Kamis, 01 Mei 2014

Ilusi Koalisi Partai Islam

Ilusi Koalisi Partai Islam

Anhar Putra Iswanto  ;   Mahasiswa Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang
OKEZONENEWS, 29 April 2014

                                                                                         
                                                             
Setelah pemilu legislatif usai, perbincangan di ruang publik politik tanah air riuh dengan perihal koalisi. Masing-masing partai politik sedang mengatur taktik, strategi demi mendapat “berkah” pada pemilu presiden mendatang. Setidak-tidaknya “siap kalah, tapi tidak siap rugi”.

Dalam sistem presidensialisme yang masih meraba-raba, melihat hasil sementara perolehan suara masing-masing partai politik 2014, sudah menjadi keharusan bagi partai politik untuk melakukan koalisi agar memuluskan pencalonan presiden. Yang menarik justru datang dari partai (berbasis massa) Islam yang mencoba melakukan koalisi membentuk “poros tengah baru”. Mengingat jika diakumulasi perolehan suara partai Islam mencapai 30 persen. Benarkah ini akan terjadi?

Runtuhnya Politik Aliran

Meneropong kekuatan partai politik dalam setiap pemilu di Indonesia, Herbert Feith dalam bukunya The Decline of  Constitutional Democracy in Indonesia (1978) memberikan penjelasan tentang tipologi parpol di Indonesia berdasarkan ideologinya. Pada pemilu 1955 Feith membagi tipologi ini menjadi: aliran kiri dianut Partai Komunis Indonesia (PKI), agak ke tengah (sosialisme-nasionalsime) dianut partai Murba, aliran kanan (sosial demokrat) dianut oleh Partai Sosialis Indonesia (PSI), kanan yang agak ketengah (nasionalisme kerakyatan) dianut oleh Partai Nasionalis Indonesia (PNI), agak ke kanan dianut oleh partai Islam modern (Masyumi, Persis),  dan tradisional dianut oleh Partai NU (setelah pecah dengan Masyumi).

Meskipun terjadi reformasi politik di Indonesia, baik masa Orde Baru dan masa Reformasi, tipologi partai politik (mines komunisme-sosialisme) masih berlaku sampai saat ini. Pertama, reformasi politik dengan memodifkasi model parliamentary treshold belum berdampak signifikan untuk mendukung model presidensialisme yang kokoh. Setidaknya upaya untuk menyempitkan partai politik dalam pemilu harus terus dilakukan. Kedua, dari partai politik peserta pemilu 2014 dapat dikelompokkan; nasionalis kerakyatan dianut oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Gerindra.  Aliran nasionalis demokrat (borjuis) dianut oleh Partai Demokrat, Nasdem, Golkar, dan Hanura. Sementara aliran Islam modernis diwakili PAN, PBB, PKS dan  separuh PPP. Dan Islam tradisonal dianut oleh PKB dan sebagian PPP. Sementara suara kecil kelompok nasionalis kanan dianut oleh PKPI, namun gagal mendapatkan kursi parlemen.

Dari model tipologi ini, setidaknya kontetasi partai politik Indonesia masih memperhitungkan kekuatan ideologi yang mereka anut. Sebagian teorisasi politik, terutama akademisi Indonesia menyatakan bahwa partai politik kehilangan identitas ideologinya. Ini terlihat dari model partai medeoker yang tergantung pada figur tertentu. Tidak ada partai yang masih memperjuangkan ideologi sebagai garis perjuangannya. Setidaknya ini terlihat dari model politik catch all yang dilakukan oleh masing-masing partai.

Mengukur Kekuatan Partai Islam

Dari hasil sementara pileg yang lalu, partai Islam (PAN+PKS+PPP+PKB+PBB), jika diakomulasi perolehan suaranya mencapai 30 persen. Artinya, partai gabungan ini dapat mencalonkan presiden tanpa berkoalisi dengan partai nasionalis kerakyatan atau dengan aliran nasionalis borjuis. Logika ini mendorong para tokoh partai Islam untuk menggagas terjadinya poros tengah jilid II. Mungkinkah ini terjadi? Tidak!

Koalisi partai Islam adalah sesuatu yang ilusi dan mimpi kosong.  Setidaknya terdapat beberapa argumen untuk menyebut kolisi partai Islam sebagai ilusi.

Pertama, sejak pemilu 1965 dan dibubarkannya Masyumi oleh Soekarno 1964, partai Islam mengalami dilema untuk menyebut diri mereka sebagai partai Islam yang memperjuangkan ide-ide Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yag muncul dari kebijakan diskriminatif Orde Baru juga tidak memiliki prestasi yang cukup baik sepanjang sejarah Orde Baru. Artinya sejak Masyumi bubar, maka bubarlah parpol yang secara konsisten memperjuangkan Islam dalam gerakan politiknya.

Kedua, setelah reformasi 1998, parpol Islam berubah menjadi partai yang akomodatif terhadap pemerintah dan sangat oportunis. Parpol Islam menjadi “gila” kekuasaan dalam pemerintahan. Sepanjang sejarahnya, partai Islam tidak ada yang berani mengambil jalan oposisi terhadap pemerintah. Pemimpin partai Islam lebih suka mengambil jalan koalisi untuk mendapatkan kursi pemerintahan daripada menjadi koalisi yang dalam jangka pendek tidak menguntungkan. Ini membuktikan sangat sulit membenarkan partai Islam berada dijalur track ideologi yang dianutnya, apalagi mau berkoalisi. 

Ketiga, perubahan perilaku politik pemilih di Indonesia membuat partai politik, termasuk partai Islam, bergerak menuju “ruang tengah” di mana kelompok pemilih yang tidak lagi terikat ideologi berada. Kecilnya identifikasi party ID juga menjadi sebab partai politik memperebutkan suara pada kotak yang sama.

Keempat, dari analisis komunikasi politik yang dilakukan oleh parpol Islam adalah bukan untuk membangun kekuatan mencalonkan satu presiden, melainkan masing-masing partai Islam sedang bergerilia membangun kekuatan untuk mendapatkan posisi sebagai wakil presiden dari tiga partai politik sebagai induk  koalisi (PDIP, Golkar, Gerindra). Misanyalnya manufer politik yang dilakukan PKB adalah mencari kekuatan politik untuk mengusung ketua umumnya Muhaimin Iskandar sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari pasangan manapun yang bersedia meminangnya. Begitu pula yang dilakukan PPP, PAN, dan PKS. Maka sangat sulit untuk membayangkan terjadi koalisi partai Islam pada pilpres nanti.

Kelima, hal yang harus dicatat, bahwa psikologi politik pemilih pada musim pileg tidak selalu relevan pada saat pemilihan presiden. Misalnya, orang yang memilih Golkar pada pemilu legislatif, belum tentu akan memilih Abu Rizal Bakrie (ARB) pada pemilihan presiden. Variabel ketokohan politik dan figur menjadi faktor yang sangat menentukan.

Presiden Pacasilais

Salahuddin Wahid menyebutkan tidak ada partai Islam atau yang berbasisi Islam secara sungguh-sungguh mengetengahkan konsep ekonomi Islam yang sesuai dengan konsep ekonomi konstitusi negara Indonesia (Kompas, 14/04/14). Jika partai Islam secara sungguh-sungguh memperjuangkan ideologi politik Islam, maka agenda untuk memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran sudah sesuai dengan pemikiran ideologi bangsa: Pancasila.

Dalam hemat saya, bukan saatnya lagi untuk mencari pemimpin yang apakah dia Islam atau bukan. Apakah dia sosok yang religius atau tidak. Pemimpin yang kita cari saat ini adalah pemimpin yang berjiwa Pancasila, pemimpin yang berani melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang merugikan negara, pemimpin yang mengamalkan UUD 1945 terutama pasal 33 yang menegaskan bumi, air, dan kekayaan alam lainnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk  sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, dan bukan untuk kesejahteraan asing.

Pada era 80-an, ketika gelombang pemikiran pembaharuan Islam berkembang di Indonesia Nurcholish Madjid (Cak Nur) mengungkapkan frase yang kontroversial “Islam Yes, Partai Islam No”.  Cak Nur melihat bahwa perjuangan partai Islam yang eksklusif tidak akan dapat menjawab persoalan bangsa yang semakin kompleks. Maka saat ini yang harus dilakukan adalah memilih pemimpin yang berani mengembalikan Indonesia pada ideologi bangsanya, Pancasila. Islam Yes, Partai Islam No.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar