ANALISIS POLITIK
Waspada Keselamatan Negara
Oleh : YUDI LATIF
KOMPAS, 5 Desember 2019 03:50 WIB
Tahun depan,
negara Indonesia merdeka genap berusia 75 tahun. Pengujung generasi ketiga
dalam siklus keberlangsungan entitas kuasa. Setiap tiga generasi berlalu,
nubuat Ibn Khaldun memperkirakan titik ini sebagai momen rawan bencana, yang
bisa mengancam daya sintas negara.
Dalam
konteks inilah, ajakan Presiden Joko Widodo untuk memperkuat internalisasi dan
implementasi Pancasila menemukan relevansinya. Bahwa ancaman terbesar bagi
keberlangsungan negara ini adalah kehilangan orientasi.
Perjalanan
politik negara semestinya dipimpin oleh ide, menghikmati ide, dan membumikan
ide. Namun, sejauh ini, politik lebih dipimpin oleh oligarki, menghikmati
oligarki, dan membumikan oligarki. Tanpa ideologi, sebuah bangsa kehilangan
kerangka solidaritas bersama dan bintang penuntun untuk bertindak.
Masing-masing
bertindak atas dasar logika kepentingan. Rasa saling percaya lenyap; elite
saling berlomba mengkhianati sesama dan negaranya. Sumpah dan keimanan
disalahgunakan. Kebaikan dan kedalaman dimusuhi, keburukan dan kedangkalan
dirayakan.
Pancasila
sering disebut, tetapi lebih sebagai ritual pemanis bibir, yang tingkat
kedalaman ucapannya hanya sampai di tenggorokan. Apabila kita sungguh-sungguh
ingin menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara, maka perlu kejujuran
kesadaran bahwa pusat masalahnya justru terletak pada elite penyelenggara
negara.
Arus utama
perilaku elite politik tidak tegak lurus di atas imperatif moral Konstitusi.
Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945 menegaskan, ”Negara berdasar atas
Ketuhanan, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu,
undang-undang dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan
lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang
luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur”.
Memang tak
bisa dimungkiri adanya penguatan radikalisme di tengah masyarakat. Akan tetapi,
hal itu harus dihayati sebagai akibat, bukan sebab. Ada tiga kelompok sosial
yang rawan terpapar radikalisme: kaum muda, kaum ibu, dan kaum pensiunan. Hal
itu ada kaitannya dengan ”nilai waktu”. Ketiga kelompok itu beban aktivitasnya
relatif tidak terlalu banyak sehingga waktu dipandang lebih berlimpah.
Apabila
otoritas pemerintah tidak mampu memberi ruang aktualisasi yang positif, dalam
menggunakan waktu luang, sementara kelompok-kelompok militan aktif mendekati
dan melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan dan jaringannya, maka di sanalah
terpaan radikalisme bermula. Jangan terlalu berlebihan memercayai kekuatan
media sosial (medsos) sebagai sarana konter-radikalisasi.
Sarana utama
penjaringan radikalisme/terorisme bukanlah lewat medsos, melainkan lewat jaringan
pertemanan (friendship) dan kekerabatan (kinship). Media hanya digunakan
sebagai sarana peneguh setelah seseorang terjerat dalam jaringan. Oleh karena
itu, kunci utamanya ada pada social engineering. Negara harus mampu membangun
kerangka kebijakan dan tata kelola dalam pemanfaatan waktu dengan membuka
berbagai ruang aktualisasi diri.
Kaum
terdidik perkotaan dengan aspirasi mobilitas sosial yang tinggi juga jadi
tempat persemaian yang subur bagi godaan ideologisasi. Apabila harapan
mobilitas sosial itu dirasa terancam oleh penyempitan kesempatan kerja dan
usaha, mereka akan memproyeksikan permusuhan terhadap golongan lain yang
dipandang sebagai biang keladinya. Dalam konteks itulah, tarikan ke arah
politik identitas bisa menguat.
Dengan kata
lain, sosialisasi Pancasila lebih dari sekadar kampanye kreatif lewat medsos.
Kita perlu memperbarui kerangka tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera
yang dapat mencegah warga terseret aliran ideologi lain yang bisa merongrong
keberlangsungan negara.
Untuk urusan
tata nilai, agen utamanya adalah komunitas (komunitas pendidikan, agama,
pekerjaan, permukiman, media, adat dan budaya, ormas dan organisasi politik).
Tokoh-tokoh komunitas jangan sibuk terhanyut ke dalam perebutan dan
pertengkaran politik praktis dengan mengabaikan tugas merawat nilai.
Untuk urusan
tata kelola, agen utamanya adalah aparatur negara. Pejabat negara tidak perlu
sibuk khotbah moral kepada masyarakat, tetapi melupakan perbaikan tata kelola
budaya, pemerintahan, dan perekonomian.
Untuk urusan
tata sejahtera, agen utamanya adalah dunia usaha. Dunia usaha harus mampu
memberikan nilai tambah atas karunia sumber daya negeri ini dengan input
pengetahuan dan teknologi yang mengarah pada knowledge economy. Jangan hanya
memperluas pundi-pundi kekayaan dengan melupakan kebajikan publik dan
kesejahteraan umum. Para pengusaha besar harus punya sikap ugahari, dengan
tidak menghabisi kesempatan usaha bagi ekonomi menengah dan kecil.
Di atas
landasan pembagian peran dan semangat silih asih, asah, dan asuh itulah, kita
bergotong royong menjaga keberlangsungan negara. ***
numpang promote ya min ^^
BalasHapusHayyy guys...
sedang bosan di rumah tanpa ada yang bisa di kerjakan
dari pada bosan hanya duduk sambil nonton tv sebaiknya segera bergabung dengan kami
di DEWAPK agen terpercaya di tunggu lo ^_^
JACKPOT ynag besar hanya di AJOQQ :D
BalasHapusWA : +855969190856