PERTAHANAN SIBER
Siapkah Indonesia Hadapi Peperangan
Hibrida?
Oleh : MEUTYA VIADA HAFID
KOMPAS, 11 Desember 2019
Menteri
Pertahanan Australia Linda Reynolds menyebut “saat ini terjadi perubahan
karakter perang, tak lagi menggunakan konflik bersenjata tradisional, para ahli
menyebutnya taktik zona abu-abu atau hybrid warfare.”
Lalu apa
yang dimaksud dengan hybrid warfare?
Peneliti AS
Frank Hoffman menyebut peperangan hibrida sebagai berbagai cara/taktik yang
digunakan secara simultan untuk menyerang musuh (Hoffman, 2007). Peperangan hibrida dilakukan melalui
non-state actors, di mana mereka menggunakan prosedur dan taktik yang tidak
biasa. Metode yang digunakan dapat berupa terorisme, pemberontakan, serangan
gerilya, kejahatan terorganisasi, serangan siber atau teknologi informasi,
terhadap target militer dan institusi ekonomi, serta pengrusakan terhadap
infrastruktur, jaringan komunikasi dan transportasi. (Kai, Heng dan Jie, 2017).
Keberadaan
Negara Islam di Irak dan Suriah/NIIS (Islamic State of Iraq and Syria/ISIS)
merupakan contoh peperangan hibrida terhadap pemerintah Irak dan Suriah tahun
2014-2018. Metode yang digunakan NIIS tidak umum, seperti merekrut anggota
memanfaatkan teknologi, media sosial. ISIS mengeksploitasi medsos, seperti
menggunakan Twitter dan Facebook untuk mendapat perhatian dari jutaan Muslim di
seluruh dunia (Cage, 2019).
Contoh lain,
perang antara Ukraina dengan Rusia pada 2014. Pihak Rusia menggunakan metode
baru, menyebar berbagai informasi negatif terhadap angkatan bersenjata Ukraina
dan pemerintah Ukraina. Berbagai serangan siber itu menyebabkan upaya pendiskreditan,
ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap pimpinan angkatan bersenjata dan
politik, dan merusak moral masyarakat dan meningkatkan desersi di antara
personel militer.
Ancaman atas Indonesia
Di saat
pemimpin NIIS Abu Bakr Al-Baghdadi ditemukan tewas di Suriah dan NIIS di Irak
dan Suriah gagal menjatuhkan pemerintah, Asia Tenggara khususnya Indonesia
dianggap tempat ideal basis NIIS di Asia Tenggara. NIIS di Indonesia telah
berkembang dengan nama Jemaah Ansharut Daulah (JAD), mendominasi aksi teror di
Indonesia. Serangkaian serangan teror telah terjadi di Indonesia, puncaknya
pemberontakan napi teroris di rutan Mako Brimob dan serangkaian aksi terorisme
di Surabaya, Jawa Timur.
Terjadi
pergeseran metode yang digunakan oleh kelompok jaringan teroris di Indonesia,
yaitu menggunakan medsos sebagai alat propaganda dalam merekrut anggota. Metode
perekrutan yang dilakukan oleh kelompok NIIS terbukti efektif menarik banyak
orang bergabung. Mudahnya kelompok jaringan
terorisme dan radikalisme dalam menyebar propaganda anti-Pancasila dan konten
radikal dinilai jadi salah satu alasan kelompok ini dapat terus berkembang.
Penyebaran konten melalui medsos, hingga WhatsApp Group dianggap efektif.
Teknologi
seperti medsos, memungkinkan bagi seorang aktor untuk memengaruhi seluruh
institusi dan infrastruktur dalam suatu negara. Tujuan utama peperangan hibrida
adalah mengontrol masyarakat, memengaruhi pola pikir (mindset) masyarakat,
memanipulasi masyarakat. Pihak lawan akan berusaha memanipulasi nilai-nilai
dasar yang dianut oleh masyarakat, memotivasi masyarakat untuk menolak
nilai-nilai dasar tersebut, dan kemudian menyerang infrastruktur yang strategis
di suatu negara (Danyk Maliarchuk dan Briggs, 2017).
Kesiapan Indonesia
Perang jenis
baru ini harus dipahami oleh Menhan Prabowo, karena tidak bertumpu pada
kemampuan militer tetapi juga kemampuan non-militer, khususnya teknologi
informasi. Penyebaran paham radikal di Indonesia merupakan upaya lawan dalam
memanipulasi nilai-nilai dasar Pancasila yang dianut oleh masyarakat
Indonesia. Menhan harus siap akan
berbagai serangan militer maupun non-militer. Menghadapi serangan militer
tentunya harus melengkapi alutsista hingga mencapai Minimum Essential Force
(MEF) 100 persen.
Sementara
dalam menghadapi serangan non-militer seperti pemanfaatan medsos sebagai sarana
propaganda kelompok jaringan teroris dan radikal, Kementerian Pertahanan perlu
mengembangkan pertahanan siber. Perang di masa akan datang akan ditentukan oleh
serangan non-militer seperti serangan siber. Negara lawan dan aktor non-negara
saat ini meningkatkan penggunaan siber untuk memunculkan konflik dan peperangan
di negara lain, dalam rangka mengumpulkan intelijen, mempromosikan narasi
mereka, hingga pada akhirnya mengintegrasikan operasi siber dan operasi fisik.
Sudah
saatnya Indonesia mulai memikirkan doktrin militer siber dan kemampuan
pertahanan siber menghadapi ancaman di masa akan datang.
Meutya Viada Hafid, Ketua Komisi 1
DPR RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar