PERUBAHAN IKLIM
Akhirnya, Laut Masuk Paris
Oleh : ARIF HAVAS OEGROSENO
KOMPAS, 17 Desember 2019
Sudah
menjadi pengetahuan publik dunia bahwa Kesepakatan Paris 2015 sama sekali tidak
memperhatikan laut, ruangan terbesar kedua di planet Bumi setelah udara.
Paris hanya
memberikan catatan terhadap laut dengan bahasa ”Noting the importance of
ensuring the integrity of all ecosystems, including oceans….”. Saya masih
teringat saat menghadiri World Ocean Forum di sela-sela Konferensi Paris.
Perjuangan
negara-negara kepulauan di seluruh dunia serta akademisi dan masyarakat madani
kelautan global akhirnya menghasilkan suatu kesepakatan global bahwa laut
menjadi bagian dari pengambilan keputusan global terkait dengan perubahan
iklim.
Dua hasil penting
Tanggal 15
Desember 2019 menjadi saksi diterimanya Chile Madrid Time for Action di
Konferensi Perubahan Iklim PBB 2019 (2019 United Nations Framework Convention
on Climate Change/COP) Ke-25 di Madrid, Spanyol.
Dua hasil
penting dari keputusan ini adalah diselenggarakannya, untuk pertama kali, suatu
dialog tentang laut dan perubahan iklim guna mencari cara yang paling tepat
dalam upaya mitigasi dan adaptasinya pada Juni 2020.
Dari
pengucilan laut dalam diskusi resmi Kesepakatan Paris hingga keputusan
menjadikan laut sebagai suatu platform resmi di dalam Kesepakatan Paris adalah
merupakan suatu kemajuan yang luar biasa dalam waktu empat tahun.
Sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dapat mengambil peran sentral
dalam Diplomasi Lingkungan Kelautan (Environmental Ocean Diplomacy) yang kini
mencakup aspek kelautan. Terdapat beberapa langkah yang sifatnya nasional dan
internasional yang dapat dilakukan Indonesia dalam kaitan ini.
Pertama,
pernyataan komitmen negara pihak (Nationally Determined Contribution/NDC)
Indonesia kiranya dapat semakin diperkuat lagi dengan aspek kelautan, khususnya
kawasan pesisir yang terdampak langsung oleh kenaikan permukaan air laut.
Kedua,
Indonesia dapat melakukan pencatatan secara nasional melalui Kebijakan Satu
Peta dan kunjungan lapangan ke semua kawasan pesisir di Indonesia, termasuk
wilayah utara Jawa yang telah mengalami dampak kenaikan permukaan air laut.
Dalam hal
ini, partisipasi pemerintah daerah, termasuk misalnya Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta, menjadi sangat krusial karena permasalahan mereka sudah bukan lagi
lokal, melainkan global.
Anggaran mitigasi dan adaptasi
Ketiga,
Indonesia perlu melakukan kalkulasi mitigasi dan adaptasi kawasan pesisir.
Menurut penghitungan yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan, anggaran
mitigasi dan adaptasi 2015-2020 mencapai 16 miliar dollar AS per tahun.
Dengan
masuknya laut sebagai komponen resmi Kesepakatan Paris, perlu penghitungan
baru. Selain itu, Indonesia perlu segera meluncurkan Blue Ocean Bond dan atau
Blue Ocean Sukuk untuk melengkapi Green Bond dan Green Sukuk yang sudah
diluncurkan.
Keempat,
Indonesia perlu menggunakan Archipelagic Island State (AIS) Forum sebagai
platform Diplomasi Lingkungan Kelautan di dunia. AIS adalah wadah kerja sama
bagi 41 negara pulau dan enam negara kepulauan dari kawasan Pasifik Selatan,
Karibia, Asia, Afrika, dan Eropa. Indonesia dapat menggunakan pengalaman
nasionalnya sebagai acuan negara lain dalam mitigasi dan adaptasi. Presiden
Joko Widodo bahkan meminta negara-negara kepulauan dalam AIS bersikap seperti
Moana dalam menghadapi berbagai tantangan kelautan. Ini saatnya.
Kelima,
Indonesia perlu memikirkan dampak kenaikan permukaan air laut terhadap
penentuan titik dasar dan garis pangkal, bukan hanya bagi Indonesia, melainkan
juga bagi seluruh negara yang memiliki pantai. Indonesia tentunya dapat
memimpin dunia dalam membahas hal ini melalui berbagai forum global yang ada.
Dulu
Indonesia memimpin dalam menyusun prinsip hukum negara kepulauan yang kini
menjadi bagian dari hukum positif internasional. Bukan lagi konsep seperti
kesalahan banyak pengamat Indonesia, kini Indonesia bisa lagi menjadi pemimpin
dunia dalam masalah kelautan dan perubahan lingkungan. Non ducor, duco.
(Arif Havas Oegroseno, Dubes RI untuk
Jerman)
p
BalasHapus