EVALUASI BELAJAR
Transisi dari UN ke Asesmen
Pemelajaran Harus Dikebut
Oleh : LARASWATI ARIADNE ANWAR
KOMPAS, 13 Desember 2019
Menteri Pendidikan dan
kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan, sistem asesmen untuk mengkur kinerja
sekolah, baik untuk mengevaluasi siswa, tetapi juga untuk meningkatkan
kompetensi guru.
Proses
transisi sistem evaluasi hasil belajar dari ujian nasional menjadi asesmen
kompetensi minimum dan survei karakter harus dilakukan segera dan secara
komprehensif mengingat waktu pelaksanaannya kurang dari 1,5 tahun. Memberi
kepercayaan kepada guru untuk mengembangkan pola pemelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan peningkatan kompetensi siswa dan pelatihan mengenai penalaran tingkat
tinggi niscaya dimasifkan.
Selama ini,
UN menguji konten mata pelajaran, tetapi mayoritas masih menekankan pada
hafalan rumus dan teori. Memang secara bertahap Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan memasukkan soal-soal yang membutuhkan penalaran tingkat tinggi (high
order thinking skills/HOTS), tetapi
perubahan pola pemelajaran belum banyak terjadi.
”Perlu
dipahami bahwa asesmen ini untuk mengukur kinerja sekolah melalui hasil yang
dicapai siswa, bukan untuk menghakimi siswa. Oleh sebab itu, asesmen dilakukan
pada kelas IV, VIII, dan XI sehingga ada waktu satu tahun untuk pembenahan
sistem pemelajaran di sekolah sebelum siswa lulus dan melanjutkan ke jenjang
yang lebih tinggi,” tutur Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim
dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR di Jakarta, Kamis (12/12/2019). Rapat
dipimpin Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda dan Wakil Ketua Komisi X Dede Yusuf.
Dalam metode
asesmen ini, kata Nadiem, siswa tidak lagi diuji per mata pelajaran, tetapi
pada kategori literasi, numerasi, dan karakter. Kemdikbud masih membahas teknis
pelaksanaan asesmen ini.
Namun, yang
pasti, ujian menggunakan komputer. Siswa akan membaca teks berupa narasi,
argumentasi, atau jenis-jenis lain yang
di dalamnya mencakup berbagai isu terkait mata pelajaran serta ilmu yang mereka pelajari. Topik permasalahan dikaitkan
dengan kehidupan sehari-hari. Tipe asesmen ini terinspirasi tes Program Asesmen
Siswa Internasional (PISA).
Pada segi
survei karakter, siswa diminta mengisi angket mengenai kehidupan mereka di
sekolah. Pertanyaan-pertanyaan itu akan diekstrapolasi untuk menunjukkan
apabila siswa merasa nyaman di sekolah, keberadaan perundungan di dalam sistem
dan pergaulan, kecukupan umpan balik yang diberikan oleh guru, hingga mutu
pemelajaran toleransi.
Asesmen
mulai dipraktikkan pada 2021. Tahun 2020 merupakan terakhir kalinya sistem
evaluasi berupa UN dilaksanakan. Nilai hasil asesmen tidak digunakan sebagai
syarat kelulusan ataupun untuk penerimaan siswa baru.
Kepercayaan
Nadiem
mengatakan, masyarakat agar memberikan kepercayaan kepada guru untuk bisa
mengembangkan pola pemelajaran masing-masing. Asesmen merupakan hilir, adapun
hulunya adalah proses belajar di dalam kelas. Oleh sebab itu, Kemdikbud memberi
guru otonomi untuk menyusun rencana pelaksanaan pemelajaran (RPP) sesuai dengan
pola yang sesuai dengan perkembangan siswa di kelas masing-masing, tentu tetap
sejalan dengan standar capaian kompetensi nasional yang ditorehkan di dalam
Kurikulum 2013.
”Kuncinya
ada di para guru dan kepala sekolah yang berani berkreasi membuat
terobosan-terobosan genius di akar rumput. Contoh-contoh baik itu akan diangkat
sebagai inspirasi karena yang bisa melatih guru secara jitu adalah sesama
guru,” ujar Nadiem.
Setiap
sekolah juga mengembangkan sistem evaluasi siswa masing-masing sebagai
pengganti ujian sekolah berstandar nasional (USBN). Selama ini, USBN dilakukan
dengan cara sekolah mengambil soal-soal ujian dari bank soal UN. Padahal,
semestinya mereka membuat soal sendiri yang konteksnya benar-benar bisa
mewakili kehidupan siswa. Perbedaan bentuk soal di setiap sekolah tidak
dipermasalahkan selama kompetensi yang diukur sesuai dengan arahan kurikulum.
Evaluasi
sekolah juga memasukkan portofolio tugas harian, mingguan, proyek kerja
kelompok, dan perilaku siswa yang digabungkan dengan capaian kognitif sebagai
syarat kelulusan siswa. Guru merupakan pihak yang paling mengetahui
perkembangan siswa dari awal masuk sekolah hingga akhir tahun ajaran sehingga
sewajarnya penentuan kelulusan siswa dilihat dari catatan guru.
”Sistem ini
mengembalikan kedaulatan guru mengembangkan pelajaran sesuai kriteria
masing-masing. Tetapi, Kemdikbud memahami, hal ini membutuhkan waktu. Sekolah
yang sudah siap dipersilakan langsung menerapkan dan sekolah yang masih memilih
metode USBN juga diberi waktu untuk melakukan transisi,” ucap Nadiem.
Tantangan terbesar
Kepala
Kampus Guru Cikal Bukik Setiawan dalam kesempatan berbeda mengemukakan,
tantangan terbesar ialah menggerakkan guru secara masif walaupun hal tersebut
tidak mustahil. Selama 15 tahun terakhir, arah kebijakan pendidikan adalah pada
logika kontrol terhadap dinas pendidikan, sekolah, dan guru. Akibatnya,
pihak-pihak terkait cenderung pasif karena menunggu perintah dari atas.
Rencana
untuk menggerakkan guru-guru kreatif merupakan cara yang dinilai jitu untuk
mengajak guru melakukan perubahan. Apalagi jika organisasi-organisasi guru
serentak melakukan pendampingan, baik kepada anggotanya maupun sekolah-sekolah
dalam jangkauan mereka.
Guru dipandu
agar bisa melakukan asesmen formatif versi masing-masing, tetapi pelatihan
hendaknya jangan dilakukan oleh pemerintah agar tidak terbentuk asumsi bahwa
segala sesuatu harus dilakukan sesuai bentuk yang ditentukan pemerintah.
Kemdikbud bertindak sebagai fasilitator bagi organisasi guru.
Sementara
itu, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Independen Heru Kumoro
mengingatkan bahwa kesulitan dalam pemelajaran HOTS bukan karena guru tidak
tahu materi pelajaran dan konsep HOTS, melainkan guru belum tahu cara
menerjemahkan rumus dan teori ke dalam narasi kehidupan nyata. Pelatihan ini
yang harus digenjot.
”Pedagogi
kritis di lembaga pendidikan tenaga kependidikan juga harus digalakkan. Jangan
meminta perubahan di sekolah jika perguruan tinggi tempat calon guru belajar
belum menerapkannya,” katanya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar