RADIKALISME
Terorisme, Anarkisme, dan
Deradikalisasi
Oleh : HASIBULLAH SATRAWI
KOMPAS, 2 Desember 2019
Sebagai
presiden terpilih, Joko Widodo menyatakan akan memberikan perhatian pada
penyelesaian radikalisme dalam pemerintahan keduanya.
Ini salah
satu visi besar yang kontekstual untuk masa sekarang. Visi besar tentu memiliki
tantangan tak kalah besar. Sebagai langkah awal, beberapa kementerian yang
selama ini tak terlalu masuk dalam penanganan masalah radikalisme mulai
didorong berperan secara lebih aktif. Bahkan, deradikalisasi menjadi salah satu
tugas khusus Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan
(Menko Polhukam).
Masih banyak
lagi kemungkinan lain sebagai bentuk rumusan subyektif dari sebuah masalah yang
diberi nama radikalisme, termasuk di dalamnya bentuk-bentuk pakaian tertentu
dan ekspresi tertentu.
Ketika
istilah radikalisme menjadi kontroversi, beberapa persoalan riil yang tak
secara mufakat disebut dengan istilah radikalisme justru semakin akut. Pelbagai
macam aksi kekerasan (dari penusukan hingga pengeboman) sebagai salah satu inti
persoalan justru acap semakin tak terkendali memakan korban dari kalangan
masyarakat sipil hingga aparat. Di sini dapat ditarik kesimpulan awal, di balik
kontroversi istilah radikalisme, ada kegagalan dalam mendefinisikan beberapa
inti persoalan secara tepat, akurat, dan disepakati bersama.
Terorisme
Persoalan
pertama adalah terorisme. Merujuk pada UU No 5/2018, terorisme didefinisikan
sebagai ”Perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan
korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran
terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau
fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan”
(Pasal 1 Ayat 2).
Dengan
definisi itu, cakupan terorisme sudah sangat jelas. Sejatinya terorisme tak
boleh diperluas menjadi radikalisme yang cenderung liar dan subyektif mengingat
definisi itu telah memberikan gambaran yang sangat jelas, termasuk motifnya;
ideologi, politik, dan gangguan keamanan. Terlebih lagi ketentuan-ketentuan
selanjutnya dalam UU ini tak hanya membatasi persoalan terorisme pada aksi
pengeboman ataupun penyerangan (aksi kekerasan), tetapi juga peran dan
keanggotaan seseorang dalam sebuah organisasi teror, baik di dalam maupun di
luar negeri (Pasal 12 A). Bahkan, juga termasuk pelatihan militer (Pasal 12B).
Hal yang
jamak disalahpahami oleh banyak pihak selama ini adalah bahwa terorisme seakan
selalu berangkat dari radikalisme (dalam hemat penulis, istilah yang lebih
tepat adalah anarkisme atau intoleran) ataupun radikalisme selalu berakhir
dengan terorisme. Padahal, yang terjadi di lapangan tak selalu demikian.
Sebagian orang jadi teroris tanpa melalui proses radikalisme, sebaliknya tak
selalu orang yang disebut radikal menjadi teroris.
Adalah benar
bahwa ada sebagian orang yang menjadi teroris setelah mengalami radikalisasi
sebelumnya. Namun, hal ini terlalu kecil kasusnya untuk dijadikan sebagai rumus
paten bahwa seorang teroris harus melalui radikalisasi ataupun orang yang
radikal pasti menjadi teroris. Singkat kata, hal-hal yang terkait dengan
terorisme bersifat spesifik, tak bisa diperluas ke wilayah lain. Dalam hal aksi
kekerasan yang dilakukan, contohnya kelompok teroris kerap menggunakan
cara-cara nonkonvensional, seperti pengeboman, penembakan, bahkan taktik perang
kota.
Hal lebih
kurang sama juga terjadi dalam konteks doktrin. Kelompok teroris memiliki jenis
doktrin spesifik yang tak dimiliki kelompok lain yang selama ini disebut dengan
istilah radikal. Dalam hal pengafiran, contohnya kelompok teror tak hanya
melakukan pengafiran secara umum, tetapi sampai pada tahap pengafiran secara
spesifik (takfir mu’ayyan), seperti vonis kafir yang dijatuhkan kepada aparat
keamanan yang dianggap sebagai anshar thaghut (penolong thaghut) dan anggota
DPR yang dianggap merampas hak legislasi (tasyri’) dari Allah. Bahkan, sebagian
kelompok teroris (khususnya yang bergabung dengan NIIS) sampai pada tahap tidak
mau makan daging yang dijual di pasar karena keislaman orang yang menyembelih
diragukan atau bahkan telah dianggap kafir.
Secara
jumlah, kelompok teroris seperti ini bisa dibilang sedikit. Menurut beberapa
sumber di lapangan, saat ini terdapat sekitar 600 orang yang dipenjara karena
persoalan terorisme. Walaupun, misalkan, angka ini diperbesar menjadi 700-an
(dengan penangkapan pasca-penusukan Wiranto dan bom Medan) atau bahkan 2.000
(dengan mereka yang sudah bebas) atau bahkan 20.000 sekalipun, itu tetap
sedikit sebagai sebuah jumlah, khususnya apabila dibandingkan dengan populasi
penduduk Indonesia.
Namun,
dilihat dari sadisme dan kekerasan yang dilakukan, kelompok ini tidak bisa
dianggap remeh. Apalagi mereka memiliki militansi dan orientasi hidup yang
berbeda; kebanyakan orang takut mati, tetapi kelompok teroris justru berani
mati. Kelompok ini secara spesifik dan definitif bisa disebut dengan istilah
terorisme daripada radikalisme.
Anarkisme
Persoalan
kedua adalah anarkisme. Persoalan ini mungkin terlihat ada kemiripan dengan
terorisme mengingat sama-sama menggunakan kekerasan dalam menjalankan
perjuangannya. Namun, anarkisme sejatinya berbeda dengan terorisme.
Dalam hal
kekerasan yang dilakukan, contohnya, kelompok anarkis atau intoleran lebih
menggunakan cara-cara yang bersifat konvensional, seperti pelemparan batu,
bambu runcing, atau hal-hal konvensional lainnya. Pun demikian dengan sasaran
aksinya. Pada umumnya kelompok intoleran menyasarkan aksinya pada tempat-tempat
maksiat, penjual minuman keras, ataupun tempat-tempat lain yang dianggap
menjadi tempat perbuatan yang dilarang oleh Allah.
Meski
demikian, secara jumlah kelompok seperti ini hampir bisa dipastikan jauh lebih
banyak dibandingkan dengan kelompok teroris mengingat kekerasan di wilayah ini
acap kali melibatkan para pihak yang tergabung dalam sebuah ormas dengan
struktur lengkap hingga ke banyak daerah. Bahkan, ormas yang ada secara resmi
terdaftar sebagai organisasi yang legal dalam sistem hukum Indonesia.
Sebagaimana
kelompok teroris, aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok ini juga menjadi
persoalan. Walaupun kerap dilakukan atas nama melindungi masyarakat, kekerasan
yang dilakukan tak bisa dibenarkan. Minimal karena perbuatan itu masuk dalam
kategori tindakan kekerasan dan melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan
wewenang penegak hukum sesuai dengan Perppu No 2/2017 tentang Ormas (Pasal 59
poin 3 huruf c dan d). Secara spesifik
dan definitif, kelompok ini dapat disebut dengan istilah anarkisme daripada
radikalisme.
Dalam
konteks NKRI dan Pancasila, kelompok teroris dipastikan bersikap anti dan tak
mau mengakuinya mengingat Pancasila dan NKRI dianggap sebagai sistem thaghut.
Tunduk dan menerima NKRI sama dengan tunduk dan menerima thaghut yang dianggap
merusak keimanan mereka. Sementara kelompok anarkisme tidak semua bersikap anti
terhadap NKRI dan Pancasila walaupun sebagian dari mereka ada yang berjuang
secara non-kekerasan untuk mengganti NKRI dengan sistem pemerintahan khilafah.
Deradikalisasi
Sebagaimana
istilah radikalisme bersifat problematis karena cenderung liar dan subyektif, istilah
deradikalisasi sejatinya mengandung problem lebih kurang sama. Sebelum menjadi
bahasa hukum, istilah deradikalisasi bisa dipahami sebagai upaya membuat
seseorang tidak menjadi radikal. Belakangan, istilah deradikalisasi menjadi
bahasa hukum seiring disahkannya UU No 5/2018 sebagai revisi atas UU No 15/2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dalam UU
ini, deradikalisasi didefinisikan sebagai ”Suatu proses yang terencana,
terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan
atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi”
(Pasal 43D, Ayat 1). Deradikalisasi dilakukan kepada tersangka, terdakwa,
terpidana, narapidana, mantan narapidana terorisme, dan orang atau kelompok
yang sudah terpapar paham radikal terorisme (Pasal 43D Ayat 2) melalui empat
tahapan: identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, reintegrasi (Pasal 43D Ayat 4).
Dengan
pengertian seperti di atas, obyek deradikalisasi adalah mereka yang sudah
terpapar paham radikal terorisme (meminjam istilah yang digunakan dalam UU
ini). Sementara upaya deradikalisasi di kalangan masyarakat luas yang belum
terpapar tidak disebut dengan istilah deradikalisasi, tetapi kontraradikalisasi
(Pasal 43C).
Konsepsi
deradikalisasi yang sekarang telah menjadi bahasa hukum ada kemiripan dengan
program deradikalisasi yang dikembangkan dan dijalankan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT), khususnya pada masa-masa awal (sekitar 2013).
Dugaan penulis, konsep deradikalisasi yang saat ini jadi salah satu norma dalam
UU No 5/2018 diadopsi dan dikembangkan dari program deradikalisasi BNPT di
atas.
Jika hal ini
benar, pengadopsian konsep deradikalisasi dari bahasa program menjadi bahasa
hukum mengandung keistimewaan sekaligus kelemahan. Menjadi keistimewaan karena
segala prosesnya telah menjadi norma hukum yang harus dijalankan oleh para
pihak. Menjadi kelemahan karena dengan demikian, deradikalisasi sebagai sebuah
proses mengalami sebentuk pembakuan dengan kekakuan tertentu pada tingkat
tertentu pula.
Berdasarkan
pengalaman penulis dalam beberapa tahun terakhir terkait upaya membangun
perdamaian, baik di dalam maupun di luar lembaga pemasyarakatan (lapas),
dibutuhkan adanya energi sangat besar dengan segala kehati-hatian, kelenturan,
dan keberanian dalam menghadapi mereka yang terpapar paham ekstrem sekaligus
mendukung setiap perubahan yang dialami oleh mereka (akibat pendekatan
tertentu), sekecil apa pun. Tentu semuanya dengan tetap berpegang teguh pada
prinsip akurasi, koordinasi, dan partisipasi dari semua pihak, mulai dari
aparat keamanan, petugas lapas, tokoh agama, peneliti, bahkan hingga para
korban aksi terorisme, mengingat hal ini terkait dengan keyakinan orang yang
tak otomatis berubah hanya karena dihukum atau bahkan ditembak mati sekalipun.
Kembali ke
visi besar Presiden Jokowi, semua itu harus dibarengi dengan penggunaan diksi
yang tepat sebagai cerminan dari penguasaan masalah yang ada. Pada tahap
selanjutnya, pemilihan dan penempatan orang yang tepat sesuai dengan keahlian
dan kebutuhan yang ada di lapangan. Terakhir, yang tak kalah penting adalah
pengelolaan yang terorganisasi sebagai satu tim untuk memenangi perdamaian dan
mewujudkan Indonesia maju ke depan.
(Hasibullah Satrawi, Alumnus Al Azhar
Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam)
numpang promote ya min ^^
BalasHapusHayyy guys...
sedang bosan di rumah tanpa ada yang bisa di kerjakan
dari pada bosan hanya duduk sambil nonton tv sebaiknya segera bergabung dengan kami
di DEWAPK agen terpercaya di tunggu lo ^_^