Sebut Saja Demam Berdarah Babi
Oleh : CA
NIDOM
KOMPAS, 13 Desember 2019
Para
peternak dan industri peternakan babi menunggu pemerintah mengumumkan wabah
demam babi Afrika di Sumut. Hal itu untuk mencegah penyebaran penyakit.
(Kompas, 12/12/2019).
Hasil
pengujian laboratorium di Medan menyebutkan bahwa pada babi yang mati dijumpai
virus Demam Babi Klasik (DBK) atau virus Classical Swine Fever atau hog
kholera. Tetapi juga disebutkan dugaan terinfeksi virus lain. Salah satunya
Virus Demam Babi Afrika (DBA) atau African Swine Fever. Ini suatu
ketidak-laziman, seolah sudah menduga ada virus lain pada kematian babi itu.
Apakah
pengujian diarahkan untuk menunjuk virus DBA sehingga semua dikerahkan untuk
memburu virus tersebut? Bukankah ada banyak virus ganas lain yang bisa memicu
kematian pada babi, masih cukup banyak?
Seharusnya
hasil uji tersebut menjadi hak Kementerian Pertanian untuk menentukan sikap,
tetapi malah viral. Padahal, jika dicurigai adanya kuman patogen baru
(eksotik), perlu uji banding lebih dulu dari laboratorium rujukan.
Dari foto
yang beredar, salah satu tanda kematian yang menonjol adalah bintik merah pada
kulit (hemoragie). Mirip orang terinfeksi demam berdarah. Oleh karena itu, babi
mati di Sumut bisa juga disebut demam berdarah babi, penyebabnya kuman atau
patogen yang bisa menimbulkan demam berdarah.
Potensi ekonomi
Populasi
babi dunia tahun 2018 ada 770 juta ekor, di China 440 juta ekor (30 persen
populasi dunia); Eropa 150, Amerika Serikat 74 juta. Dengan produksi daging 55
juta metrik ton per tahun, China merupakan eksportir babi dan daging terbesar
dunia.
Bagaimana
dengan Indonesia? Tahun 2018, populasi total 8,5 juta ekor (1,11 persen dari
populasi dunia dan 1,93 persen dari populasi di China), dengan sebaran yang
tidak merata. Provinsi dengan populasi babi tertinggi adalah NTT, 2 juta ekor,
disusul Sumatera Utara 1,2 juta. Provinsi lain dengan populasi di atas 500 ribu
ekor adalah Bali, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Sementara
provinsi dengan kisaran 300 ribu ekor adalah Kepulauan Riau, Sulawesi Utara,
dan Kalimantan Barat. Dengan demikian, peternakan babi di Indonesia memberikan
andil pada perekonomian daerah.
Demam babi
Penyebab
demam berdarah babi minimal dua macam, yaitu virus demam babi klasik (DBK) atau
hog kholera dan demam babi afrika (ASF).
Virus DBK
adalah virus RNA dari famili Flaviviridae dan genus Pestivirus, hanya
menginfeksi babi dan infeksius (menular). Terhadap aspek klinis, virus DBK ini
bisa bersifat akut, kronis dan kongenital dari induk, tergantung kondisi babi
dan keganasan virus.
Gejala
infeksi akut, terlihat adanya luka hemoragik (perdarahan) pada kulit, demam
tinggi, konjungtivitis, kejang-kejang dan kematian sampai 100%. Ini terjadi
setelah 1-3 minggu inkubasi. Gejala infeksi kronis ditandai diare dan
keterlambatan pertumbuhan. Kematian lebih rendah dari infeksi akut, kecuali ada
infeksi campuran kuman lainnya. Penyakit ini pandemis di seluruh dunia, di
Indonesia sudah endemis. Virus DBK bahkan menyebabkan kematian 10 ribu ekor
babi di Flores, 2018.
Agar virus
DBK tidak menyebar, perlu pelarangan lalu lintas hewan dan produknya dari
daerah wabah ke non-wabah; menghindari kontak langsung dan tidak langsung
dengan faktor penular hewan dan manusia: serta vaksinasi.
Penyebab
demam berdarah babi lain adalah virus demam babi afrika (DBA). Berbeda dengan
virus DBK, virus DBA merupakan virus DNA utas ganda, genom sepanjang 170–194
kilobase (kb), tubuh dibungkus lemak. Keragaman (genotip) virus DBA tidak
kurang dari 30 genotipe. Belum lagi dari serotipenya.
Virus ini
anggota genus Asfivirus dan kelas asfarviridae. Virus ini bisa menimbulkan
demam berdarah, bukan hanya pada babi peliharaan, tetapi juga babi liar. Bisa
menimbulkan kematian yang tinggi dan sangat cepat.
Penyakit dan
virus DBA pertama kali diisolasi oleh Montgomery, ilmuwan di Kenya, 1921. Tahun
1960 terjadi wabah di Eropa dan Amerika Selatan, tahun 2007 di Georgia (Uni
Soviet) dan kemudian menyebar ke negara tetangga: China dan negara Asia lain.
Tahun 2018
dilaporkan wabah DBA di China. Awal Januari 2019 menyebar ke peternakan rakyat
di Vietnam dan Mongolia. Virus DBA sudah ada di Kamboja 2 April 2019 dan di Korea Utara 23 Mei 2019. Negara Laos juga
didatangi virus DBA pada 20 Juni 2019.
Pertengahan Juli 2019 dikabarkan di Filipina, Myanmar 1 Agustus 2019,
dan terakhir Timur Leste pada 29
September 2019.
Infeksi bisa
terjadi berulang. Di beberapa negara secara periodik wabah ini kembali,
meskipun cara eradikasinya sangat baik, memusnahkan babi yang sakit, sanitasi,
biosekuriti, dan karantina. Virus DBA Vietnam yang berhasil diisiolasi, setelah
dianalisis kekerabatannya ternyata termasuk genotip II seperti yang terjadi
pada wabah Georgia (2007) dan China (2018).
Model penularan
Virus DBA
saat menginfeksi tubuh babi membawa kompleksitas sendiri, membuat vaksin tidak
efektif. Virus DBA banyak menginfeksi sel darah merah (RBC) dan sel darah
putih.
Selain itu
penularan virus DBA membutuhkan perantara dan paling sedikit ada empat model
penularan virus DBA. Pertama model sylvatic,
penularan virus dari babi liar yang berkeliaran, memuntahkan remah-remah
dari mulutnya, dikonsumsi oleh caplak (tick) sehingga virus DBA berada di dalam
tubuh caplak. Ektoparasit yang banyak dijumpai membawa virus ini adalah
Ornithodoros spp. Jika suatu daerah banyak terdapat parasit ini, ada peluang
recevoir virus DBA. Virus ini tidak menginfeksi caplak, hanya sebagai
perantara.Kehadiran ahli parasit (parasitolog)
terutama ektoparasit, dibutuhkan untuk memantau keberadaan dan sifat
ektoparasit yang ada di sekitar peternakan babi.
Selanjutnya
model kedua, penularan virus DBA dari caplak ke ternak babi (domestik). Model
ketiga, melalui babi yang mati kemudian dibuang ke aliran sungai, sehingga
membuka peluang dikonsumsi babi liar/hutan. Terakhir model ke empat yaitu
tetelan atau bangkai yang dibuang sembarangan, akan memberi peluang virus DBA
tersebut bertambah mata rantainya. Pembuangan bangkai ke sungai sangat tidak
dianjurkan, karena tidak memutus mata rantai bahkan bisa menimbulkan genotipe
baru.
Belajar dari flu burung
Pihak
otoritas seyogianya mengkaji secara komprehensif deklarasi suatu penyakit.
Tentunya ruang masyarakat akan berbeda dengan ruang laboratorium tatkala
menemukan kajian baru.
Pertama
virus flu burung ditularkan melalui udara; sedangkan DBA melalui kontak baik
langsung maupun melalui produk-produknya; Kedua, kematian sudah mencapai jutaan
unggas yang mengancam industri perunggasan nasional; sementara peternakan babi
bisa dilokalisasi sesuai tempat kejadiannya; Ketiga, virus flu burung
berpotensi menular dan fatal pada manusia, sementara virus DBA belum dilaporkan
berisiko pada manusia.
Munculnya
wabah demam berdarah babi di Sumatra Utara belum mendesak untuk dideklarasikan
sebagai wabah nasional. Mengingat kematian bukan satu-satunya oleh virus DBA,
tetapi secara konfirmasi oleh virus DBK.
Masih banyak
cara yang bisa dilakukan untuk mengendalikan wabah kematian babi tersebut.
Termasuk imbauan agar pemerintah membantu mangatasi kerugian peternak, sebagai
suatu alternatif, tanpa harus dikaitkan dengan wabah demam berdarah babi.
(CA Nidom, Guru Besar FKH-Unair,
Surabaya, Pembina Professor Nidom Foundation, Surabaya)
mari gabung bersama kami di Aj0QQ*c0M
BalasHapusBONUS CASHBACK 0.3% setiap senin
BONUS REFERAL 20% seumur hidup.
Slot Online
BalasHapusDaftar Slot Online
Slot Joker123
Cara Bermain Slot Online