OMNIBUS
LAW
Revitalisasi Hukum Administrasi Umum
Melalui “Omnibus Law”
Oleh : ENRICO SIMANJUNTAK
KOMPAS, 18 Desember 2019
Sejak
dibacakan pada pidato pelantikan Presiden Joko Widowo, 20 Oktober 2019, istilah
Omnibus Law terus menghiasi pemberitaan dan opini media massa. UU Omnibus dipahami sebagai metode “sapu
jagad”— Omnibus berasal dari bahasa Latin, artinya: untuk segala hal—yang
serentak mengubah berbagai undang-undang terkait pembentukan satu undang-undang
baru.
Maka
kebijakan Omnibus Law juga disuarakan pada bidang sumber daya alam, perpajakan,
hukum administrasi umum, dan kemungkinan akan terus berlanjut di sektor lain.
Fraksi Nasdem di DPR telah mengajukan usulan RUU Hukum Administrasi Umum dalam
Prolegnas 2020.
Jantung peraturan dasar
Secara
universal hukum administrasi umum biasa disebut General Procedure
Administrative Act (GAPA) (Jean-Bernard Auby, 2014). Ini menyangkut jantung
dari aturan dasar bagaimana pemerintah bekerja mengurus kepentingan publik.
Menurut Prof
Auby, “What is central to administrative law is the daily functioning of
administration, and it is daily relationship with the citizen.”
Hukum
administrasi penting, agar setiap tindak-tanduk aparatur pemerintah sesuai
dengan prinsip negara hukum dengan penekanan kepada prosedur administrasi,
yakni bagaimana fundamental dan cara aparatur pemerintah bekerja. Di Jerman
dikenal istilah populer bahwa hukum administrasi adalah konkretisasi hukum
konstitusi: “administrative law is concretized of constitutional law;
konkretisiertes Verfassungsrecht”.
Pemerintah
Federal Jerman melalui lembaga GTZ (Deutsche Gesellschaft fur Technische
Zusammenarbeit) dulu, sangat intens terlibat penyusunan draft awal R-UUAP
(Rancangan-Undang-Undang Administrasi Pemerintahan) bekerjasama dengan Kemenpan
Reformasi Birokrasi.
Kendati
dibahas sejak 2004, pembahasan akhirnya seperti antiklimaks yang tidak pada
waktunya. Proses finalisasi rumusan cenderung terburu-buru, disahkan 17 Oktober
2014, beberapa saat sebelum masa kerja anggota DPR periode 2009-2014 berakhir.
Setelah itu
tersisa persoalan: meskipun UUAP memiliki visi besar sebagai UU Payung,
(umbrella act), namun di sana-sini isinya terlampau minimalis, terbatas, tidak
sesuai dengan ambisinya.
Rezim perizinan
Isu
perizinan (dispensasi dan atau konsesi), misalnya, hanya diatur batas waktu
penerbitannya (time-limit) yakni paling lama 10 hari, jika tidak ditentukan
lain oleh peraturan berbeda. Apakah perizinan menganut rezim terintegrasi
(integrated license) atau terfragmentasi (fragmented license) tidak diatur sama
sekali.
Pentingnya
orientasi pilihan seperti itu kemudian justru dikudeta secara parsial oleh PP
Nomor 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik atau OSS (Online Single Subsmission) dengan risiko menderogasi
berbagai peraturan setingkat undang-undang di atasnya. UUAP—sebagai lex
generalis—memang seharusnya lebih dulu dibuat atau pun jika tidak demikian
kehadirannya harus tetap mampu memaksa berbagai undang-undang sektoral (lex
specialis) atau produk legislasi lain yang terkait dengannya untuk tetap
seirama dan senafas dengan maksud dan tujuan utama, yakni sebagai landasan
dasar setiap keputusan administrasi pemerintahan.
Usulan
pembuatan Omnibus law di bidang hukum administrasi (umum) atau terkait bidang
ini selain sebagai kesempatan merapikan berbagai peraturan yang tumpang tindih
(overlapping) dan mengandung muatan konflik satu dengan yang lain (conflicting
norms), sekaligus dapat digunakan sebagai momentum revitalisasi kitab UU Hukum
Administrasi Umum yang sekarang: UUAP.
Tantangan terbesar
Mencapai
tujuan ini, tantangan terbesar kebijakan Omnibus Law di bidang ini adalah
bagaimana pertama-tama mengidentifikasi dan mengharmonisasi kompleksitas
berbagai undang-undang sektoral yang kurang selaras (misalnya UU Pelayanan
Publik, UU Ombudsman dsb) atau tidak koheren dengan undang-undang induk. Belum
lagi memposisikan relevansi aneka produk hukum lain terkait atau tidak dengan
UUAP.
Contohnya,
dalam skala tertentu UUAP merupakan hukum materil bagi UU Peradilan Tata Usaha
Negara. Terkait tetapi terpisah. Kategori legislasi dan regulasi seperti ini
tersebar luas membentuk irisan dan/atau himpunan legal matrix dalam spektrum
multi universe.
Pendek kata,
pemetaan belantara legislasi dan regulasi seperti itu tentu tidak akan mudah
dilakukan dan secara singkat dapat dilaksanakan (quick and easy). Apalagi
berbagai stakeholder terkait harus dilibatkan, akademisi, praktisi dan
masyarakat sipil.
Kisah sukses
harmonisasi secara bertahap (gradual) dan berkelanjutan (sustainable) kitab UU.
Hukum Administrasi Umum di Belanda yakni Awb (Algemene wet bestuursrecht) pada
tahun 1998 dan 2009, merupakan inspirasi dalam rangka mensiasati kebutuhan
konsistensi dengan kelenturan suatu undang-undang (durability versus
flexibility).
Sasaran
akhir kebijakan Omnibus Law di bidang Hukum Administrasi Umum haruslah mampu
menciptakan eksosistem hukum administrasi yang menjamin kesejahteraan rakyat
sekaligus perlindungan hukum yang berkeadilan, tidak suatu reaksi tambal sulam
menutupi kelemahan-kelemahan aturan hukum yang sedang berlaku.
(Enrico Simanjuntak, Program Doktor
Hukum Universitas Indonesia)
Salam kenal.
BalasHapuskunjungi juga uma.ac.id