TRANSFORMASI PENDIDIKAN TINGGI
Menanti ”Kuda Troya” Nadiem
Oleh : BUDI
WIDIANARKO
KOMPAS, 16 Desember 2019
Semoga wawancara Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim dengan harian Kompas
(6/11/2019) belum menampilkan sosok utuh ”Kuda Troya” pemikiran menteri
milenial itu tentang pendidikan tinggi. Dalam rekaman wawancara yang dimuat
keesokan harinya, lontaran Nadiem tentang pendidikan tinggi masih terbatas pada
seputar dua hal, yaitu link and match dan soft skills. Lontaran Nadiem dalam
wawancara itu seolah hanya menegaskan adagium ”tiada yang baru di kolong
langit” (nothing is new under the sun).
Dalam laporan LinkedIn itu
disebutkan, 92 persen profesional yang disurvei menyatakan soft skills
setidaknya sama atau bahkan lebih penting daripada hard skills dalam penentuan
dipekerjakan tidaknya seseorang. Setidaknya, ada lima jenis soft skills yang
menurut laporan itu menjadi kunci keberhasilan karier profesional saat ini,
yaitu (1) kreativitas (creativity), (2) kemampuan memengaruhi (persuasion), (3)
kolaborasi (collaboration), (4) kemampuan beradaptasi (adaptability), dan (5)
manajemen waktu (time management). Keyakinan yang tinggi pada keandalan soft
skills tecermin dari slogan ”Soft skills, where machine can’t compete” di salah
satu halaman laporan itu.
Sebenarnya, kedua perkara
itu, link and match dan soft skills, hanya berurusan dengan kemampuan lulusan
pendidikan tinggi yang dituntut oleh pasar kerja. Mandat dan peran pendidikan
tinggi jauh lebih luas dari sekadar dua perkara itu. Dengan kata lain,
perhatian dan usaha yang terlalu besar pada kedua tuntutan itu, disadari atau
tidak, bisa jadi hanya akan mengerdilkan perguruan tinggi menjadi sebuah usaha
”catering” bagi dunia kerja.
Goyah dan Latah
Sejak awal menguatnya diskursus
tentang soft skills sebagai penentu keterpekerjakan (employability) lulusan,
kalangan pendidikan tinggi seperti terenyak dan cenderung mengamini begitu
saja. Tanpa membuang waktu, segenap perguruan tinggi di negeri ini di bawah
”komando” otoritas pendidikan tinggi lantas mengembangkan dan menjalankan aneka
program soft skills mahasiswa. Nyaris tidak ada daya kritis menanggapi arus
kuat soft skills dari sivitas akademika. Semua seolah menyerah begitu saja dan
serta-merta anut grubyuk ber-soft skills-ria.
Bergerak cepat dan gesit
dalam mengadopsi apa yang tengah menjadi tren global memang bukan ”barang” baru
bagi pendidikan tinggi Indonesia. Sayangnya, kecepatan dan kegesitan itu lebih
mewujud dalam kapasitas sebagai pengagum dan pengguna belaka—bukan pencipta.
Dalam perkara soft skills, kalangan pendidikan tinggi terkesan begitu mudah
goyah—segera dilanda kecemasan, langsung mengadopsi. Alih-alih menanggapi
secara kritis, yang muncul malah sikap latah—mengembangbiakkan program-program
pengembangan soft skills di kampus-kampus seantero nusantara.
Akan sangat mengkhawatirkan
jika sikap mudah goyah dan latah itu digunakan untuk menanggapi rekomendasi
LinkedIn tentang 25 hard skills (kompetensi teknis) yang paling dibutuhkan
dunia kerja saat ini. Daftar LinkedIn itu hanya mencakup lima kelompok
keahlian, yaitu (1) komputasi, data science, dan kecerdasan buatan; (2) desain
dan produksi multimedia; (3) pemasaran (digital); (4) komunikasi dan layanan
konsumen; (5) kepemimpinan, people management, analisis, dan strategi bisnis.
Jika kalangan pendidikan
tinggi, terutama para pemukanya, tidak kritis terhadap daftar itu dan segera
mengadopsinya untuk program studi, akan muncul risiko ”mutilasi” program
akademik di perguruan-perguruan tinggi. Padahal, sangat terpampang gamblang bahwa
daftar itu mengidap bias industri 4.0 yang akut. Dominasi kompetensi teknologi
(digital) dalam daftar itu seolah mengandaikan bahwa kehidupan manusia di dunia
ini bisa terus berlanjut tanpa fisikawan, kimiawan, biologiwan, arsitek,
perencana kota, insinyur sipil, ahli lingkungan, dokter hewan, sejarawan,
antropolog, ahli seni musik, atau bahkan filsuf—untuk menyebut beberapa.
Tidak mengerdilkan
Bukanlah maksud tulisan ini
untuk menolak atau menafikan nilai penting soft skills, melainkan mengajak
kalangan pendidikan tinggi untuk menanggapi tantangan soft skills ini dengan
lebih dingin dan kritis. Meski penting, soft skills bukan segalanya bagi
perguruan tinggi. Dalam konteks universitas kekinian—yang dikenal sebagai
universitas transformatif—setidaknya ada delapan mandat penting yang harus
diemban oleh setiap perguruan tinggi (Guzman-Valenzuela, 2016).
Kedelapan mandat itu adalah
(1) memberi peluang kepada siapa saja untuk mendapatkan pendidikan tinggi tanpa
pembedaan, pengecualian, dan perseteruan; (2) memberi akses kepada siapa saja
untuk mendapatkan pendidikan tinggi yang terbaik; (3). menjamin semua mahasiswa
untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang
memungkinkan mereka mendapatkan pekerjaan yang laik setelah lulus; (4)
mendorong penciptaan pengetahuan ilmiah sebagai milik masyarakat (public
good)—bukan komoditas; (5) mendorong hubungan belajar mengajar (pedagogical
relationship) antara dosen dan mahasiswa (magistrorum et scholarium)—dengan
menempatkan mahasiswa sebagai co-producer pengetahuan yang berorientasi pada
kepentingan masyarakat; (6) menciptakan discourse (wacana) dan ruang penalaran
dan kekritisan (criticality)—universitas harus senantiasa mempertanyakan,
menantang, mengkritisi wacana yang sedang dominan; (7) menjadi institusi yang
terbuka bagi publik—universitas bukan sekadar ”proyek” intelektual, melainkan
terlibat pula secara sosial, ekonomi, dan politik demi kemajuan masyarakat
lokal dan yang lebih luas; (8) mengembangkan pengetahuan tentang misi publiknya
sendiri melalui kajian yang sistematik untuk meningkatkan peran universitas di
aras lokal, nasional, dan global.
Penulis yakin, Nadiem tentu
tidak punya maksud untuk mengerdilkan pendidikan tinggi—hanya dengan mengusung
gagasan link and match dan soft skills. Justru Nadiem diharapkan mampu membantu
perguruan-perguruan tinggi negeri ini untuk menjadi institusi berwatak
transformatif. Ketika kalangan pendidikan tinggi masih terus berkutat dengan
pemahaman kognitif dan wacana tentang pendidikan tinggi yang ideal, tantangan
untuk Nadiem adalah bagaimana mengubah apa yang diketahui secara kognitif
menjadi suatu program nyata nan inovatif sehingga punya daya ungkit terhadap
mutu dan daya saing pendidikan tinggi Indonesia.
Ayo Menteri Nadiem segera
bawa masuk Kuda Troya Anda ke belantara pendidikan tinggi Indonesia. Lakukanlah
apa yang dalam entri Kuda Troya di Encyclopedia Britannica sebagai ”subversion
introduced from the outside”. Kami menunggu.
(Budi Widianarko, Guru Besar Unika Soegijapranata,
Anggota Pusat Kajian Pendidikan Tinggi Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik
Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar