TRANSFORMASI PENDIDIKAN
Pertaruhan Pendidikan
Oleh : YUDI LATIF
KOMPAS, 17 Desember 2019
Mendikbud
Nadiem Makarim secara jujur mengakui dirinya bukan ahli pendidikan, namun
mendaku pembelajar yang cepat. Dengan begitu, komunitas pendidikan tidaklah
berharap terlalu banyak.
Berbusana
kasual di acara resmi pelantikan rektor berisiko mengirim sinyal meleset
sebagai mendikbud. Tersirat pesan luhur yang ingin disampaikan: “Tunjukkan isi
(mutu), bukan kemasan formalisme”. Masalahnya, pesan itu disampaikan dengan isi
dan konteks keliru, menabrak prinsip-prinsip pokok pendidikan itu sendiri.
Dalam empat
pilar pendidikan UNESCO antara lain digariskan, pendidikan selain menyediakan
wahana “belajar menjadi diri sendiri” (learning to be), juga “belajar hidup
bersama” (learning to live together).
Suhu
pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, mengingatkan pendidikan sebagai
proses belajar menjadi manusia berkebudayaan berorientasi ganda: memahami diri sendiri dan memahami lingkungannya.
Ke dalam,
pendidikan harus memberi wahana ke peserta didik untuk mengenali siapa dirinya
sebagai “perwujudan istimewa” (diferensiasi) dari alam. Keluar, pendidikan
harus memberi wahana kepada peserta didik untuk dapat menempatkan keistimewaan
diri itu dalam konteks keseimbangan dan keberlangsungan jagat besar, sehingga
keistimewaan pribadi itu tidak melahirkan kekacauan bagi kebersamaan.
Pendidikan
kecakapan hidup, seperti dijelaskan Emile Durkheim, juga mengingatkan manusia
harus bisa menempatkan diri di dua ranah: profan dan “sakral”. Ini juga ada
kaitannya dengan pendidikan kewargaan.
Kegotongroyongan Pancasila menghendaki sosiabilitas kebangsaan yang
dapat mengatasi ekstremitas individualisme dan ultra-sosialisme”
(totalitarianisme).
Di
masyarakat supermajemuk, terlalu menekankan individualisme dan perbedaan
menyulitkan integrasi nasional; mematikan aspirasi kedirian dan perbedaan oleh
aspirasi totalitarianisme (kanan dan kiri) bisa membunuh kekayaan potensi dan
kreativitas. Jalan tengah Pancasila memilih kearifan “Bhinneka Tunggal Ika”:
mengakui keragaman/perbedaan seraya berusaha cari persamaan/persatuan.
Dalam
pergaulan “antar-individu” di wilayah privat (keluarga) dan paguyuban,
perseorangan dan golongan masih bisa mengembangkan partikularitas identitas,
norma dan ideologinya sendiri. Namun, dalam pergaulan “antar-sosial” di wilayah
publik-kenegaraan, segala perseorangan dan golongan itu harus menganut
identitas, norma, ideologi kebersamaan-kebangsaan sebagai titik temu.
Mata rantai terlemah
Alhasil,
urusan eksentrisitas ekspresi diri jangan sampai mendistorsikan substansi. Jika
substansi yang jadi perhatian, bukan sensasi yang bisa alihkan publik dari isu
utama, maka strategi transformasi pendidikan harus bisa memerhatikan
kesepadanan antara aspirasi dan kapabilitas. Lima tahun bukan waktu lama untuk
kelola perubahan. Harus dihindari melakukan dekonstruksi tak terukur, yang
sulit direkonstruksi ulang.
Di era
reformasi ini, dengan tak ada jaminan keberlanjutan agenda antar-rezim, menteri
pengganti belum tentu sudi melanjutkan penataan bongkaran dari menteri
terdahulu. Maka dari itu, perlu kejelian menentukan perubahan “terbatas” dengan
dampak signifikan. Fokus bidikan harus diarahkan pada “mata rantai terlemah”
(the weakest link), yang bisa dikenali melalui self-assessment atas kebijakan
pendidikan selama ini dan bercermin dari pengalaman bangsa lain.
Dalam buku
The Politics of Structural Education Reform, Keith A Nitta menunjukkan tren
pergeseran kebijakan pendidikan di berbagai negara. Pendidikan secara tradisi
dipandang isu domestik. Keputusan kebijakan mengenai apa, siapa, bagaimana, dan
di mana pendidikan dijalankan ditetapkan dengan mempertimbangkan sejarah
nasional, budaya, norma, dan kondisi politik
masing-masing negara.
Namun, sejak
1990-an terjadi pergeseran manajemen pendidikan sebagai dampak penetrasi
globalisasi. Perubahan global rezim pendidikan ini didorong keyakinan umum
bahwa kegagalan sekolah bisa mengancam daya saing global, penerimaan luas
terhadap new public management (NPM), serta tendensi pelemahan dan fragmentasi
dalam kelompok kepentingan kependidikan. Beberapa negara mengadopsi beberapa
elemen dari praktik terbaik negara lain, yang membawa irisan persamaan
kebijakan pendidikan.
Sebagai
contoh, pergeseran kebijakan pendidikan di AS dan Jepang, dua negara industri
dengan sistem pendidikan berbeda secara diametral. Di AS,
secara tradisi, komunitas lokal mengontrol sekolah masing-masing, di
mana setiap distrik mengembangkan kurikulum, menyewa dan menempatkan personel,
menetapkan kebijakan pendaftaran masuk sekolah, dan menyusun anggaran
tahunannya sendiri.
Sebaliknya,
Jepang secara tradisi menganut sistem
kesatuan pendidikan nasional dalam rangka mengejar kemajuan Barat. Dalam
struktur hierarkis Jepang, peran tradisional dari komunitas lokal dan personel
sekolah adalah melaksanakan kebijakan birokrat kementerian pendidikan secara
setia.
Persamaannya,
rezim pendidikan di kedua negara didominasi tenaga spesialis kependidikan: elite birokrat kependidikan, legislator
nasional dengan spesialisasi pendidikan, serta kelompok kepentingan
kependidikan, terutama serikat guru. Namun, sejak 1990-an, kedua negara mulai
merestrukturisasi sistem pendidikannya.
Pada 1994,
untuk pertama kali, pemerintahan federal AS mewajibkan suatu kebijakan
pendidikan nasional bagi negara bagian dan distrik. The Goal 2000 dan Improving
America’s Act menuntut negara bagian menetapkan standar kurikulum bagi seluruh
sekolah publik dan menilai performa siswa berdasar standar itu. Pada 2002,
pemerintah federal menetapkan the No Child Left Behind Act, yang menuntut
negara bagian memberlakukan rezim pengujian (testing) dan akuntabilitas secara spesifik.
Sebaliknya,
pemerintah pusat Jepang secara formal mulai menerapkan kebijakan deregulasi dan
desentralisasi sistem pendidikan. The 1997 Program for Educational Reform untuk
pertama kali membolehkan program pilihan di sekolah publik dan jenjang sekolah
menengah.
Pada 2004,
the Trinity Reform mendesentralisasikan kontrol atas miliaran dollar dana
pendidikan nasional ke pemprov. Kebijakan itu juga memberi peluang birokrat
kementerian pendidikan untuk menetapkan ujian pencapaian siswa secara nasional
serta sistem evaluasi sekolah secara independen.
Dengan
demikian, kecenderungan global dalam manajemen pendidikan mengarah pada
kerangka partisipasi yang lebih luas dengan membagi peran secara tepat antara
pemerintahan pusat dan daerah, antarpemerintah dan swasta serta antarpemangku
kepentingan, menetapkan garis-garis besar kurikulum dengan menetapkan pelajaran
wajib dan pilihan, serta mengombinasikan pengujian standar pencapaian nasional
dengan evaluasi sekolah secara mandiri.
Di bawah
pengaruh NPM, reformasi struktural pendidikan juga cenderung mengurangi
perhatian pada urusan “inputs” (uang, fasilitas, jumlah guru dan siswa,
kurikulum, dan sumber daya). Perhatian utama tertuju ke usaha memperbaiki
pendidikan dengan memberi fokus pada “outcomes” (performa), dengan jalan
meredistribusikan otoritas melalui pengelolaan secara “longgar-ketat”.
Asumsinya, bila pemerintah menggenggam sekolah secara ketat dalam hal akuntabilitas
atas performa siswa, namun mengaturnya secara longgar untuk mendorong inovasi
lokal (sekolah), maka pendidikan akan berkembang.
Caranya,
sekolah harus bertanggung jawab atas hasil bukan inputs. Untuk itu, pemerintah
secara ketat mengatur performa sekolah, tetapi bukan sumber daya dan proses.
Sekolah harus dibuat akuntabel melalui sistem evaluasi berdasar ujian
terstandar dan sistem insentif terpusat, bukan kompetisi pasar.
Ditilik dari
sudut itu, langkah transformatif dalam formulasi kebijakan pendidikan kita
sejauh ini tak buruk-buruk amat. Penanda penting transformasi itu kehadiran UU
No 23/2014 tentang Pemda, menggantikan
UU No 32/2004.
Dalam kaitan
kebijakan pendidikan, UU ini telah mengantisipasi perlunya kerangka partisipasi
lebih luas dengan membagi habis kewenangan pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Rezim pendidikan juga telah merevisi kebijakan ujian nasional (UN) dari syarat
kelulusan menjadi indikator pencapaian pendidikan nasional yang dipadukan
dengan sistem evaluasi sekolah secara independen.
Titik
lemahnya ada pada kapasitas eksekusi dan tindak lanjut. Contohnya, setelah
hasil UN diketahui, nyaris tak ada tindak lanjut, kebijakan afirmasi seperti
apa yang harus diberikan ke daerah/sekolah yang pencapaian nilainya di bawah
standar nasional.
Untuk
mempercepat peningkatan mutu sekolah di daerah terbelakang, kita bisa meniru
model Finlandia dan Jepang. Di kawasan miskin-terbelakang, guru harus menangani
jumlah murid lebih sedikit dibanding di kawasan kaya-maju. Itulah rahasia,
mengapa di dua negara itu pemerataan mutu pendidikan lebih baik. Perlakuan
sebaliknya justru terjadi di AS, yang akibatkan kesenjangan kaya-miskin kian
tajam (Diamond, 2019).
UU No
23/2014 telah memungkinkan itu. Tinggal
bagaimana eksekusi dan tindak lanjutnya.
Masalah lebih serius, kebijakan pendidikan di Indonesia masih berkutat
di urusan inputs, belum mengarahkan perhatian pada segi outcomes (performa).
Nyaris setiap menteri berganti, ganti kurikulum; susul-menyusul memberi beban
pada guru (sekolah) untuk mengurusi soal sumber daya dan prosedur
administratif. Itulah mata rantai terlemah yang harus dibidik demi perbaiki
mutu pendidikan di negeri ini.
Fokus kebijakan
Bila kita ingin
perbaiki performa, dengan melakukan perubahan terbatas tapi berdampak besar,
pusat perbaikan harus dimulai dari penataan pendidikan dasar. Ibarat pohon,
akar adalah titik tumpu ketahanan bertumbuh. Demikian juga proses tumbuh hidup
manusia. Solusi atas keterbelakangan hasil
pendidikan kita harus dimulai dengan memperkuat pendidikan dasar. Sesuai
namanya, pendidikan dasar harus benar-benar memberikan kecakapan dasar bagi
daya tumbuh manusia pembelajar yang haus pengetahuan, berpikir kritis-analitis,
berkarakter dan kreatif. Kecakapan dasar meliputi dasar-dasar olah pikir, olah
rasa, olah karsa, olah raga.
Dasar olah
pikir dikembangkan lewat pembelajaran membaca, menghitung, menutur, mendengar,
menulis, dan meneliti. Pelajaran membaca lebih dari sekadar belajar
melek-huruf, atau sekadar membaca buku pelajaran yang diwajibkan.
Pelajaran
membaca harus menjadi kecapakan fungsional yang dibiasakan (reading habit)
sejak sekolah dasar. Kecakapan dan kebiasaan membaca sejak dini akan memudahkan
anak-anak untuk menjelajahi dunia ilmu pengetahuan melampaui batas-batas
pelajaran sekolah.
Selain
membaca, siswa harus diberikan kecapakan menghitung. Pada enam tahun pertama
pendidikan dasar, tak perlu diberikan pelajaran matematika yang rumit.
Finlandia dengan prestasi pendidikan hebat pun mulai menghilangkan pelajaran
matematika di SD.
Di tingkat
ini, cukup diberikan pelajaran aritmatik sederhana sebagai dasar kecapakan
hidup, yang diterapkan langsung dalam praktik kehidupan. Matematika bolehlah
mulai diperkenalkan di kelas 7.
Pelajaran membaca berkelindan dengan menulis. Pelajaran menulis tak
sekadar diletakkan di pojok mata pelajaran bahasa, melainkan subyek tersendiri
yang terintegrasi dengan seluruh mata pelajaran.
Menumbuhkan
hasrat menulis pada gilirannya akan mendorong semangat meneliti, melalui
penelaahan terhadap ayat-ayat tertulis (kitabiyah), ayat-ayat semesta,
ayat-ayat sejarah, dan ayat-ayat di dalam diri.
Pendasaran olah pikir itu harus berjalan simultan dengan proses pemupukan
karakter dan kreativitas, melalui pembelajaran olah rasa (spiritualitas,
estetika, etika, nasionalisme), olah karsa (imajinasi dan kreativitas), dan
olah raga (permainan, ketangkasan, sportivitas).
Dalam
menguatkan fondasi yang kuat bagi manusia pembelajar itu, harus dihindari beban
mata pelajaran yang berlebihan. Rancang
bangun kurikulum pendidikan dasar tak perlu terlalu detail. Bahkan UN belum diperlukan pada tingkat ini,
mengingat orientasinya yang bersifat fondasional dengan karakteristik siswa
yang beragam. Biarkan sekolah menyusun sistem evaluasinya sendiri.
Untuk
memastikan kualitas “performa”
(outcomes) pendidikan seperti yang diinginkan, bidikan berikutnya harus
diarahkan pada peran dan mutu guru. Guru harus diberi derajat kebebasan lebih
besar untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam proses
belajar-mengajar. Pendidikan sebagai proses pemerdekaan tak bisa dicapai
bilamana gurunya sendiri terbelenggu.
Peran besar
yang diemban guru menghendaki peningkatan kapasitas guru. Seorang juru didik
perlu kecakapan yang lebih baik dari juru ukir. Jika seorang pengukir kayu saja
wajib memiliki pengetahuan mendalam dan luas tentang hakikat kayu dan teknik
ukir, apa lagi juru didik yang diharapkan mampu mengukir manusia lahir dan
batin.
Sungguh
ironis, rekrutmen tenaga pendidik saat ini lebih mementingkan aspek-aspek
formal ijazah. Tak cukup bekal kesarjanaan di berbagai disiplin ilmu, para
calon pendidik masih harus mendapatkan proses penggemblengan dalam kecakapan
profesi kependidikan secara saksama.
Selebihnya,
kita tak bisa berharap dapat merekrut calon-calon guru bermutu, selama profesi
guru tak dimuliakan. Lebih dari sekadar gaji, kita butuh rekayasa sosial untuk
memulihkan ketakziman masyarakat pada guru, menyerupai kewibawaan “bangsawan
pikiran” atau “mantri guru” di masa lalu. Tak ada bangsa hebat tanpa guru
hebat.
Dengan
memupuk kecakapan dasar serta guru yang bermutu, apapun disrupsi teknologi yang
terjadi, dunia pendidikan akan memberikan fondasi yang kuat untuk mengantarkan
anak-anak negeri menemukan “rumah” (home), bukan menyesatkannya ke tempat
“pengasingan” (exile). Itulah pertaruhan kita.
(Yudi Latif, Anggota Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia)
terimakasih :)
BalasHapus