INDUSTRI PERTAMBANGAN
ESDM dalam Kabinet Kompromi
Oleh : FERDY HASIMAN
KOMPAS, 2 Desember 2019
Presiden
Jokowi telah memilih 34 menteri, termasuk Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, dan 12 wakil menteri untuk mengemban tugas
kenegaraan dalam Kabinet Indonesia Maju. Secara umum pilihan menteri dan wakil
sarat kompromi politik. Jokowi harus mengakomodasi berbagai kepentingan, mulai
dari partai pendukung hingga lawan politik, sukarelawan, dan kalangan
profesional.
Ada
anggapan, Presiden harus melakukan konsolidasi elite karena hanya dengan
persatuan elite, stabilitas politik terjaga dan pembangunan ekonomi berjalan.
Jika demikian soalnya, demokrasi Indonesia hasil rekayasa elite, crafting
democracy. Sejauh elite kompak, republik ini tetap terjaga.
Kementerian
ESDM adalah portofolio kementerian paling strategis dan terkait hajat hidup
rakyat Indonesia. Menteri ESDM Arifin Tasrif representasi kalangan
”profesional”. Dia berkarier lama di industri petrokimia. Namun, ia juga
dikenal memiliki hubungan dekat dengan elite lintas partai dan pengusaha
energi.
Menteri ESDM
perlu menempatkan dirinya di tengah kelompok kepentingan yang kerap mengganggu
pengambilan kebijakan strategis di sektor energi dan pertambangan.
Publik
berharap menteri ESDM baru bukan titipan parpol atau sekelompok grup bisnis.
Menteri ESDM harus bersih, memiliki kapasitas, berani melawan mafia dan
kekuatan oligarki yang sudah lama membentuk kartel di sektor energi dan
tambang. Kartel oligarki di ESDM adalah modus melakukan monopoli sumber daya
alam mulai dari energi, tambang, sampai urusan listrik.
Arifin
ditempatkan Jokowi sebagai menteri ESDM bukan sekadar untuk keefektifan dan
perampingan birokrasi. Tugasnya, bagaimana mengeksekusi kebijakan strategis
yang dalam hal ini mau tidak mau dia juga harus berhadapan dengan
multi-kepentingan bisnis-politik dan kepentingan ideologi mengamankan pasokan
energi, mengurangi defisit neraca perdagangan, menaikkan produksi minyak dan
gas, serta rakyat mendapat manfaat dari pengelolaan tambang.
Pertanyaan
yang muncul kemudian: bagaimana cita-cita kemandirian energi dan tambang bisa
terwujud jika dalam perjalanannya menteri tidak jernih dalam menjalankan
tugasnya.
Keputusan jadi lamban
Mantan Wakil
Presiden Bank Dunia Joseph E Stiglitz pernah membongkar sisi gelap para
eksekutif di Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) dalam buku
Globalization and Its Discontents (2002).
Stiglitz
mengatakan bagaimana mungkin dua lembaga keuangan global itu bisa mengatur
pembangunan dan sistem moneter global secara adil, sementara para pengambil
kebijakannya berasal dari korporasi besar seperti Citi Corp dan Goldman Sach.
Ini hanya
jabatan lima tahunan. Setelah usai masa bakti, mereka kembali ke tempat asal.
Kebijakan mereka, menurut Stiglitz, pasti cenderung memihak komunitas bisnis
dan finansial.
Apa yang
dilihat Stiglitz punya kemiripan dengan Indonesia. Di negeri ini jabatan
politis, seperti menteri, lebih merepresentasikan kepentingan bisnis dan
politik sehingga aroma kompromi sangat kental. Berhadapan dengan berbagai
kepentingan, pengambil kebijakan mudah sekali jatuh dalam risiko moral hazard
dalam mengambil keputusan.
Moral hazard
artinya mengeksekusi kebijakan hanya menguntungkan sebagian kelompok dan
pengambilan kebijakan strategis jadi sangat lamban. Banyak contoh yang bisa
jadi acuan.
Keputusan
investasi blok minyak dan gas terbesar, Blok Masela (Maluku) di offshore atau
onshore misalnya, butuh proses cukup lama karena terkait kepentingan kelompok
bisnis global-lokal yang ingin dapat jatah dari rantai bisnis pengerjaan
proyek. Ada yang ingin dapat manfaat bisnis jika dibangun di darat, seperti
bisnis lahan dan petrokimia. Ada pula yang ingin dapat manfaat jika dibangun di
laut, seperti proyek pipa laut.
Sempat
terjadi polemik tajam antara Menteri ESDM saat itu (Sudirman Said) dan Menko
Kemaritiman Rizal Ramli. Dua-duanya boleh jadi merepresentasikan kepentingan
kubu, baik darat maupun laut.
Tanpa
komando Presiden Jokowi waktu itu, pembangunan Blok Masela menggantung. Ini
membuat proses persetujuan plant of development (POD) dengan dana investasi 20
miliar dollar AS memerlukan waktu bertahun-tahun dan baru disahkan September
2019. Padahal, pengembangan Blok Masela bisa mengurangi beban impor migas yang
jadi sumber utama defisit neraca perdagangan dalam era pemerintahan Jokowi.
Renegosiasi
kontrak perusahaan tambang emas dan tembaga PT Freeport Indonesia adalah contoh
soal lambannya proses pengambilan keputusan karena terkait pertarungan
multi-kepentingan bisnis-politik. Renegosiasi terkait divestasi, penerimaan
negara, pembangunan smelter sudah berlangsung sejak era SBY (2010) dan baru
tuntas di era Jokowi (2019). Pertarungan melibatkan kepentingan pemegang saham
Freeport, Freeport McMoRan (AS), kepentingan mitra bisnis lokal, dan
kepentingan negara.
Jika
pemimpin tak tegas, kekuatan negara bisa kalah berhadapan saat dengan
kepentingan pemegang saham dan mitra bisnis lokal. Renegosiasi kontrak baru
tuntas saat Kementerian ESDM dipimpin Ignasius Jonan. Jonan memaksa Freeport
mengonversi kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus dengan syarat
divestasi 51 persen saham, pembangunan smelter jika ingin memperpanjang
kontrak.
Jonan
bersinergi dengan Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati
untuk divestasi saham Freeport. Rini, Menteri BUMN waktu itu, merespons cepat
keputusan Jonan dengan cara membentuk holding tambang dipimpin PT Indonesia
Asahan Alumina (Inalum) untuk membeli 51 persen saham Freeport. Dengan holding,
aset BUMN tambang menjadi besar dan modal bagi Inalum dapat pinjaman senilai 5
miliar dollar AS untuk membeli Freeport. Mayoritas saham Freeport kemudian
kembali dikontrol Indonesia.
Penyelesaian
proses divestasi Freeport tak lepas dari komando Presiden Jokowi. Selain itu,
Jonan, Rini, dan Sri Mulyani tak memiliki beban apa pun. Jokowi memilih mereka
bekerja untuk negara, bukan untuk kepentingan parpol dan korporasi dari mana
mereka berasal. Mereka bekerja cepat mengembalikan kedaulatan pertambangan dan
berambisi agar perusahaan milik negara diandalkan.
Posisi
presiden sangat penting untuk memperkuat kebijakan strategis dalam kementerian
apalagi terkait blok migas dan tambang raksasa yang memiliki mata rantai
panjang. Dalam periode pertama, Jokowi memiliki kehendak baik agar negara dapat
untung dari divestasi. Dalam kasus Freeport, Jokowi langsung memerintahkan
Indonesia harus dapat 51 persen saham Freeport. Itu sokongan politik yang
membuat Jonan, Rini, dan Sri Mulyani bergerak cepat.
Kesinambungan sikap dan kebijakan
Pertanyaan
berikutnya bagi menteri ESDM baru, bisakah melanjutkan proyek kedaulatan
tambang yang sudah dijalankan di zaman menteri ESDM sebelumnya? Mampukah dia
bersinergi dengan Menteri BUMN Erick Thohir dan Menkeu Sri Mulyani mengambil
kebijakan strategis di sektor migas dan pertambangan?
Di sektor
mineral, Arifin berhadapan dengan tugas berat menuntaskan renegosiasi kontrak
dengan delapan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
(PKP2B) yang diberikan di zaman Orde Baru dan akan berakhir masa kontraknya
beberapa tahun ke depan.
Kedelapan
PKP2B itu seperti PT Kendilo Coal Indonesia (2021), KPC (2021), Multi Harapan
Utama (2022), Arutmin (2022), Adaro Indonesia (2022), Kideco Jaya Agung (2023),
dan Berau Coal (2025). PKP2B ini terhitung raksasa dan pemain utama di batubara
Indonesia. Produksi dan cakupan luas lahannya besar.
Arutmin dan
KPC memiliki kapasitas produksi batubara 100 juta ton per tahun. Sementara
produksi Adaro Energi 40 juta ton. Berau Coal memiliki lahan seluas 121.589 hektar
dengan produksi 24 juta ton.
Menurut
aturan, PKP2B yang berakhir masa kontraknya dikembalikan ke negara. Negara
kemudian memiliki wewenang memperpanjang atau tidak, serta bisa mengurangi luas
lahan sesuai UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.
Mantan
Menteri ESDM Ignasius Jonan sebelumnya tak memperpanjang kontrak PT Tanito
Harum dan kontrak anak usaha PT Borneo Lumbung. Sementara Rini Soemarno meminta
perlakuan khusus agar BUMN tambang dapat prioritas atas lahan tambang PKP2B
yang diciutkan dengan pertimbangan perusahaan tambang milik negara, PT Bukit
Asam, hanya mengontrol 6 persen pasar batubara domestik dan PLN butuh batubara
untuk memenuhi kebutuhan listrik domestik.
Ini tak
mudah karena delapan PKP2B itu dikontrol konglomerat, elite parpol, dan
terafiliasi dengan kekuasaan.
Keluar dari jebakan
Bisakah
Arifin berkoordinasi dengan Menteri BUMN Erick Thohir? Apakah Arifin berani
memaksa Menteri BUMN mengambil alih lahan tambang yang akan diciutkan PKP2B
demi membesarkan perusahaan BUMN, seperti PLN? PLN kemudian membentuk unit
usaha sendiri di sektor batubara dengan mendapat konsesi gratis dari lahan
PKP2B yang akan diciutkan. PLN selama ini membeli batubara dari produsen
batubara.
Apa salahnya
PLN memiliki konsesi batubara agar menghemat banyak dana dan tak perlu
mengimpor batubara untuk kebutuhan listrik jika tak mendapat kepastian pasokan
dari perusahaan batubara domestik? Ini akan terealisasi jika Arifin tak
tersandera multi-kepentingan. Penyelesaian renegosiasi PKP2B ini bisa jadi
tolok ukur apakah Arifin bebas kepentingan.
Menteri
Arifin harus bisa mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan sektor
ESDM agar keluar dari jebakan multi-kepentingan di sektor energi. Semua
informasi terkait kebijakan strategis dibuka agar rakyat paham apa yang
dilakukan Kementerian ESDM sehingga ada ruang kontrol.
Semakin
tinggi budaya transparansi, semakin kecil ruang bagi kelompok kepentingan
mendikte kebijakan strategis di sektor energi. Tender proyek-proyek besar dan
renegosiasi dengan perusahaan-perusahaan tambang harus dibuka ke ruang publik
agar tak ada manuver gelap yang membuat kepentingan negara dibajak.
Selebihnya,
Arifin perlu membuat kebijakan inovatif agar perusahaan-perusahaan migas mampu
mencari cadangan-cadangan migas baru. Sinergi dengan Kementerian BUMN perlu
guna mendorong Pertamina berani berekspansi mencari lapangan minyak di luar
negeri untuk menambah produksi minyak nasional dan menyelesaikan pembangunan
kilang pengolahan BBM.
Arifin harus
mencari strategi terbaik mengurangi impor liquefied petroleum gas (LPG).
Caranya, mendorong perusahaan batubara yang dipelopori perusahaan batubara
milik negara membangun pemrosesan batubara untuk membangun diethyl ether (DME)
guna mengurangi impor LPG. Ini semua penting untuk menekan laju defisit neraca
perdagangan. Akhirnya, visi Indonesia maju perlu jadi cita-cita bersama dalam
rangka mewujudkan kemandirian energi dan tambang.
(Ferdy Hasiman ; Peneliti pada Alpha
Research Database Indonesia)
numpang promote ya min ^^
BalasHapusHayyy guys...
sedang bosan di rumah tanpa ada yang bisa di kerjakan
dari pada bosan hanya duduk sambil nonton tv sebaiknya segera bergabung dengan kami
di DEWAPK agen terpercaya di tunggu lo ^_^