Laju pertumbuhan
penduduk Indonesia 1,49 persen per tahun. Pada 2015 penduduk
Indonesia diperkirakan mencapai 255 juta jiwa.
Penduduk sebanyak itu
memerlukan asupan makanan berupa beras dengan produksi setara padi 68,47
juta ton gabah kering giling. Itu dengan asumsi konsumsi, terutama beras
per kapita 135,1 kg per kapita per tahun.
Dengan jumlah penduduk
sebanyak itu dan tingkat kebutuhan konsumsi yang sangat tinggi, dunia
bisnis pangan mana yang tak tergiur menjadikan Indonesia sebagai pasar
pangan dunia? Semua berlomba mengambil untung dari fakta tersebut, tak
terkecuali sejak masih dalam soal benih dan pasokan pangan.
Imperialisme Benih
Tak heran Indonesia pun
dengan kilat menjadi mangsa pasar global dari produk benih transgenik dan
sirkus perdagangan importir pangan. Tak hanya itu, persoalan benih secara
umum sedang memasuki fase imperialisasi dengan upaya pemerintah
melalui UU SBT (UU No 12/1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman) yang
dampaknya akan sangat merugikan petani kecil.
Untuk Produk
Rekayasa Genetika atau yang lazim disebut transgenik sendiri telah resmi
diperbolehkan beredar di Indonesia. Kementerian Pertanian (Kementan)
merilis regulasi varietas dan produk transgenik lewat aturan bernomor
61/2011 tentang Pengujian, Penilaian, Penarikan Varietas. Permentan No
61/2011 itu berisi 9 bab dan 61 pasal.
Menurut Kementan,
peraturan produk transgenik lewat aturan bernomor 61/2011 dimaksudkan
sebagai dasar dalam pelaksanaaan pengujian, penilaian, pelepasan dan
penarikan varietas. Tak pelak, dirilisnya aturan itu langsung menyeruakkan
bau tak sedap. Sejumlah pihak menuding, lobi asing ada di balik dikeluarkannya
beleid soal transgenik tersebut.
Para pengamat kebijakan
pertanian menilai Permentan 61/2011 itu menjadi legitimasi bagi produsen
benih mutlinasional untuk memasarkan produk rekayasa genetika ke Tanah Air.
Besarnya populasi penduduk Indonesia yang melebihi 200 juta menjadi alasan
logis. Kepentingannya jelas, yaitu ekspansi bisnis perusahaan
pertanian multinasional.
Tapi ini pula
masalahnya, dalam sebuah sistem, kegiatan kerja bertani tidak lagi
semata-mata dilihat sebagai sebuah kebudayaan bercocok tanam, melainkan
bisnis.
Bisnis lalu menyangkut
politik berupa lobi-lobi, patgulipat, kongkalikong, aturan pun
diselenggarakan; siapa yang berhak memproduksi, mengedarkan, dan siapa
yang masuk dalam “perencanaan” sebagai sasaran pengguna sekaligus disebut
korban. Pengedarnya adalah pebisnis, yaitu mereka yang punya naluri, tenaga
dan modal untuk menjadikan benih sebagai sumber keuntungan.
Keuntungan itu lalu
diakumulasi. Akumulasi keuntungan itu lalu terkonsentrasi hanya di tangan
segelintir para pebisnis yang menciptakan sistem monopoli. Monopoli lalu
menjadikan sistem perbenihan dan pertanian khususnya membangun oligopoli,
lalu siapa target sasaran bisnisnya? Petani kecil--budayawan penggagas
peradaban dan sejarawan penemu benih.
Merekalah “target” dari
eksploitasi sistematis pemiskinan yang akan berlangsung pelan-pelan melalui
politik ketergantungan. Mula-mula benih, lama-lama pestisidanya, lalu yang
paling parah adalah sistem bercocok tanamnya, lalu corak bermasyarakatnya.
Gawat, bukan?
Monopoli tak
terhindarkan, kartel menerapkan paham stelsel. Kartel domestik pada
industri benih di dalam negeri telah diduga dilakukan World Economic Forum Partnership on Indonesian Sustainable
Agriculture (WEFPISA) yang beranggotakan perusahaan-perusahaan
multinasional yang telah lama mengincar pasar benih dan pangan di
Indonesia.
Kartel Pangan
Sementara itu, kartel
internasional dan nasional pada sektor pangan diduga
mengendalikan harga, stok, dan pasokan komoditas pangan utama di dalam
negeri.
Di pasar internasional,
setidaknya terdapat 12 perusahaan multinasional yang diduga terlibat kartel
serealia, agrokimia, dan bibit tanaman pangan. Di dalam negeri ada 11
perusahaan dan enam pengusaha yang ditengarai menjalankan kartel kedelai,
pakan unggas, dan gula.
Negara sebagai sebuah
institusi pelindung rakyat akhirnya harus berhadap-hadapan dengan
organisasi perdagangan yang memang berorientasi mengakumulasi keuntungan.
Tak pelak keanggotaan Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
telah membuka jalan bagi perusahaan multinasional memonopoli usaha
perbenihan dan pangan.
Komite Ekonomi Nasional
(KEN) misalnya menyebutkan di pasar internasional terdapat empat pedagang
besar yang disebut “ABCD”, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge,
Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90 persen pangsa
perdagangan serealia (biji-bijian) dunia. Struktur pasar komoditas
pangan juga memiliki kecenderungan oligopolistik.
Dalam industri agrokimia
global juga terdapat enam perusahaan multinasional, yaitu Dupont, Monsanto,
Syngenta, Dow, Bayer, dan BASF yang menguasai 75 persen pangsa pasar
global. Dalam industri bibit terdapat empat perusahaan multinasional, yakni
Monsanto, Dupont, Syngenta, dan Limagrain, dengan penguasaan 50 persen
perdagangan bibit global.
Pada sektor pangan,
kartel juga terjadi pada industri pangan dan impor. Indikasinya, satu per
satu perusahaan makanan domestik diakuisisi perusahaan asing. Misalnya,
Aqua diakuisisi Danone (Prancis), ABC diakuisisi Unilever (Inggris), dan
Kecap Bango dikuasai Heinz (Amerika). Sementara itu, tren misalnya pada
impor daging mayoritas rupanya dari Australia, bawang putih dari Tiongkok,
dan bawang merah dari Filipina.
Hal tersebut
kemudian berdampak langsung pada maraknya kriminalisasi dan hilangnya
kedaulatan petani dalam mengelola benih memproduksi sumber pangan
nasional, target swasembada pangan berkala pada 2014 akan jadi isapan
jempol belaka. Tak pelak, Indonesia terperangkap dalam liberalisasi
perdagangan yang mengakibatkan Indonesia dibanjiri produk pangan dan
manufaktur impor.
Di mana nasib petani
produsen pangan kita? Tampaknya negara tak terlalu ambil peduli dengan
nasib petaninya sendiri. Kebijakan Food
Estate melalui MIFEE/sentra pangan dan upaya memberikan dominasi
sekuatnya pada kartel dagang dalam kasus benih melalui UU No 12/1992
tentang Sistem Budi Daya Tanaman adalah indikasi nyata ke mana
kebijakan pangan pertanian pemerintah sedang mengarah.
Menggugat Takdir
Benih dan produksi
pangan bagi petani sejatinya tidak hanya berorientasi ekonomi, tapi
juga rohani. Tapi ini pula soalnya, sekarang di
masyarakat kita, kepolosan dan ketulusan memang lebih sering dijadikan
bancakan.
Oleh sebab itu, jika
kepolosan itu sudah dianggap elite pengambil kebijakan sebagai sama
dengan kebodohan, sudah waktunya bagi kaum petani untuk menggugat takdir
sosialnya sebagai yang melulu harus selalu berperan polos
bahkan cenderung lugu.
Akhirnya saya ingin
menutup tulisan ini dengan ajakan Daniel Webster: “When tillage begins, other arts follow. The farmers therefore, are
the founders of civilization.” Petani
kecil—budayawan penggagas peradaban dan sejarawan penemu benih—merekalah
paling layak dibela. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar