Posisi
Tawar Wakil Presiden
Benni Setiawan ; Dosen di Universitas
Negeri Yogyakarta,
Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
|
SINAR
HARAPAN, 30 April 2014
Gema koalisi
semakin santer terdengar hingga seantero negeri. Gema koalisi ala hitungan
cepat (quick count/QC)—karena
didasarkan hasil QC sejumlah lembaga survei—tampaknya hanya mencari sosok
wakil presiden. Pasalnya, “partai pemenang pemilu”—PDIP, Partai Golkar,
Partai Gerindra—sudah membawa nama calon presiden (capres). Kini mereka
keliling (sowan) untuk mendapatkan
dukungan dan menawarkan posisi wapres.
Posisi
cawapres kini cukup seksi. Ia dicari oleh capres. Pasalnya, menurut beberapa
pengamat politik, kesalahan memilih cawapres dapat menyebabkan keterpurukan.
Artinya, salah memilih cawapres, sang capres akan kalah dalam pemilihan
presiden (pilpres) pada 9 Juli.
Hal
tersebut tentu berbeda dengan pemilu sebelumnya, apalagi saat Orde Baru masih
berkuasa. Posisi wapres tidak menjadi kebanggaan. Wapres lebih banyak
berperan sebagai pelengkap penderita (ban serep).
Pertanyaan
yang muncul kemudian adalah, apakah iklim yang mulai memihak kepada wapres
ini mampu mewujudkan benar kerja bersama antara presiden dan wakil presiden
di era mendatang?
Pemimpin Sejati
Sejarah
perjalanan bangsa Indonesia telah melahirkan dua sosok wapres paling
monumental, Muhammad Hatta dan Jusuf Kalla. Tulisan ini hanya akan difokuskan
pada pembahasan sosok Muhammad Hatta yang akrab disapa Bung Hatta.
Bung
Hatta tidak hanya seorang Bapak Bangsa. Ia adalah seorang pemimpin sejati.
Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu meletakkan kepentingan rakyat di
atas kepentingan pribadi. Contohnya, ikrarnya yang akan membujang sebelum
Republik Indonesia merdeka. Ia pun menunaikan janji suci itu. Bung Hatta
menikah setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.
Menilik
ketokohan dan komitmen, kini sosoknya sangat dirindukan di tengah semakin
pragmatisnya pemimpin negeri ini. Pemimpin negeri ini lebih mementingkan diri
sendiri dan golongan daripada kepentingan bangsa dan negara. Mereka sentitif
menjaga muruah partai, namun abai masalah kebangsaan yang semakin tercabaik
kekerasan dan konflik.
Pemimpin
sekarang pun jauh dari kata amanat. Mereka lebih suka berbohong daripada
jujur. Lebih banyak khianat daripada amanat. Janji-janji politik yang ia
ucapkan kini telah dikangkangi atas nama ego dan nafsu berkuasa. Padahal,
ucapan seorang pemimpin merupakan janji (sabda pandita ratu).
Bukan Ban Serep
Sabda
pandita ratu dipegang teguh oleh Bung Hatta. Kejujuran dalam berucap dan
bersikap menjadikannya mampu memimpin negeri bersama Soekarno. Mendampingi
Soekarno sebagai wapres tidak berarti mengerdilkan peran suami dari Rahmi
Rachim ini.
Bung
Hatta bukanlah ban serep. Ia pun melakukan tugas kebangsaan dan kenegaraan
dalam koridor yang benar. Ia melakukan semua itu hanya didasarkan pada
cita-citanya mewujudkan hidup rukun, adil, dan sejahtera.
Cita-cita
itulah yang menjadikan Bung Hatta bersikukuh terus berjuang walaupun ia
berbeda pandangan dengan Bung Karno. Bung Hatta tak segan mengkritik Bung
Karno.
Kritik
itu bukan didasarkan pada rasa tidak suka atau benci. Namun, pejuang yang
mendapatkan gelar kehormatan akademis doctor honoris causa dalam ilmu hukum
dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta pada 27 November 1956 ini, sangat
sayang dan mencintai Soekarno sebagai pemimpin revolusi Indonesia.
Duet
Soekarno-Hatta telah menyejarah. Duet ini telah meletakkan dasar kenegaraan
yang baik, walaupun akhirnya, Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan
Wapres pada 1956. Ia merasa sudah tidak sejalan dengan Soekarno. Meskipun
telah mengundurkan diri dari Wapres, ia tetap menjalin hubungan baik dengan
Soekarno. Ia pun kerap memberikan masukan guna terselenggaranya pemerintahan
yang kuat dan bijak di Republik Indonesia.
Sosok
Bung Hatta tidak mudah meledak-ledak dalam menghadapi berbagai permasalahan.
Sikapnya ini mengantarkan ia menjadi diplomat ulung. Ia seringkali diutus
Soekarno menjadi juru damai atau inisiator dalam berbagai konferensi
internasional. Sikapnya yang tenang dan tidak mudah terpancing amarah pun
menjadikan Bung Hatta disegani orang lain.
Bung
Hatta telah mewariskan semangat juang menjadi seorang pemimpin. Ia memberi
teladan kepada masyarakat, menjadi wapres bukan berarti selalu menjadi nomor
dua. Wapres merupakan amanat kebangsaan yang selayaknya diemban dan
ditunaikan. Posisi wapres bukanlah penghalang untuk berkarya untuk nusa dan
bangsa. Wapres merupakan posisi terhormat.
Berbagi Peran
Guna
mewujudkan itu, presiden sebagai panglima selayaknya mau berbagi peran dengan
wapres. Pengebirian terhadap posisi wapres hanya akan meninggalkan catatan
sejarah buruk bagi anak bangsa. Presiden selaku pemimpin selayaknya mampu
bersinergi dengan kelebihan dan kekurangan wapres. Tanpa hal tersebut, posisi
wapres hanya akan menjadi pelengkap tanpa kerja yang jelas. Wapres pun hanya
sekadar pajangan pelengkap amanat UU.
Bung
Hatta telah mewariskan tatanan politik yang beradab, menjadi wapres tanpa
harus mengebiri posisi presiden. Lebih dari itu, Bung Hatta juga telah
menunjukkan secara gamblang dalam ranah konsolidasi demokrasi, bahwa wapres
bukan ban serep.
Wapres
memiliki posisi tawar dalam turut serta membangun masa depan bangsa. Ia bukan
hanya sekadar “pendamping”. Artinya, seseorang yang hanya dibutuhkan saat
presiden tak lagi mampu menjalankan tugas kenegaraan. Bersama presiden,
wapres adalah tulang punggung pemerintahan. Ia adalah nakhoda bangsa.
Pada
akhirnya, semoga pembahasan koalisi hari ini tidak hanya sekadar basa-basi
mencari dukungan guna memenuhi syarat konstitusi. Namun, mengarah pada
prinsip kehidupan demokratisasi yang sehat, pembagian kewenangan yang
memanusiakan antara presiden dan wakil presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar