Jika proses ritual demokrasi
Indonesia berjalan lancar, tahun 2014 akan ada lagi pemilihan umum untuk
memilih wakil-wakil rakyat untuk parlemen pusat, DPD, dan pemilihan
presiden RI yang ketujuh (atau kedelapan jika Sjafruddin Prawiranegara
sebagai Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia dimasukkan dalam
daftar).
Pemilihan presiden langsung baru
dimulai 2004 sebagai pelaksanaan amendemen UUD 1945 yang mengharuskan
presiden dan wakil dipilih secara langsung, sebagaimana juga berlaku dalam
pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Biayanya memang sangat besar,
tetapi inilah risiko yang harus dipikul negara sesuai dengan perubahan UUD
yang terasa dikerjakan kurang cermat di tengah euforia demokrasi yang
eksesif.
Peradaban Demokrasi Rendah
Karena tingkat peradaban demokrasi
Indonesia masih berada di bawah standar jika diukur dengan tujuan yang
hendak diraih oleh Indonesia Merdeka, Pilpres 2014 menjadi sangat krusial
dan penting. Jika sosok yang terpilih punya potensi menjadi negarawan, ada
harapan demokrasi Indonesia akan meninggalkan corak yang serba ritual dan
prosedural menuju terciptanya sebuah demokrasi substansial yang sepenuhnya
berpihak ke kepentingan rakyat banyak. Isu-isu keadilan dan kesejahteraan
yang selama ini masih tergantung di awan tinggi, di bawah pimpinan para
negarawan dari pucuk tertinggi sampai ke akar yang paling bawah, secara
berangsur dan pasti akan menjadi kenyataan dalam formatnya konkret.
Namun, jika yang tampil adalah
mereka yang miskin visi dan tunamoral, kondisi Indonesia yang sudah lama
berkubang dalam dosa dan dusta akan kian rontok, tunamartabat, dan sunyi
dari keadilan. Dengan demikian, 2014 akan jadi momen krusial bagi sistem
demokrasi yang tidak saja sangat kritikal, tetapi juga akan menentukan
corak hari depan bangsa dan negara ini, apakah masih berdaulat atau
kedaulatan pindah tangan melalui agen-agen domestik pihak asing yang telah
kehilangan harga diri sebagai manusia merdeka. Di bawah kendali para agen
ini, tidak banyak gunanya bagi tuan dan puan untuk berbicara tentang
kedaulatan politik dan kedaulatan ekonomi, sebuah cita-cita mulia yang dulu
dijadikan pedoman dan acuan utama oleh para pendiri bangsa dan negara
tercinta ini. Setelah lebih enam dasawarsa pascaproklamasi, cengkeraman
kuku asing atas kekayaan bangsa malah semakin menguat dan melilit kita
semua.
Berbagai perjanjian dagang telah
disepakati, tetapi sering sangat merugikan posisi Indonesia. Kasus Freeport
yang menghebohkan itu hanyalah salah satu contoh betapa leluasanya asing
mengeruk keuntungan dari bumi Papua gara-gara pihak Jakarta melakukan
blunder politik yang sangat fatal. Akibatnya sangat jelas, kita tidak lagi
sepenuhnya menjadi tuan di rumah kita. Inilah jadinya, bila bangsa dan
negara dipimpin londo ireng yang tidak punya nyali berhadapan dengan pihak
asing. Harga diri kita dengan mental terjajah sangatlah rendah sekalipun
masih saja berlagak sebagai manusia merdeka. Padahal, syarat bagi seorang
manusia merdeka ada dalam ungkapan Bung Karno, ”Mana dadamu, ini dadaku.”
Bangsa-bangsa lain kita hormati, tetapi jika mau mendikte, tunjukkan bahwa
kita adalah manusia merdeka yang punya harga diri.
Kriteria Calon Presiden 2014
Adakah tokoh yang mampu membalik
situasi demi kedaulatan bangsa pada 2014? Saya tidak pesimistis. Pastilah
dari rahim Indonesia telah lahir sosok yang diharapkan itu. Sosok inilah
yang harus dimunculkan dalam tempo dekat ini. Dilihat jejak rekamnya jika
sudah pernah menjabat, dinilai integritas moralnya, dipantau pula sikapnya
terhadap benda dan kekuasaan, dan yang tak kurang pentingnya adalah
ditimbang nyalinya dalam mengambil keputusan kenegaraan penting sekalipun
mungkin tidak populer.
Dalam situasi situasional kritikal
ini, usia calon tidak terlalu mustahak dijadikan syarat. Saya berharap
parpol bisa menjinakkan ego politiknya untuk turut menemukan dan mendukung
figur nasional yang memenuhi kriteria di atas, tidak perlu harus dari
kalangan partainya.
Dalam bacaan saya sejak
proklamasi, telah dikenal beberapa tokoh negarawan yang dinilai cukup punya
kemampuan mengisi kemerdekaan secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab,
tetapi tak diberi kesempatan menjadi orang pertama. Dari sisi mana pun kita
meneropong, mereka memenuhi semua kriteria di atas. Mereka adalah Bung
Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan M Jusuf Kalla. Amat disayangkan,
karena lemahnya visi kenegarawanan elite politik nasional, mereka tak dapat
peluang dan dukungan untuk tampil memimpin bangsa dan negara demi
terwujudnya cita-cita suci kemerdekaan berupa tegaknya keadilan dan
meratanya kesejahteraan rakyat yang sampai kini masih menjadi mimpi
nasional.
Pengamat migas, Kurtubi, sudah
lama berteriak agar politik migas kita diubah secara radikal. Disarankan
agar pemerintah dan Pertamina mendirikan kilang-kilang pemroses minyak
mentah dalam jumlah lebih banyak lagi. Namun, saran ini tak pernah digubris
dengan dalih untungnya tak banyak. Menurut Kurtubi, untung memang tak
banyak, tetapi pasti beruntung. Cara ini akan jauh lebih bermartabat
dibandingkan apa yang ditempuh selama ini dengan membeli BBM lewat
agen-agen tengkulak di Singapura.
Adalah kebiasaan buruk pemerintah
dan Pertamina yang sering menempuh jalan mudah sekalipun dalam jangka
panjang pasti menggerogoti kekuatan ekonomi nasional. Dalam perspektif ini,
saya berharap presiden 2014 membuka telinga dan mata mendengarkan
saran-saran positif dari para ahli perminyakan untuk membalik politik migas
yang tidak tepat selama ini. Indonesia adalah sebuah benua maritim dengan
ribuan pulau berserakan. Karena aparat pengawal dan penjaga laut yang
luasnya jauh melebihi daratan masih dalam posisi lemah, tidak mengherankan
pencuri ikan telah merampok kekayaan laut kita dengan kerugian negara
mencapai Rp 30 triliun saban tahun. Sebagai negara maritim, semestinya
kekuatan Angkatan Laut kita setidak-tidaknya setanding dengan kekuatan
Angkatan Darat. Dengan AL yang tangguh, para perampok dan pencuri kekayaan
laut akan berpikir 1.000 kali sebelum meneruskan petualangan kriminalnya
yang sangat merugikan negara itu.
Akhirnya, presiden yang kita
harapkan muncul pada 2014 adalah figur yang mengenal betul peta Indonesia
secara utuh dengan segala sisi kekuatan dan kelemahannya. Berdasarkan peta
itu, dibuat strategi pembangunan nasional yang sepenuhnya berpihak kepada
rakyat jelata, bukan ”memanjakan” kelompok elitis yang kebanyakan telah
lama mati rasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar