PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN
Beban Kebudayaan di Bahu Nadiem
Oleh : HARYADI BASKORO
KOMPAS, 20 Desember 2019
Nadiem
Makarim diharapkan bukan hanya memajukan pendidikan, melainkan juga kebudayaan
Indonesia.
Wacana dan
upaya pembaruan pendidikan selalu menyeruak setiap kali muncul menteri baru.
Kurikulum 2013, misalnya, diklaim banyak pihak merupakan inovasi pendidikan
yang mampu mencetak anak didik siap pakai, scientific base yang lahirkan
generasi positivis dan fungsionalis, active learning yang melahirkan generasi
teknologis-informatif (Naufil Istikhari, Kompas, 24/3/2014). Artinya, tiap
kepemimpinan pendidikan di negeri ini punya upaya pembaruan dan pemajuan.
Mental pemelajar
Keterpaduan
pembangunan pendidikan-kebudayaan adalah visi orisinal kita sejak Ki Hadjar
Dewantara menjabat Menteri Pengajaran. Dari rezim ke rezim, keterpaduan itu
terus digarap. Era Orde Lama, kementeriannya bernama Departemen Pengajaran
(1945- 1948), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1948-1955), Departemen
Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1955-1956). Sejak 1956 dan era Orde
Baru, namanya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1956-1999). Pascareformasi,
meski sempat diubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional (1999-2009) dan
Kementerian Pendidikan Nasional (2009-2011), akhirnya dikembalikan menjadi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2011-sekarang).
Revolusi
pendidikan Nadiem perlu dilandasi konsep visioner terkait keterpaduan
pembangunan pendidikan dan kebudayaan. Jika tidak, kompleksitas masalah
kebudayaan, mulai dari dekadensi nilai, delinkuensi norma, konflik
multikulturalisme, hingga radikalisme, justru akan menjadi beban tersendiri.
Dalam praktik, pendidikan dituntut bukan hanya untuk cerdaskan bangsa, tetapi
juga membangun generasi lebih berbudaya.
Pendekatan
antropologis membantu kita menemukan benang merah antara pendidikan dan
kebudayaan. Mengacu konsep Koentjaraningrat (1986), kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri melalui proses belajar. Manusia
jadi berbudaya lewat proses belajar yang dalam konteks kehidupan bermasyarakat
dikenal dengan sosialisasi, enkulturasi, dan internalisasi.
Belajar
melalui lembaga pendidikan formal hanya salah satu metodenya. Itulah sebabnya
pada era Ki Hadjar Dewantara dibedakan antara pengajaran dan pendidikan, karena
proses belajar itu lebih luas dan kompleks daripada sekolah dan kuliah.
Revolusi
pendidikan Nadiem akan berimplikasi pada pemajuan peradaban jika berfokus pada
revolusi mental pemelajar. Apalah artinya kurikulum baru jika siswa dan guru
tak punya mental pemelajar. Fasilitas dan fulus pendidikan tak berdampak
pencerdasan manakala kita tak punya sikap kritis, minat meneliti, menemukan
inovasi, dan tak berjiwa kreatif. Itulah sebabnya digitalisasi terkadang justru
berujung pembodohan. Indonesia sebagai salah satu pengguna internet terbesar
dunia jadi terbodohkan secara digital oleh rupa-rupa hoaks, ujaran kebencian,
perundungan, radikalisme siber (cyber radicalism), terorisme siber (cyber
terrorism).
Mental
pemelajar itu harus seluas samudra. Tak hanya belajar di ruang kelas. Tak hanya
belajar untuk cari ijazah, gelar, karier, dan jabatan. Tak hanya belajar
teknologi secara pragmatis. Kita belajar secara kompleks untuk menjadi manusia
berbudaya dalam semua dimensinya: sistem gagasan (nilai, filosofi, ideologi,
pengetahuan), tindakan (sikap, perilaku), dan benda hasil karya (teknologi).
Pembodohan
terjadi manakala proses belajar kebudayaan tak holistik dan tak komplet.
Contohnya, blunder dalam pemelajaran budaya digital. Kita hanya mempelajarinya
sebagai benda hasil karya manusia (wujud budaya materi) tanpa pelajari sistem
gagasan dan perilaku yang harus melandasinya. Akibatnya, penguasaan teknologi
cerdas tak dilandasi multi-kecerdasan insani. Medsos membuat kita narsis karena
kita tak punya kecerdasan intrapersonal, memicu konflik karena kita tak punya
kecerdasan interpersonal, memerosotkan moralitas karena kita miskin kecerdasan
spiritual.
Mental
pemelajar dalam konteks kebudayaan Indonesia itulah yang kita butuhkan. Kita
bersyukur karena telah punya rumusan tentang substansi kebudayaan nasional yang
dirangkumkan dalam filsafat Pancasila. Kelima silanya jadi dasar pembangunan
mentalitas pemelajar kita. Belajar berketuhanan bukan hanya belajar beriman dan
bermoral, melainkan juga berinovasi dan berkreasi sebab Tuhan adalah Sang
Pencipta.
Belajar
berkemanusiaan adalah belajar mengembangkan multikapasitas diri dalam kerangka
cinta sesama. Belajar bersatu adalah belajar berbineka, bersinergi,
berkolaborasi, berjiwa negarawan. Belajar berdemokrasi adalah belajar
berpikiran kritis, berani berbeda pendapat, berdiskusi, bermusyawarah. Belajar
berkeadilan adalah belajar kejar kemakmuran dengan semangat dan kompetensi
kewirausahaan sosial.
Inovasi dan kreasi
Karena
Pancasila digali dari kebudayaan Nusantara, maka itu mengindikasikan betapa
kayanya kearifan asli kita. Kita sangat berlimpah sistem gagasan (nilai,
filosofi, ideologi, sistem pengetahuan). Namun, anehnya, kita tak banyak tahu
dan malahan sibuk impor kebudayaan asing. Kita kagum dengan konsep
multikulturalisme, padahal kita punya konsep Bhinneka Tunggal Ika. Kita terhipnotis
konsep kebangsaan dan kenegaraan asing, padahal kerajaan-kerajaan Nusantara
kaya akan warisan sistem nilai kenegaraan dan kenegarawanan.
Kebodohan
ini terjadi lagi-lagi karena mental pemelajar kita jeblok. Kita punya sumber
energi, tetapi tak mampu menambang, mengolah, dan mengemasnya. Kita seolah
kekurangan energi kultural untuk gerakkan roda peradaban. Di sinilah fungsi
pendidikan sebagai generator pembangkit energi itu.
Pendidikan
harus berkekuatan inovasi dan kreasi untuk merevitalisasi kebudayaan sendiri.
Kemendikbud punya Balai Pelestariam Nilai Budaya (BPNB) yang bisa
dikolaborasikan dengan kegiatan pendidikan. Hasil tambang budaya dari BPNB
perlu diolah dan dikemas lebih lanjut. Melalui kegiatan pendidikan formal,
nonformal, dan informal, nilai-nilai budaya itu dapat diajarkan ke generasi
milenial secara kreatif. Hasil galian budaya jangan hanya teronggok sebagai
barang-barang antik di gudang kebudayaan, tetapi jadi energi penggerak
perubahan.
BJ Habibie
memberikan contoh bagaimana mengoperasikan nilai budaya Nusantara itu sebagai
energi inspirasi dan motivasi untuk pembangunan peradaban modern. Pesawat
terbang karyanya diberi nama Gatotkaca dan beberapa versinya juga memakai
nama-nama tokoh pewayangan. Di sinilah nilai budaya Nusantara diolah dan
dikemas sebagai energi pemelajaran yang menggerakkan roda peradaban Indonesia
masa kini.
(Haryadi Baskoro, Pendiri Indonesia
Rumah Kebhinnekaan (Inruka); Antropolog-Teolog)
agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
BalasHapusayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
WA : +85587781483
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny