akal seseorang sanggup mencintai delapan miliar penduduk
bumi secara sama rata sama rasa. Tidak peduli teman atau bukan, apa pun
agama dan pilihan politiknya, semoga semua bisa mengatasi dan keluar dari
keadaan sulit sekarang ini. Jangkauan tangan manusia terbatas, barangkali
hanya bisa memeluk satu dua orang saja yang dicinta. Menurut saya, itu jauh lebih baik daripada
mengumbar kebencian yang diam-diam sejatinya menggerogoti kemanusiaan kita. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar