Mendobrak
Kebekuan Berjejaring Perguruan Tinggi Herman Fithra ; Rektor Universitas Malikussaleh.
Ketua Forum Rektor PTN Aceh |
KOMPAS,
05 Maret
2021
Pada 13-15 Februari lalu, penulis melakukan
perjalanan ke Yogyakarta dengan maksud memperlebar jaringan kerja sama dengan
kampus-kampus mapan nasional. Setelah 2020 dipenuhi kemuraman akibat
Covid-19, tahun 2021 harus menjadi cara normal baru meningkatkan kemajuan.
Salah satunya adalah dengan membangun kerja sama dengan universitas yang
bereputasi. Pertemuan pertama adalah dengan rektor UIN
Sunan Kalijaga, Prof Al Makin. Kampus ini adalah perguruan tinggi negeri
Islam tertua dan memiliki kredibilitas baik di tingkat nasional dan
internasional. Sejarahnya telah terunut sejak lama. Berdiri lima tahun
setelah Indonesia merdeka berdasarkan Perpres No. 34 tahun 1950 sebagai
PTAIN, akhirnya menjadi IAIN pada 1960 berdasarkan Perpres No. 11 tahun 1960. Pada tahun 2004 IAIN Sunan Kalijaga menjadi
UIN berdasarkan Keppres No. 50 tahun 2004. Kerja sama yang sedang dirancang
antara Unimal dengan UIN Sunan Kalijaga adalah pertukaran mahasiswa, sistem
permagangan, dan kemudahan KKN, dan pengembangan jurnal, sebagai implementasi
“Kampus Merdeka, Merdeka Belajar”. UIN Sunan Kalijaga memiliki 73 jurnal
dengan 36 buah terakreditasi Sinta. Untuk rangking Webometrics 2021 Unimal
memang lebih unggul dibandingkan UIN Sunan Kalijaga (rangking 40). Namun,
untuk urusan jurnal, Unimal masih harus banyak belajar dari kampus yang
pernah dipimpin intelektual berdarah Aceh seperti Prof. Hasbi Asshidiqy
(pendiri dan rektor), Prof. Muin Umar (rektor), Prof. Nuruzzaman (anak
kandung Hasbi Asshidiqy dan ahli sejarah Islam), dan Dr. Saifannur (Dekan
Fakultas Ushuluddin). Kerja sama kedua adalah dengan Universitas
Gadjah Mada (UGM). Tentu tak perlu dirunut lagi peran UGM dalam pengembangan
pemikiran dan pengabdiannya pada bangsa. Saat ini UGM dipimpin oleh ilmuwan
Teknik, Prof Ir Panut Mulyono, yang semakin menjulang perannya dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk memberikan solusi pada krisis
kesehatan dan kemanusiaan. Salah satu riset mereka yang telah
diproduksi massal adalah alat biomedis GeNose sebagai instrumen tes rapid
alternatif, yang kini sudah mulai digunakan bagi transportasi kereta api.
GeNose dianggap memiliki akurasi lebih tinggi dari dari Rapid Test-Antigen
dan PCR, yaitu 97 persen. Nilai komersialnya pun jauh lebih murah dan
tidak menyakitkan. Selama ini GeNose dipasarkan Rp20 ribu di Stasiun Kereta
di Yogyakarta dan Jakarta. Kemungkinan moda transportasi udara juga akan
menggunakannya. Riset
untuk bangsa Yang harus dipelajari dari pengalaman itu
adalah kampus-kampus, apalagi di perguruan tinggi negeri (PTN) di Aceh, harus
segera keluar dari zona nyamannya. Penemuan unik, inovasi, riset terapan, dan
hilirisasi riset pada dunia industri sudah di depan mata. Sinyal ini harus
dibaca dengan seksama, bahwa PTN harus berlari lebih kencang demi melakukan
akselerasi dengan dunia riset di industri. Tidak ada basis material data
kecuali dengan riset! Sementara kultur di PTN, terutama di level
Satuan Kerja (Satker) atau yang baru menikmati peningkatan status menjadi PTN
dari PTS, masih terlena di sofa empuk fasilitasi negara. Kebanyakan
menganggap bahwa dengan bekerja biasa pun negara tetap akan membiayai. Pola
pikir seperti ini adalah toksik yang membahayakan mental akademia. Kampus sejatinya dihadirkan untuk melakukan
pembaharuan dan inovasi. Keilmuan kampus harus bisa melepaskan diri dari
impitan negara yang despotik dan rayuan industri yang konsumeristik dan
kapitalistik. Kampus adalah “ruang terbuka hijau” bagi pemikiran yang ramah
dan berseri. Jika kampus tak melakukan revolusi
mentalnya, ia semakin lama akan dijauhi oleh “konsumennya”, yaitu calon
mahasiswa yang ingin memperbaiki kualitas ilmu, teknologi, dan kulturalnya,
serta stakeholders lain, yaitu pemerintah dan dunia industri yang memerlukan
kepakaran dan advis akademis. Makanya kini penulis meminta seluruh
sivitas akademia untuk menyusun Indikator Kinerja Utama (IKU) bahkan hingga
level individual. Ini bukan semata menjalankan amanat menteri, tapi juga
memperbaiki mutu perguruan tinggi. Dosen harus memaksimalkan fungsi Tridarma
Perguruan Tinggi plus yaitu pendidikan-pengajaran, penelitian, pengabdian
masyarakat, dan unsur kreatif penunjang lainnya. Rutinitas harus diubah
menjadi tenaga untuk berkembang dan membangun lompatan paradigma, untuk
selanjutnya peradaban. Saatnya bekerja cerdas, dan bukan sekedar bekerja
keras. Maksimalkan
Triple Helix ABG Kata kunci untuk perubahan di masa depan
adalah koordinasi, komunikasi, dan kolaborasi. Demikian pula untuk perguruan
tinggi. Perguruan tinggi harus menjadi pihak yang lebih aktif dalam membangun
jaringan “Triple Helix”, yaitu mensinergikan kerja-kerja dan kesepahaman
antara academician (A), business (B), dan government (G). Gagasan ini muncul pada kegiatan Hari
Kebangkitan Teknologi Nasional 2013, yang saat itu mengangkat ikon teknologi
kedirgantaraan dan sistem pertahanan negara. Kanal solid akademisi ada di dunia kampus.
Kampus karenanya harus mampu, bukan saja membangun pemikiran yang adiluhung,
tapi juga adiguna. Bahwa kepandaian yang dihasilkan dari dunia kampus harus
bisa memberikan dampak kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Tentu saja kampus harus selalu rendah hati. Di luar dunia kampus kecerdasaan juga
semakin canggih, seperti di bidang industri teknologi informasi yang kita
nikmati saat ini. Jangan juga lupa, tanpa dukungan pemerintah, apa yang
dilakukan di dunia kampus tidak bisa dimassifkan, karena regulasi, izin, dan
dukungan juga berasal dari pemerintah. Era berjejaring inilah yang harus
dimaksimalkan oleh dunia kampus untuk mau maju bersama dan merdeka bersama. Penulis sendiri melihat hal itu belum
maksimal dilaksanakan, khususnya di Aceh. Makanya memaksimalkan Triple-Helix
menjadi syarat yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Upaya penulis untuk membuat
pusat riset kopi dan Prodi Kedirgantaraan di Unimal bisa saja dianggap sedang
menggantang asap. Namun bukankah sebuah kemajuan harus dilakukan dengan
bermimpi tanpa rasa takut akan sayap-sayap pesimistis yang menghadang? Saat ini penulis sedang mengajak
rektor-rektor PTN se-Aceh untuk bangkit dan melihat peluang untuk maju
bersama. Semua pihak harus low profile untuk membaca tanda-tanda zaman yang
semakin menantang. Kemajuan akan terjadi jika ada kolaborasi dan sinergi
antara dunia kampus, dunia bisnis, dan dunia politik. Ketiganya harus sekait
agar terangkut bersama dalam misi membesarkan bangsa dan memajukan kesejahteraan
publik. Memang di Aceh saat ini sedang didera
informasi yang kurang mengenakkan, ketika menjadi provinsi termiskin
se-Sumatera yaitu 15,43 persen. Namun data itu tak penting untuk dipungkiri.
Yang perlu dilakukan ialah mengambil peran PTN dalam membantu pemerintah
mengurangi data dan realitas kemiskinan itu. Bisa dengan perbaikan aplikasi data
masyarakat miskin, penyempurnaan indikator kemiskinan, riset etnografi untuk
mengetahui problem-problem sosio-kultural kemiskinan, dsb. Sehingga sumbangan
akademis itu bisa digunakan oleh pemerintah dalam menyalurkan paket bantuan
pengentasan kemiskinan agar semakin efektif dan tepat sasaran. Tahun ini segalanya harus berbenah. Peran
kampus pun harus semakin mengarah, sehingga daya perubahan pun semakin merekah.
● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar