Jumat, 05 Maret 2021

 

Berharap Polisi Tak Melupakan Perkara Biasa

 Adrianus Meliala ; Kriminolog FISIP UI

                                                        KOMPAS, 04 Maret 2021

 

 

                                                           

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Listyo Sigit dewasa ini tengah menekuni inisiatifnya yang disebut virtual policing atau pemolisian virtual. Dari apa yang terungkap di media massa, strategi pemolisian yang satu ini mengupayakan pencegahan bagi terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sedini mungkin.

 

Pencegahan dilakukan dengan mengingatkan pemilik akun bahwa isi postingan yang ditemui di satu atau lebih media sosial sudah masuk ranah pidana. Bisa karena sudah terdeteksi melakukan penghinaan kepada orang lain, mulai menyebarkan hoaks, atau yang lain.

 

Bagaimana cara mencegahnya, kelihatannya tidak terlalu sulit. Pemilik akun tinggal dihubungi, diingatkan, dan untuk selanjutnya terserah yang bersangkutan. Jika tidak mau berubah, yang bersangkutan akan bertemu kembali dengan polisi, tetapi kali itu tentu dalam situasi penyidikan yang tidak akan seramah sebelumnya.

 

Tulisan ini mengulas beberapa hal yang perlu menjadi perhatian Kapolri Listyo Sigit jika tidak ingin program ini gagal. Polri pun sebenarnya bertaruh banyak dengan program ini sehingga perlu memberi perhatian pada hal-hal yang akan mengganggu kinerja kepolisian.

 

Basis logaritma

 

Kepolisian tampaknya menyadari bahwa program ini dijalankan di tengah kepercayaan masyarakat yang cukup rendah perihal imparsialitas dan netralitas kepolisian. Pandangan yang umum muncul—tidak hanya dari kalangan yang kritis terhadap pemerintahan Jokowi—adalah bahwa kepolisian memberikan perlakuan berbeda-beda pada fenomena yang lebih kurang sama.

 

Untuk mengatasinya, program ini mesti berbasis pada parameter yang valid, faktual, dan akuntabel. Parameter tersebut mencegah kepolisian memberikan perlakuan berbeda, melihat-lihat orang, atau membeda-bedakan isu.

 

Penggunaan aplikasi dan logaritma akan membantu unit siber yang menjalankan program ini untuk mengurangi sentuhan manusia yang penuh bias dan kepentingan.

 

Kapasitas kepolisian

 

Yang juga perlu diperhatikan adalah kapasitas unit siber di mabes dan juga polda-polda tidaklah besar. Unit siber dewasa ini harus bertarung dengan dua jenis kejahatan komputer, yakni kejahatan komputer itu sendiri (yang menyerang dan merusak sistem, jaringan, dan pertahanan dari suatu sistem) serta kejahatan terkait komputer.

 

Data memperlihatkan, kepolisian menghabiskan banyak sekali waktu dan tenaga mengurusi kejahatan terkait dengan komputer yang sebetulnya tidak tinggi komponen teknologi dan pengetahuan komputernya. Kejahatan ini pada dasarnya berupa pemanfaatan komputer yang salah untuk tujuan mengirim berita bohong, pernyataan kebencian, menipu, memfitnah, dan mencemarkan orang lain.

 

Program pemolisian virtual ini kelihatannya akan membuat polisi semakin banyak menghabiskan waktu, anggaran, dan jam kerja untuk kejahatan sederhana ini.

 

Masalahnya, pada saat yang sama, perhatian juga mesti diberikan pada kejahatan komputer yang ancamannya tidak boleh dipandang enteng.

 

Ada cukup banyak kasus pernah terjadi di Indonesia, di mana pencurian password, pengacauan sistem, dan pembobolan jaringan mengguncang satu instansi dan menimbulkan kepanikan di masyarakat. Dikhawatirkan kapasitas kepolisian sudah terserap dan tak lagi tersisa untuk menangani kejahatan ini.

 

Keberlanjutan program

 

Seperti juga banyak program kepolisian yang sebenarnya bagus dan penting kerap terganggu dengan problema keberlanjutan (sustainability problem). Saat pimpinan baru muncul, program lama umumnya segera hilang alias tidak berlanjut.

 

Salah satu masalahnya adalah banyak program di kepolisian tidak didukung dengan dana negara, dengan kata lain merupakan inisiatif pimpinan yang berbasis dana off-budget. Maka, wajar jika pimpinan baru tidak mau menanggung beban guna melakukan hal serupa.

 

Terkait dengan virtual police, perlu dipastikan bahwa aspek keberlanjutan terjaga dengan baik. Jika tidak, ini akan amat memengaruhi citra kepolisian di mata masyarakat.

 

Seyogianya, untuk kegiatan-kegiatan kepolisian yang menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung, jangan sampai suatu program tiba-tiba berhenti karena itu akan membuat masyarakat bertanya-tanya tentang keseriusan kepolisian menanggulangi suatu problem kriminalitas.

 

Bahaya ekspansi program

 

Wajah lain dari dimensi keberlanjutan adalah kecenderungan kepolisian untuk ekspansi program. Dewasa ini, kepolisian hadir di mana-mana. Mulai dari mengurusi geng motor hingga memastikan protokol kesehatan terkait dengan Covid-19 berjalan. Menangani mulai dari perompak di perairan hingga aktivitas kelompok kriminal bersenjata di Pegunungan Reni Jaya, Papua. Luas sekali.

 

Dengan sedemikian banyak wilayah peperangan, jika memakai terminologi militer, bagaimana kepolisian bisa fokus, bisa efisien mengalokasikan sumber daya, dan yang terpenting bisa memenangi perang? Sejauh ini tidak ada medan yang benar-benar dimenangi oleh kepolisian dalam bentuk berkurang atau bahkan hilangnya suatu bentuk kriminalitas dari masyarakat.

 

Mengambil format pemolisian, sejauh ini kepolisian melakukan berbagai program pemolisian. Mulai dari yang amat terkenal, yakni pemolisian masyarakat/polmas (community policing), pemolisian paramiliter oleh Brimob, pemolisian didahului intelijen (intelligence-led policing) oleh satuan intelijen, hingga berbagai pemolisian lain. Khususnya polmas, dewasa ini hampir tak terdengar lagi gemanya.

 

Terkait dengan perkembangan dunia maya, yang boleh dibilang menjadi arena terbaru kepolisian untuk beraksi, wajar jika kita berharap kepolisian semakin berhati-hati mengatur sumber daya, mengatur operasi kepolisian, serta mengatasi tekanan publik.

 

”Police hazard” tradisional

 

Seiring dengan wajah kriminalitas yang canggih, jangan lupa bahwa bahaya kepolisian tradisional (traditional police hazard) tetap menghantui. Kejahatan jalanan yang dewasa ini turun angkanya, mengingat beberapa wilayah publik relatif sepi ditinggal masyarakat yang banyak berada di rumah, setiap saat akan meningkat kembali.

 

Fenomena konvensional, seperti kejahatan narkotika dan kejahatan kekerasan, juga akan terus merepotkan kepolisian. Belum lagi berbagai gangguan kamtibmas perkotaan, seperti demonstrasi, kebut-kebutan, dan tawuran sekolah.

 

Yang mau dikatakan adalah bahwa kepolisian tidak boleh melupakan persoalan kamtibmas konvensional dan tradisional. Lebih dari itu, kepolisian harus siap menghadapi dua wajah pemolisian yang amat berbeda: yang canggih dan yang amat biasa. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar