Jaksa Agung Menjawab Korupsi Minyak
Goreng Abdul Manan ; Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 16
Juli
2022
DALAM satu-dua tahun
ini Kejaksaan Agung menyidik sejumlah kasus korupsi yang menjadi sorotan
publik. Sepanjang 2021, Kejaksaan menyidik 1.849 perkara korupsi. Sebanyak
946 perkara sudah berkekuatan hukum tetap dan dieksekusi. Salah satunya
dugaan korupsi minyak goreng pemberian izin ekspor minyak sawit mentah, bahan
baku minyak goreng, pada Januari 2021-Maret 2022. Kejaksaan menetapkan empat
orang sebagai tersangka dan mulai memeriksa mantan Menteri Perdagangan,
Muhammad Lutfi. Untuk mendapatkan
penjelasan mengenai penanganan kasus minyak goreng dan sejumlah kasus lain,
Tempo mengajukan permintaan wawancara kepada Jaksa Agung Sanitiar
Burhanuddin, tapi ia tak bersedia diwawancarai secara langsung. “Jaksa Agung
hanya bersedia menjawab pertanyaan secara tertulis,” kata Kepala Pusat
Penerangan Kejaksaan Agung Ketut Sumedana pada Senin, 20 Juni lalu. Tempo kemudian
mengirim sejumlah daftar pertanyaan. Dalam jawaban tertulis kepada wartawan
Tempo, Abdul Manan, pada Selasa, 28 Juni lalu, Burhanuddin menjelaskan
perkembangan penyidikan kasus minyak goreng, dari status Lutfi, pasal yang
dipakai dalam penyidikan, hingga tudingan adanya nuansa politis dalam
penyidikan kasus ini. Pria yang mendapatkan
gelar profesor dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah,
pada 2021 ini juga membeberkan perkembangan penyidikan pelanggaran hak asasi
manusia di Paniai, Papua, dan peluang penyelesaian kasus HAM berat lain. Belakangan
ini Kejaksaan Agung banyak menyidik kasus korupsi. Apa penyebabnya? Kejaksaan memiliki
kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang Kejaksaan. Apa yang kami lakukan dalam penanganan tindak
pidana korupsi tersebut bukan untuk berkompetisi dengan penegak hukum lain,
tapi lebih pada pelaksanaan undang-undang. Dalam
kasus korupsi minyak goreng, apakah mantan Menteri Perdagangan, Muhammad
Lutfi, akan menjadi tersangka? Pada Rabu, 22 Juni
lalu, tim penyidik Kejaksaan memeriksa mantan Menteri Perdagangan. Statusnya
masih sebatas saksi. Saya tidak mau berspekulasi. Kami biarkan proses
penyidikan ini berjalan. Pasal
yang digunakan dalam kasus ini adalah merugikan perekonomian negara.
Bagaimana menghitungnya? Pasal yang akan
digunakan tetap Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang pada dasarnya menyatakan bahwa perbuatan melawan
hukum tersebut mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara. Sifat kerugian negara di sini bisa bermakna kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara yang masing-masing memiliki makna
yang berbeda. Terobosan Kejaksaan dalam pembuktian unsur “perekonomian
negara” pertama kali dilakukan pada 2020 dalam kasus korupsi impor tekstil di
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tahun anggaran 2018-2020. Saat itu,
kerugian perekonomian negara dihitung berdasarkan dua elemen, yakni kerugian
dari penurunan aktivitas industri dalam negeri akibat lonjakan impor barang
yang diselidiki dan potensi pengeluaran rumah tangga yang hilang akibat
pemutusan hubungan kerja dari industri. Laporan Komite Pengamanan Perdagangan
Indonesia (KPPI) pada 2020 menunjukkan delapan perusahaan melakukan PHK
selama 2016-2019. Kerugian perekonomian dari aktivitas industri sebesar Rp
65,35 triliun. Kerugian perekonomian akibat pengeluaran rumah tangga dari
pekerja yang terkena PHK adalah Rp 19,73 miliar. Semua hitungan ini
menggunakan pendekatan irreducible minimum approach, yang artinya kerugian
yang terjadi tidak mungkin lebih rendah dari angka tersebut, tapi sangat
mungkin lebih tinggi dari angka tersebut. Apakah
Kejaksaan meminta bantuan BPK/BPKP untuk menghitung kerugian perekonomian
negara ini? Dalam menghitung
kerugian perekonomian negara, sebenarnya Kejaksaan dapat saja meminta bantuan
dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ataupun Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP). Keduanya memiliki core business dalam menghitung kerugian
negara, meskipun, menurut surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) dari Kamar
Pidana, BPK-lah yang berhak melakukan declare (pengumuman) terhadap besaran
kerugian negara. Walaupun demikian, SEMA tersebut menyatakan bahwa tidak
menutup kemungkinan bagi BPKP untuk mengaudit kerugian negara. Pada akhirnya,
semuanya akan dilakukan melalui pembuktian di depan hakim di persidangan. Bagaimana
tudingan adanya nuansa politis dalam pengusutan kasus ini? Saya tegaskan bahwa
Kejaksaan bertindak profesional dalam semua langkah yang perlu dilakukan
dalam tahap penyidikan. Sebab, dalam tahap inilah tim penyidik akan mencari
siapa yang bertanggung jawab atas tindak pidana korupsi berdasarkan minimal
dua alat bukti, seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Sekali lagi, saya tegaskan, kami bertindak profesional dan menjaga
integritas dalam semua penanganan perkara. Kami tetap menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap Kejaksaan. Kasus
pelanggaran hak asasi manusia berat di Paniai, Papua, akhirnya naik ke tahap
penyidikan. Atas permintaan Presiden? Komitmen pemerintah
dalam penegakan, penuntasan, dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat
dilakukan dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan bagi korban ataupun
seseorang yang diduga sebagai pelaku. Berkas hasil penyelidikan Komisi
Nasional HAM secara yuridis belum memenuhi persyaratan sesuai dengan
Undang-Undang Pengadilan HAM. Namun Kejaksaan tetap melakukan penyidikan umum
guna menjamin terwujudnya prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum. Setelah menyidik
cukup lama, akhirnya tim penyidik menyatakan berkas perkara pelanggaran HAM
berat Paniai telah memenuhi syarat formil dan materiil atau dinyatakan
lengkap berdasarkan surat pemberitahuan hasil penyelidikan sudah lengkap
(P-21) dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor B-1069/F/FH.2/05/2022
tanggal 13 Mei 2022. Penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti
dari penyidik ke penuntut umum dilaksanakan pada Selasa, 24 Mei lalu, di
Kejaksaan Agung; Kejaksaan Negeri Biak, Papua; dan Kejaksaan Negeri Makassar
secara hibrida. Pada Rabu, 15 Juni, perkara tersebut dilimpahkan ke
Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Makassar. Dalam penanganan
perkara HAM berat ini, Kejaksaan tetap bersikap profesional dan transparan.
Dalam penyelesaian perkara ini tidak ada yang namanya political will. Tim
penyidik menetapkan tersangka (saat ini berstatus terdakwa) berpegangan pada
dua alat bukti dari hasil penyidikan yang meneruskan penyelidikan Komnas HAM. Bagaimana
peluang penyidikan kasus pelanggaran HAM berat lain, seperti kasus 1965 dan
Trisakti? Sepanjang perkara
tersebut didukung fakta dan alat bukti, tidak ada alasan bagi kami untuk
tidak menaikkannya ke tahap penyidikan. Hal tersebut amat bergantung pada
hasil penyelidikan Komnas HAM. Untuk itu, kami mengharapkan dukungan dari
semua pihak dalam penyelesaian perkara-perkara tersebut. Komnas
HAM menilai mandeknya penyidikan kasus HAM berat bukan karena masalah hukum,
tapi political will pemerintah. Kami tegaskan bahwa
penanganan perkara HAM berat dilaksanakan oleh Kejaksaan dengan menjunjung
tinggi profesionalitas dan integritas, bukan berdasarkan political will atau
lobi-lobi politik. Sekali lagi, saya sampaikan, sepanjang perkara tersebut
didukung fakta dan alat bukti, tidak ada alasan bagi kami untuk tidak
menaikkannya ke tahap penyidikan dan hal tersebut amat bergantung pada hasil
penyelidikan Komnas HAM. Pada
Januari lalu, Anda meminta kejaksaan tidak memproses hukum kasus korupsi yang
merugikan keuangan negara di bawah Rp 50 juta. Apa pertimbangannya? Sebelum menjawab
pertanyaan tersebut, ada baiknya sedikit saya luruskan. Dalam rapat kerja
dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat pada 17 Januari lalu, beberapa
anggota Komisi III mengajukan pertanyaan dan pernyataan kepada Jaksa Agung.
Anggota Komisi III, Benny K. Harman, pada pokoknya menyampaikan, “Kasus
korupsi di bawah 1 juta janganlah diproses. Tapi, sampai saat ini, kami dapat
data banyak kasus korupsi di bawah Rp 1 juta masih diproses. Ini yang
kemudian dibilang hukum kita ini tumpul ke atas tajam ke bawah. Alangkah
baiknya bila Jaksa Agung membuat kebijakan supaya kasus korupsi Rp 1 juta ke
bawah tidak diproses. Lebih baik memproses kasus besar daripada kasus kecil.” Anggota Komisi III, Supriansa,
juga menyampaikan, “Tidak sedikit kasus dana desa dengan nilai rendah, yang
anggaplah hanya beda Rp 7 juta, beda Rp 5 juta, tapi karena masuk pengadilan
mesti ada tuntutan dan akhirnya diputus hukumannya sekian tahun penjara.
Kalau dipikir-pikir, kalau nilainya kecil seperti itu, saya mengharapkan
Jaksa Muda Pidana Khusus ada terobosan pengembalian uang daripada orang ini
dipenjara. Lebih banyak biaya makan dia di dalam (penjara) ketimbang apa yang
kita kejar. Toh, bangsa ini memiliki keterbatasan dalam ketersediaan lembaga
pemasyarakatan, yang sudah kekurangan kapasitas. Luar biasa kalau kita paksa
(mereka) masuk (penjara) tapi nilai (kerugiannya) rendah. Apa ada solusi atau
memang kita harus lurus tegak memenjarakan orang meskipun nilainya cukup
kecil?” Bertolak dari dua
pernyataan dan pertanyaan tersebut, dalam rapat kerja pada 27 Januari, kami
menjelaskan bahwa dalam perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara
Rp 1 juta, sesuai data yang kami terima, ada satu penyidikan yang dilakukan
Kepolisian Resor Kota Pontianak dalam perkara pungutan liar yang melibatkan
seorang wasit dengan nilai Rp 2,2 juta. Perkara tersebut masih ditangani
Kejaksaan Negeri Pontianak. Perkara itu tidak berkaitan dengan kerugian
keuangan negara, tapi terkait dengan program sapu bersih pungutan liar (Saber
Pungli). Kejaksaan Agung telah
memberikan wacana kepada jajarannya untuk tindak pidana korupsi yang kerugian
keuangan negaranya di bawah Rp 50 juta untuk diselesaikan dengan pengembalian
kerugian keuangan negara. Ini sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara
cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Jawaban yang kami berikan tersebut
merupakan respons dan wacana yang sifatnya umum untuk menjadi pertimbangan
bersama dan memperoleh solusi yang tepat. Dalam penindakan kasus korupsi, hal
ini menyentuh masyarakat di level akar rumput. Secara umum ini dilakukan
karena ketidaktahuan atau tidak ada kesengajaan dan nilai kerugian keuangan
negaranya pun relatif kecil. Pernyataan kami saat itu adalah wacana untuk
dijadikan renungan bersama. Penegakan hukum kasus korupsi pun harus
mengutamakan nilai keadilan yang substantif, selain kemanfaatan hukum dan
kepastian hukum. Namun wacana tersebut bukan bentuk impunitas terhadap
pelaku. Jadi
ada pertimbangan keekonomian atas suatu kasus? Analisis nilai
ekonomi dalam kasus korupsi juga perlu menjadi perhatian aparat penegak
hukum. Dapat dibayangkan bila korupsi senilai Rp 50 juta harus ditangani oleh
aparat penegak hukum (dari penyidikan sampai eksekusi) dengan biaya
penanganan perkara yang bisa melebihi kerugian negara yang ditimbulkan. Biaya
penanganan perkara ini tentu saja menjadi beban pemerintah. Saya beri contoh
kasus korupsi di Kabupaten Nias, Sumatera Utara. Persidangannya harus
dilaksanakan di Kota Medan dengan menggunakan moda transportasi udara. Dapat
dibayangkan berapa ongkos yang harus dikeluarkan pemerintah. Belum lagi
akomodasi bagi saksi-saksi dan penuntut umum selama menjalani persidangan.
Semua biaya ini tidak sepadan dengan pengembalian keuangan negara jika kerugian
keuangan negara senilai Rp 50 juta. Dengan demikian, analisis cost and
benefit penanganan perkara korupsi juga penting menjadi pertimbangan untuk
mencapai keadilan masyarakat dan kemanfaatan hukum. Anda
juga pernah mengimbau terdakwa tidak memakai atribut keagamaan saat dalam
sidang. Mengapa? Imbauan saya tersebut
sama sekali tidak bermaksud mendiskreditkan atau memberikan citra yang buruk
kepada atribut keagamaan tertentu. Bukan seperti itu. Jangan sampai ketika
terdakwa dihadirkan di persidangan memakai atribut keagamaan padahal di luar
persidangan terdakwa justru tidak pernah memakai atribut-atribut seperti itu.
Kan, tidak benar. Jadi jangan sampai (atribut keagamaan) disalahgunakan,
kecuali jika memang dalam kesehariannya (terdakwa) sudah biasa menggunakannya.
Untuk itu, dalam persidangan di muka pengadilan, terdakwa diminta menggunakan
pakaian sopan dan rompi tahanan sesuai dengan standar di lingkungan
Kejaksaan. Apa
arahan Presiden ihwal penanganan kasus korupsi? Secara umum, Bapak
Presiden Joko Widodo pernah memberikan arahan kepada kami agar membenahi
institusi Kejaksaan. Seketika itu juga saya langsung berfokus dan mulai
mengidentifikasi beberapa permasalahan serta program apa saja yang sedang
berjalan di Kejaksaan. Kemudian saya juga mulai berpikir bagaimana
mengembalikan marwah Kejaksaan. Prioritas utama kami untuk memperbaiki
kinerja Kejaksaan adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia, melakukan
reformasi birokrasi, dan mewujudkan kejaksaan digital. Ini sebagai tindak
lanjut salah satu program prioritas nasional sekaligus kebutuhan utama agar
sumber daya manusia Kejaksaan terus berkembang seiring dengan perkembangan
zaman. Upaya-upayanya meliputi penjeraan bagi pelaku tindak pidana khusus
(korupsi) dan efek penjeraan (deterrent effect) kepada masyarakat;
optimalisasi pemulihan aset sebagai upaya penyelamatan dan pemulihan kerugian
keuangan negara akibat tindak pidana khusus (korupsi); serta peningkatan
penerimaan negara bukan pajak sebagai kemanfaatan praktis pencegahan dan
penindakan tindak pidana khusus (korupsi). ● Sumber :
https://majalah.tempo.co/read/wawancara/166412/jaksa-agung-menjawab-korupsi-minyak-goreng |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar