Bahaya
Populisme Amerika R William Liddle ; Profesor Ilmu Politik Emeritus,
Ohio State |
KOMPAS,
03 Maret
2021
Sampai kini, mayoritas anggota Dewan
Perwakilan AS dari Partai Republik (133 dari semua fraksi yang berjumlah
211), salah satu dari dua partai besar di AS, menolak hasil Pilpres 2020.
Begitu juga tujuh senator Republik (dari semua fraksi yang berjumlah 50).
Klaim mereka, pilpres ”dicuri” oleh kampanye Joe Biden dari Partai Demokrat. Meski Biden telah dilantik menjadi presiden
pada 20 Januari 2021, kebohongan besar ini masih dipegang kuat-kuat oleh para
legislator ini. Penyakit apa yang menyebabkan demam ini?
Terutama, ambisi untuk dipilih kembali sebagai legislator atau, dalam hal
beberapa senator, untuk dicalonkan sebagai presiden pada 2024 dalam sebuah
partai yang dikuasai mantan presiden Donald Trump. Menurut survei Reuters
mutakhir, 76 persen dari pemilih Trump—55 juta orang—masih percaya bahwa
Pilpres 2020 dicuri oleh Biden. Perkembangan ini memprihatinkan. Trump
telah membuktikan selama empat tahun di Gedung Putih, ia tak bersedia
mematuhi sendi-sendi negara hukum, termasuk pemisahan kekuatan antara cabang
eksekutif dan legislatif yang disahkan undang-undang dasar. Panggilan berdasar hukum (subpoena) dari
panitia-panitia Dewan, khususnya setelah badan itu dikuasai Demokrat, umumnya
ditolak tanpa tanggapan. Pokoknya, ia ingin berkuasa sendiri selaku seorang
diktator populis yang mengaku disokong rakyat. Kebijakan luar negerinya berantakan,
merugikan kepentingan, baik bangsa AS maupun sekutunya dan negara lain,
seperti Indonesia. Kebijakannya terhadap China meloncat dari pujian
berlebihan ke kutukan, kedua-duanya dangkal dan memalukan. Tanpa menutupi kesalahan para pendahulunya,
sebagian besar pemerintahan AS usai Perang Dunia II berusaha mengembangkan
lembaga-lembaga internasional yang bisa dimanfaatkan semua bangsa. Atas dasar slogan America First, Trump
tanpa malu-malu menggantikan kebijakan itu dengan aturan amat kasar, fee for
service, pembayaran tunai untuk setiap jasa. Dalam sebuah negara demokratis, Trump tentu
tak bertindak sendirian. Ia tak mungkin menang pada 2016 atau kalah tipis
pada 2020 apabila gaya dan substansi populismenya tak disambut hangat. Pada
Pilpres 2020, ia meraih 74 juta suara, melebihi semua calon presiden dalam
sejarah pilpres AS (kecuali Biden, yang meraih 81 juta). Mengapa Trump berhasil? Intinya, ia mampu
menggabungkan kepentingan tradisional Partai Republik dengan amarah populis. Kepentingan
tradisional, termasuk dukungan pada pasar bebas, deregulasi, serta perlawanan
terhadap legalisasi aborsi dan pengawasan senjata api. Pasar bebas dan
deregulasi disukai pebisnis. Aborsi melambangkan kegelisahan penganut
agama konservatif bahwa kekuasaan budayanya terancam sekularisasi. Pengawasan
senjata melambangkan kuatnya individualisme, dosa bawaan dari zaman Revolusi
Kemerdekaan. Semua kepentingan itu dilayani Trump
tatkala ia berkuasa. Pajak bisnis dipotong drastis. Di Mahkamah Agung, ia angkat
tiga hakim baru (sepertiga dari sembilan, jumlah lengkapnya) yang diharapkan
melindungi hak istimewa penganut agama konservatif. Usul-usul Demokrat untuk
mengawasi penjualan senjata ditolaknya atas dasar konstitusional yang
kontroversial. Akan tetapi, Trump menambahkan beberapa
unsur baru pada kebijakan-kebijakan standar itu. Ia mengklaim, dengan gaya
garang bahwa ia mewakili rakyat yang selama ini tidak terwakili oleh elite,
baik Demokrat maupun Republik. Namun, dalam kenyataannya, rakyat yang diklaim
itu terdiri atas kaum putih belaka. Rasisme Trump sudah lama terang benderang.
Ia menyeru pada 1989 kepada Pemerintah Negara Bagian New York agar meloloskan
UU hukuman mati. Kasusnya, lima orang Amerika-Afrika dan Hispanik yang
dihukum penjara setelah mengaku memerkosa dan hampir membunuh seorang jogger,
perempuan putih, di Central Park, kota New York. Pada 2002, lima orang itu
dibebaskan setelah terungkap bahwa pengakuan palsunya dipaksakan polisi. Pada 2011, Trump mulai berinsinuasi bahwa
Presiden Barack Obama tidak lahir di Amerika, jadi tidak sah menjadi
presiden. Akhirnya, Obama merasa terpaksa mengeluarkan versi panjang akta
kelahirannya dari Negara Bagian Hawaii. Pada 2017, tatkala menjabat presiden, Trump
menunggangi reli Unite the Right, persatuan politik kanan, di
Charlottesville, Virginia, demi mengisyaratkan kepada kaum supremasis putih
bahwa ia berada di pihaknya. Harapan
kepada Biden Pada 20 Januari 2021, Biden dilantik untuk
masa jabatan empat tahun. Apakah ia akan mampu membendung banjir kaum populis
dan massa Republik lainnya yang masih dikendalikan Trump? Langkah-langkah
pertamanya menjanjikan. Kebijakan domestiknya mengutamakan penanganan pandemi
Covid-19 serta pemulihan ekonomi dan perombakan kebijakan imigrasi Trump yang
tak manusiawi. Semua kebijakan itu berdasarkan pengakuan
kesamaan hak semua orang, berlawanan 180 derajat dengan supremasi putihnya
Trump. Kebijakan luar negeri Biden menawarkan dua
hal. Proses teratur, yang berarti setiap negara bisa mengharapkan perlakuan
dewasa. Lalu, substansi dewasa pula, misalnya kebijakan China yang akan
menimbangkan secara matang aspek-aspek ekonomi, keamanan, dan moralitas. Akhir kata, apakah kebijakan pemerintahan
Biden dan pelaksanaannya selama empat tahun ke depan akan memuaskan cukup
banyak pemilih sebelum Pilpres 2024 mengingat serunya serangan Trump? Saya
sendiri optimistis. Namun, kita perlu ingat terus betapa belum
pernah terjadi sebelumnya, keberangan puluhan juta orang yang masih meyakini
kebohongan besar bahwa Pilpres 2020 dicuri oleh kampanye Biden dan Partai
Demokrat-nya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar