Larangan
Investasi Miras dan Kekuatan Ormas Islam Arus Utama Ali Mashar ; Sekretaris PP MDS Rijalul Ansor |
REPUBLIKA,
03 Maret
2021
NU dan Muhammadiyah kompak menolak beberapa
poin dalam lampiran Perpres yang mengatur pembukaan investasi baru industri
miras. Seperti biasanya, penolakan dari kedua
ormas Islam terbesar di Indonesia ini disampaikan dengan cara yang elegan,
tanpa caci maki apalagi politisasi. Argumennya jelas, cara menyampaikannya
berkelas, dan (biasanya) menyelesaikan masalah dengan tuntas. Terbukti, kini
presiden Joko Widodo mencabut beberapa poin dalam lampiran tersebut. Fungsi dan kekuatan “politis” kedua ormas
Islam ini saya anggap sebagai perwujudan nyata dari imunitas kultural yang
seringkali berhasil menangkal mudharat dan kerusakan yang mengancam bangsa.
Baik mudharat itu berupa efek buruk dari kehkilafan penguasa dalam membuat
kebijakan, maupun gempuran ideologi dan infiltrasi nilai-nilai dari luar yang
tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Cara yang elegan dalam menyampaikan
pendapat, baik itu penolakan ataupun dukungan terhadap kebijakan pemerintah,
merupakan ciri kedewasaan dan kematangan seseorang atau sebuah kelompok. Jika penolakan NU dan Muhammadiyah terhadap
Perpres Investasi Miras diartikan sebagai sebuah ikhtiar nahi munkar, maka
cara yang ditempuhnya bisa dikatakan sudah sangat tepat. Dalam kitab Al-Amr bi al-Ma’ruf Wa Al-Nahy
‘An Al-Munkar, Imam Ahmad bin Hanbal mengutip perkataan bijak para ulama yang
mengatakan bahwa “Orang yang engkau sakiti, atau engkau lukai perasaannya,
tidak akan mengikuti (nasihat)mu.” Jika orang biasa saja bisa marah dan
menjauh dari kita ketika kita sakiti perasaannya, apalagi seorang penguasa
atau pejabat yang memiliki kedudukan. Nah, jika “nasihat” yang kita sampaikan itu
ternyata justru menjauhkan manusia dari ajakan kebaikan kita karena
disampaikan dengan cara yang menyakiti perasaan, maka kandaslah tujuan mulia
dakwah dan ajakan kebaikan tersebut. NU dan Muhammadiyah dengan basis keagamaan
dan keilmuannya serta komitmen kebangsaannya, terbukti menjadi kekuatan
penyeimbang yang mampu menjalankan Amr Ma’ruf dan Nahi Munkar dengan cara
yang tepat, beretika, dan sesuai dengan ajaran agama. NU dan Muhammadiyah
memberikan nasihat yang baik dan bersedia mengikuti sistem yang berlaku. NU
dan Muhammadiyah tidak memiliki agenda politik mengganti sistem bernegara
Republik Indonesia. Setiap orang yang gemar memberi “nasihat”
kepada penguasa perlu bertanya pada diri sendiri, apakah cara yang
dilakukannya sudah tepat sesuai dengan kaidah moral dan agama? Benarkah yang
dilakukan itu memiliki tujuan baik, atau hanya kendaraan untuk mencari
popularitas politik? Pemerintah-penguasa yang hendak membuat
kebijakan, juga sebaiknya tidak segan melakukan konsultasi dengan berbagai
pihak jika kebijakan yang hendak dibuat berpotensi mendapatkan penolakan
karena dianggap melukai perasaan dan keyakinan kelompok masyarakat tertentu. Tentu pemerintah memiliki pertimbangannya
ketika membuat suatu kebijakan. Perbaikan ekonomi, di antaranya melalui usaha
menggalakkan investasi merupakan hal penting yang harus dilakukan pemerintah.
Tapi tentu saja selalu ada pilihan-pilihan di sana. Sudah menjadi tugas pemerintah yang
mengemban mandat dari rakyat untuk mencarikan pilihan dan solusi yang
dianggap paling baik, paling aman, dan tidak menyakiti perasaan serta
mengusik keyakinan kelompok masyarakat tertentu, baik mayoritas maupun minoritas.
Negara ini dibangun atas dasar Ketuhanan
Yang Maha-Esa. Hal-hal yang secara vulgar bertentangan dengan prinsip
ketuhanan dan agama, perlu dihindari dalam membuat kebijakan. Indonesia adalah negara-bangsa. Konsep
negara-bangsa memiliki ciri perpaduan antara entitas politik kenegaraan
dengan entitas kultural kebangsaan. Ia harus mampu memadukan dan
menggabungkan antara “political entity of a state” ke dalam “cultural entity
of a nation.” Perpaduan ini harus selalu dijadikan landasan dan pijakan dalam
mencapai tujuan atau cita-cita bersama yakni; kemaslahatan rakyat (well-being
of society). Ajaran agama memang bersifat divine,
sementara kebudayaan merupakan hasil kreativitas manusia. Tetapi
“keberagamaan” dan praktik serta ekspresi manusia dalam menjalankan
keayakinan agamanya, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan. Hal-hal yang berkenaan dengan miras,
narkoba, perjudian dan pelacuran, merupakan
penampakan paling nyata dari “Anti Kebudayaan” manusia Indonesia.
Orang boleh berdebat tentang definisi kebudayaan, tapi semua akan sepakat
bahwa kebudayaan sebagai survival kit, sebagai alat penunjang kehidupan,
adalah kreasi yang baik dan bermanfaat untuk digunakan sebagai alat
memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Perjudian, pelacuran, penggunaan narkoba,
dan konsumsi serta produksi miras tidak akan pernah naik pangkat menjadi
kebudayaan masyarakat Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha-Esa. Meskipun
barangkali ia menjadi tradisi suatu kelompok masyarakat tertentu. Ekonomi dan kemakmuran rakyat tidak akan
pernah bisa dipisahkan dari stabilitas dan ketentraman-keamanan. Pembangunan
dan usaha-usaha mensejahterakan rakyat akan sulit dicapai jika negara berada
dalam keadaan yang tidak stabil dan tidak aman. Maka kebijakan ekonomi juga tidak bisa
dipisahkan dari pertimbangan-pertimbangan lain yang berkaitan dengan
stabilitas dan keamanan. Agama dan kebudayaan tidak bisa ditinggalkan dalam
usaha menciptakan stabilitas dan kemanan serta mewujudkan kemakmuran. Ekstrimisme dan radikalisme agama yang
seringkali menjelma menjadi terorisme memang lebih erat berhubungan dengan
ideologi. Tetapi ibarat benih, ideologi apapun membutuhkan lahan yang subur
untuk tumbuh berkembang. Kebijakan-kebijakan yang secara vulgar mengusik
keyakinan agama bisa menjadi pemicu munculnya narasi-narasi kebencian
terhadap negara dan pemerintah. Kebencian terhadap pemerintah, selain hal-hal
lainnya, bisa menjadi lahan subur pertumbuhan dan berkembangnya
ekstrimisme-radikalisme. Selain merebut kekuasaan, kelompok radikal dan
Islam-politik memiliki misi amr ma’ruf dan nahi munkar, meskipun mereka tidak
tahu bagaimana cara menjalankannya. Pemerintah merupakan pihak yang paling
berhak dan berkewajiban mencegah kemunkaran. Melalui sistem perundang-undangan dan
peraturan serta penegakannya, Nahi Munkar bisa dilakukan dengan sangat
efektif oleh pemerintah, termasuk di antaranya mencegah maraknya perjudian,
prostitusi, penggunaan narkoba dan produksi serta konsumsi miras. Jangan memberi alasan ormas-ormas liar dan
kelompok radikal menjalankan nahi munkar dengan cara yang salah. Jangan
biarkan ekstrimisme-radikalisme tumbuh subur di negeri ini. Jangan memberikan
mereka alasan untuk hidup. Jangan beri mereka motivasi untuk menghasut,
membenci, dan mencaci. Jangan memberi lahan kaum Khawarij untuk tumbuh dan
berkembang di negeri ini. Jangan pula membenci NU dan Muhammadiyah
karena tidak setuju dengan Perpres Investasi Miras. Sebagaimana Kementerian
Kesehatan menggalakkan vaksinasi agar rakyat negeri ini memiliki kekebalan
terhadap virus Covid-19, NU dan
Muhammadiyah sedang menjalankan fungsi imunitas kultural agar rakyat negeri
ini selamat dari kerusakan dan keburukan yang ditimbulkan oleh
produksi-konsumsi miras. Kini beberapa poin dalam lampiran Perpres
Investasi yang mengatur pembukaan investasi baru industri miras telah
dicabut. Kita wajib bersyukur dan mengapresiasi keputusan presiden yang
bersedia mendengarkan masukan rakyat. Adapun investasi dan produksi miras
yang sudah berjalan sekian lama, bisa dibahas di lain waktu. “NU dan Muhammadiyah, sering-seringlah
ngopi bareng. Banyak masalah rumit di negeri ini yang akan mudah diselesaikan
jika NU dan Muhammadiyah sering ngopi bareng, terutama yang berkaitan dengan
komitmen kebangsaan dan masalah moral.” Wallahu A’lam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar