Senin, 21 Desember 2015

Kebangsaan; Refleksi dan Harapan

Kebangsaan; Refleksi dan Harapan

Budi Susilo Soepandji  ;  Guru Besar Universitas Indonesia; Bekerja di Lemhannas
                                           MEDIA INDONESIA, 07 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

ADA yang menarik dalam World Order, buku terbaru yang ditulis Henry Kissinger. Dalam pengantar bukunya, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat periode 1973-1977 dan pemenang Nobel Perdamaian 1973 itu mengungkapkan keteraturan dunia lahir dari keseimbangan antara dua hal yang terkadang digambarkan sebagai dua kutub yang saling bertentangan, tapi saling tergantung dan memengaruhi, yaitu order dan freedom. Order (keteraturan) tanpa freedom (kebebasan) pada akhirnya akan membawa kekacauan atau pemberontakan, sedangkan kebebasan tidak dapat dipertahankan tanpa kerangka ketertiban untuk menjaga perdamaian itu sendiri. Ungkapan tersebut merupakan analisis dan kesimpulan filosfofis terhadap dinamika geopolitik di berbagai kawasan dunia.

Geopolitik global, regional

Pandangan tersebut tentu perlu dijadikan bahan pembelajaran sekaligus perenungan terhadap perubahan tatanan dunia dalam berbagai aspeknya yang saat ini tengah terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Tanah Air. Sepanjang 2015, kawasan Afrika, Eropa, dan Asia disibukkan dengan ekses konflik berkepanjangan yang terjadi di ka wasan Timur Tengah. Tidak hanya membanjirnya pengungsi ke kawasan Eropa dan Asia, tapi juga meluasnya radikalisme global yang disertai kekerasan bersenjata yang telah mengancam dan mengguncang stabilitas keamanan negara-negara di kawasan Eropa, Amerika, dan kawasan Asia, termasuk Indonesia. Tindak terorisme di berbagai lokasi di Paris (13/11) menimbulkan kekhawatiran baru tentang semakin meluasnya tindak serupa di berbagai belahan dunia.

Di sisi lain, dinamika geopolitik yang terjadi di kawasan regional yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, dan Asia Pasifik tidak lepas dari pengaruh radikalisme global menunjukkan meningkatnya intensitas ketegangan politik kawasan yang semakin tinggi. Sengketa Laut China Selatan antara Tiongkok dan lima negara ASEAN telah melibatkan ne gara-negara ekstra kawasan, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Jepang, dengan agenda politik dan ekonomi masing-masing. Sementara itu, sengketa perbatasan di kawasan Asia Timur dan Semenanjung Korea yang melibatkan negara-negara ekonomi maju semakin menegaskan potensi instabilitas politik, ekonomi, dan keamanan di kawasan.

Dalam aspek ekonomi, kerja sama ekonomi dan perdagangan kawasan yang mendorong kompetisi antarbangsa semakin tidak terbendung dan terbuka lebar. Sebut saja, AFTA (ASEAN Free Trade Area), ACFTA (ASEAN China Free Trade Area), RCEP (Regional Comprehensif Economic Partnership), dan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir 2015 yang merupakan bentuk kerja sama ekonomi dan perdagangan yang digadang-gadang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional dan nasional masing-masing. Belum lagi keberadaan kerja sama ekonomi antarkawasan, seperti TPP (Trans Pacific Partnership), yang menjanjikan peningkatan ekonomi bagi negara-negara anggotanya.

Dari berbagai dinamika tersebut, secara langsung maupun tidak langsung, tentu akan memengaruhi kehidupan berbangsa di Tanah Air. Tekanan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan sebagai dampak perubahan geopolitik global maupun regional merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan dan dikesampingkan oleh kehidupan politik nasional yang ingar-bingar tidak tentu arah.

Pusaran geopolitik global dan regional harus dihadapi bersama dalam satu kesatuan pandangan dan persepsi yang berbasis kebangsaan. Kita harus belajar dari kekacauan politik dan keamanan di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang disebabkan tercerabutnya karakter dan jati diri karena dibenturkan dengan narasi-narasi bangsa lain. Itulah hal mendasar yang perlu dijadikan pelajaran oleh para pemegang amanah di negeri ini.

Dinamika kehidupan berbangsa

Untuk menjadi catatan bersama, sepanjang 2015, kehidupan berbangsa kita telah tersandera oleh dinamika politik yang tidak sehat serta menguras waktu, tenaga, dan pikiran. Komunikasi politik para pemegang amanah hanya berkutat pada kepentingan kelompok yang kontraproduktif bagi kemakmuran rakyat. Derap langkah pemerintah untuk membangun fondasi dasar yang kukuh dalam menjalankan visi dan misinya terhambat oleh manuver-manuver politik jangka pendek dan politisasi berbagai isu klasik, seperti korupsi, penegakan hukum, dan penurunan nilai tukar. Pembangunan ekonomi seolah tidak bergerak maju bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi negara tetangga. Sementara itu, tantangan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah di depan mata.

Kegaduhan politik seakan membutakan nurani dan intuisi para pemegang amanah terhadap berkembangnya ancaman perang proksi yang memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi melalui jejaring internet ataupun media sosial.

Merebaknya pola rekrutmen simpatisan dan pengikut IS melalui dunia maya maupun peretasan portal pemerintah dipandang sebatas informasi semata yang tidak membangkitkan kewaspadaan kolektif sebagai bangsa yang berdaulat.
Walaupun sebagian kalangan tergerak untuk melakukan langkah-langkah antisipatif, hal tersebut belum mencerminkan sebagai langkah kolektif yang didasarkan pada kesadaran politis bersama.

Saat ini penyelenggara negara di tingkat pusat maupun daerah dan masyarakat disibukkan oleh pilkada serentak di 269 daerah yang berlangsung di sembilan daerah provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota.

Dengan demikian, hajatan demokrasi terbesar dalam sejarah Indonesia ini akan membawa perubahan konstelasi kepemimpinan yang baru di daerah secara bersamaan dengan segala konsekuensi yang tentu saja akan memengaruhi terselenggaranya kehidupan berbangsa di daerah maupun dalam lingkup nasional.

Dinamika kehidupan nasional yang kita rasakan saat ini mengusik munculnya pertanyaan besar apakah para pemegang amanah menyadari besar dan beratnya tantangan yang dihadapi Indonesia? Dapatkah para pemegang amanah bersatu dalam kebangsaan sebagai negarawan-negarawan yang mengabdikan diri untuk seutuhnya bagi kemajuan bangsa dan negara serta kesejahteraan rakyat?

Benteng pertahanan

Perlu dipahami bahwa dalam kancah geopolitik global mendatang Indonesia akan terpengaruh secara signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini mengingat mainstream sistem negara bangsa yang merupakan warisan dari Perjanjian Westphalia mengalami perombakan secara cepat akibat revolusi informasi yang mengglobal.

Apabila institusi-institusi politik dalam negeri (eksekutif, legislatif, yudikatif, penegak hukum, pemprov, dan pemda/ pemkot) tidak beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan ini, utamanya yang berhubungan dengan penegakan rasa keadilan masyarakat, dalam jangka panjang, eksistensi NKRI akan terancam. Di samping itu, dinamika politik nasional akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan negara menghadapi dinamika geopolitik global.

Situasi Timur Tengah dan Afrika Utara yang makin memanas selama lima tahun belakangan, terutama setelah Arab Spring serta masuknya negara-negara besar ke dalam konflik tersebut, akan berdampak besar bagi Indonesia apabila Indonesia tidak segera membangun suatu konsensus nasional tentang masa depannya. Konsensus nasional ini perlu disusun dan dibangun bukan sebagai solusi bagi masa depan, melainkan sebagai kekuatan untuk memicu partisipasi bangsa yang lebih luas dalam memandang masa depan kita di tengah masyarakat dunia.

Oleh karena itu, kita perlu belajar dari masa lalu untuk menata masa depan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat seutuh-utuhnya. Kita harus paham melalui sejarah Nusantara bahwa kolonialisme bangsa Eropa mampu menguasai Nusantara karena para pemimpinnya saat itu sibuk berebut pengaruh di antara sesama warga Nusantara tanpa secara jeli memahami pola dan cara kerja imperialisme global. Namun, satu hal mendasar yang perlu kita bangun dan perkuat ialah kebangsaan. Kebangsaan merupakan roh perjuangan dan keberadaan suatu bangsa.

Garda terdepan

Wawasan kebangsaan harus dimiliki setiap anak bangsa, mulai penyelenggara negara, politisi, hingga masyarakat biasa. Rasa kebangsaan bukan hanya didorong untuk dipahami oleh kalangan muda seperti yang terus digembar gemborkan saat ini. Di saat menghadapi perubahan geopolitik global inilah justru penyelenggara negara dan pemegang amanah rakyatlah yang harus memahami wawasan kebangsaan secara mendalam.

Untuk menyikapi hal tersebut serta menatap 2016 dan tahun-tahun berikutnya yang akan diwarnai semakin maraknya perang proxy, maka media massa akan menjadi garda terdepan dalam membangun kebangsaan dan menjaga persatuan kesatuan bangsa. Sebagai lembaga sosial dan lembaga ekonomi yang mengemban fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, media harus berpartisipasi secara proaktif dalam mendidik masyarakat yang sadar akan arti pentingnya wawasan kebangsaan bagi masa depan Indonesia.

Media tidak boleh terjebak dalam permainan politik yang mengutamakan kepentingan kelompok dan menggadaikan kepentingan bangsa dalam jangka panjang. Sebagai pewaris bangsa dan negara ini, seharusnya kita malu kepada para pendiri bangsa yang telah berdarah-darah mengorbankan jiwa dan raga untuk kemerdekaan bangsa ini.

Untuk menata dan menatap masa depan bangsa ini, kutipan sepenggal pidato Bung Karno yang disampaikan pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945 berikut ini, mungkin perlu kita renungkan dengan hati nurani yang jernih, “Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberikan sandang pangan kepadanya?“

Tidak ada komentar:

Posting Komentar