PERENCANAAN KOTA
Ketersediaan Data Tunggal
Oleh : ROOS AKBAR
KOMPAS, 19 Desember 2019
“Data adalah sesuatu
yang sangat penting. Sayangnya, meskipun sudah ada kebijakan one data dan one
map policy upaya membangun basis data masih diabaikan. Padahal data menjadi
sumber daya yang sangat bernilai saat ini.”
Janganlah
melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa yang lampau adalah berguna sekali
untuk menjadi kaca benggala daripada masa yang akan datang (Bung Karno).
Di kalangan
ahli sistem informasi sudah sangat lama dikenal istilah GIGO (garbage in
garbage out). Intinya adalah bicara data. Kesalahan data (input) akan
menghasilkan sampah (output). Banyak “keributan” (saling tuntut) yang semuanya
berasal dari data yang berbeda. Kita baca di media massa tentang banyaknya
tuntutan pada koran/majalah/orang yang dirasa data (kesimpulan/opini) yang
dihasilkannya berbeda dengan data yang dimiliki orang lain (penuntut).
“One map policy”
Data punya
dampak sangat luar biasa. Tak ada satupun keputusan yang diambil tanpa adanya
data. Rentangnya bisa sangat luas, seperti kasus penghinaan agama, yang juga
selalu dimulai dari data yang dipertanyakan. Entah benar terjadi, entah karena
pengeditan (editing) yang dilakukan, tapi intinya adalah data yang digunakan
sebagai sebuah argumen. Keputusan apapun yang diambil selama ini juga harus
selalu merujuk pada data.
Tapi apakah
kita sudah memperbaiki data kita? Siapakah yang berwenang mengeluarkan data?
Bagaimanakah sebenarnya sebuah keputusan itu diambil? Kadang hal yang
sebenarnya sangat sederhana, benar-benar harus dipikirkan dengan matang. Di
sini kita bukan sekadar bicara data tunggal atau satu peta (one map policy)
saja. Tulisan ini mencoba membahas mengenai data berdasar penelitian terkait
dengan perencanaan tata ruang yang merupakan topik riset penulis selama hampir
30 tahun.
Harus
disadari, data memang mahal dan susah dalam pengumpulannya. Tapi harus juga
disadari, kerusakan yang terjadi akan menjadi lebih mahal lagi jika keputusan
yang diambil dibuat berdasar data yang salah. Paradigma ini harus menjadi
perhatian agar konsep mengenai data tunggal bisa diwujudkan.
Dalam bidang
perencanaan kota dan wilayah, dari mempelajari sekian banyak dokumen tata ruang
yang ada, nampak sekali bahwa rencana disusun berdasarkan data yang ada, dan
bukannya berdasarkan data yang dibutuhkan. Ada data aspek tertentu (misalnya
kebencanaan), maka akan ada analisis terhadap aspek kebencanaan itu. Kalau tidak
ada data itu, maka tidak ada analisis aspek tersebut. Tidak mungkin rencana
atau program yang disusun harus menunggu sampai data tersebut siap. Akibatnya,
yang terjadi, terpaksa dibuat “seadanya”.
Kita semua
membaca pernyataan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas
tentang data pertanian yang sungguh menyedihkan. Data terkait pertanian saja
tak tersedia atau tak ada kesamaan/kesepakatan tentang data itu. Bayangkan saja
bagaimana kebijakan harus diambil terkait dengan hal ini? Saat ini mulai
dikampanyekan “tunjuk hidung” (terutama dimotori oleh perguruan tinggi), yang
artinya jika tidak ada data yang dibutuhkan maka itu harus disebutkan agar
telunjuk tadi mengarah pada institusi yang bertanggung jawab atas data itu
(kalau dalam istilah one map policy, ini disebut dengan wali data).
Membuat data
memang sangat mahal. Kota Berlin setelah Tembok Berlin dihancurkan, paling
tidak butuh waktu setahun hanya untuk mencapai kesepakatan tentang data eks
Berlin Barat dan eks Berlin Timur yang akan mereka buat lewat integrasi data
secara vertikal dan horizontal. Ini belum sampai pada pengumpulan datanya, dan
baru soal data apa, definisi, kesamaan pemahaman tentang data itu, dan
sebagainya.
Negara lain
sudah membahas soal pentingnya ini sejak 1950-an (Guttenberg dalam jurnal
American Planning Association), sayangnya kita belum beranjak dengan
memperbaiki data kita. Penulis pernah membuat Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
salah satu kota di Sulawesi yang total biayanya diserahkan pada ITB sebagai
pihak yang menyusun RDTR tersebut. Biaya yang dihitung Rp 1,8 miliar.
Bandingkan dengan penyusunan RDTR dengan luasan sama dan kondisi sama (belum
ada peta skala 1:5.000) di Pulau Jawa yang cukup dengan Rp 136 juta saja lewat
lelang elektronik atau Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Pada sisi
lain, ada persoalan mengenai kebijakan pemerintah terkait ruang yang terbatas,
sementara tak ada satupun institusi atau orang yang tak bicara atau tak butuh
ruang. Ketiadaan data dari sisi institusi jelas akan menyebabkan tak
terakomodasinya kebutuhan ruang institusi itu. Ketiadaan data bisa saja karena tak bersedianya
institusi itu memberikan data (dengan alasan apapun) atau karena memang data
itu belum pernah dibuat.
Data di era ICT
Masih banyak
lagi hal terkait data, terutama jika kita bicara data digital, big data,
internet of things dan sebagainya. Intinya, data tersedia hampir di semua
sektor secara tak terbatas. Data mining (penggalian data), yakni bagaimana data
dapat diambil dan dipelajari, menjadi sangat menarik. Twitter bisa digunakan
untuk melihat tingkatan urbanisasi di suatu kawasan karena adanya anggapan
hanya orang kota yang “main Twitter”.
Remote
sensing juga bisa digunakan untuk mengambil citra malam hari untuk melihat sebaran urbanisasi
(daerah terbangun) berdasarkan cahaya
lampu pada skala pulau, kota. Belum lagi drone juga bisa digunakan untuk
pemetaan dan sebagainya. Paradigma yang ada dalam perencanaan pada era
teknologi informasi dan komunikasi (ICT) ini juga sudah bergeser menjadi
“kesepakatan bersama” (Klosterman, 2001), yang artinya adalah kesamaan
pandangan (data) agar terjadi kolaborasi, partisipatori dalam kesepakatan
perencanaan.
Tetapi,
apakah ini sudah terjadi? Belum, bahkan masih nampak diabaikan. Penelitian
penulis menunjukkan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Indonesia bisa
dikatakan tak ada, padahal itu salah satu tools sangat penting dalam
perencanaan dan pengambilan keputusan untuk berbagai kebutuhan. Bukan hanya
pemerintah, swasta pun butuh dan menggunakan SIG ini untuk investasi mereka.
Yang ada adalah Informasi Geografis (tanpa sistem) yang berdiri sendiri dan tak
dapat dipertukarkan atau digunakan untuk analisis time series.
Penulis tak
bicara hal yang sangat canggih (advanced) dalam SIG seperti kecerdasan buatan
(Artificial Intelligent/AI), misalnya, tetapi lebih pada pemanfaatan kemampuan
dasar dalam perangkat lunak SIG. Padahal mahalnya pembuatan/pembangunan basis
data dapat diabaikan jika bisa terjadi proses data sharing. Penelitian di AS,
data sharing menghasilkan keuntungan empat kali lipat daripada biaya yang
dikeluarkan ketika membangun data (URISA). Untuk data kebencanaan, memang saat
ini sudah tersedia tapi belum pada skala memadai. Baru ada pada skala kecil
(1:250.000), padahal untuk kota dibutuhkan skala lebih rinci (detail).
Integrasi data
Keputusan
dan rencana kebijakan yang ada pada tingkatan yang berbeda, juga membutuhkan
data yang berbeda-beda. Tak mungkin bicara tentang keputusan (policy) tanpa
melihat hierarki dalam pengambilan keputusan.
Misalnya,
kita bicara mengenai jumlah penduduk suatu kota yang 2,5 juta. Menjadi
kewenangan atau ranah walikota untuk bicara angka itu. Tapi seorang kepala
dinas kependudukan harus bisa menyebutkan lebih detail angka ini sampai digit
terakhir. Seorang lurah juga harus bisa lebih menjelaskan angka itu. Artinya di
sini, data harus dibangun dari bawah dan bukannya dari atas. Sedangkan tindakan
dimulai dari atas (policy) untuk diterjemahkan ke dalam sebuah tindakan
(action). Huxhold (1991) menggambarkan secara sederhana proses pembangunan
basis data ini.
Sistem
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (online single
submission/OSS) yang diterapkan pemerintah saat ini sudah sangat bagus, tapi
tanpa ditunjang data dengan hierarki yang jelas akan menjadi tak bermanfaat
karena data tadi berbeda maknanya di mata walikota yang kepentingannya lebih ke
keputusan strategis dengan investor yang orientasinya lebih pada hal teknis
operasional. Hal ini terjadi pada one map policy, sebuah konsep yang bagus tapi
tidak (belum) dipikirkan integrasinya secara vertikal dan horizontal.
Ketidaksepahaman
dalam hal data ini dikaitkan dengan paradigma yang ada, dan tingkatan
pengambilan keputusan yang ada menyebabkan interpretasi terhadap perizinan juga
menjadi tidak jelas. Perizinan sebagai salah satu instrumen dalam pengendalian
pembangunan harusnya bisa dipahami menurut hierarki dan kewenangan dalam
pengambilan keputusan dengan merujuk pada diagram Huxhold yang menunjukkan
bahwa ada tingkatan dalam kewenangan pengambilan keputusan.
Terkait
hierarki perizinan ini, kasus Meikarta secara tak langsung juga menjelaskan
tentang adanya data berbeda yang dibutuhkan untuk setiap tingkatan perizinan
(izin prinsip, izin lokasi, izin perencanaan dan IMB). Izin prinsip lebih
berupa keputusan strategis ada atau tidak dalam dokumen rencana, izin lokasi
lebih bersifat taktis karena sudah bicara lokasi termasuk kemampuan investor
dalam membebaskan lahan, izin perencanaan adalah integrasi dengan kawasan
sekitarnya, sedangkan IMB lebih bersifat operasional karena bicara tentang
keselamatan bangunan, kenyamanan lingkungan dan sebagainya.
Dapat
disimpulkan, data adalah sesuatu yang sangat penting. Namun sayangnya upaya
membangun basis data masih diabaikan. Kebijakan one data dan one map policy
sudah ada, namun harus dilihat dalam konteks yang lebih luas yaitu dikaitkan
dengan hierarki dalam keputusan dan juga berbagai kepentingan (pemahaman)
antar-sektor. Integrasi data atau peta, baik secara vertikal maupun horizontal,
tak lagi dapat diabaikan mengingat mahalnya biaya untuk mengoreksi sebuah
keputusan atau kebijakan yang salah. Pertanyaan yang lebih menggelitik: apakah
data memang sengaja tak dibuat agar kita bisa lebih “fleksibel” dan susah untuk
dimintai pertanggungjawaban? Tentu harusnya tak demikian. Seperti dikatakan
Edward Deming: without data you are just another person with an opinion.
(Roos Akbar, Guru Besar Perencanaan
Kota ITB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar