Profil Ferdy Sambo.
Mengapa Kariernya Cepat Melesat? Agung Sedayu : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Juli
2022
WAJAH Arman Hanis, 49
tahun, tampak sumringah saat mengenang masa lalunya bersama Kepala Divisi
Profesi dan Pengamanan nonaktif, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Keduanya
pertama kali bertemu di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Makassar, Sulawesi
Selatan, sekitar 32 tahun lalu. Meski Arman di jurusan
fisika dan Ferdy di jurusan biologi, mereka sering bermain bersama. “Kami
sama-sama anggota tim basket sekolah,” ujar Arman kepada Tempo pada Jumat, 22
Juli lalu. Mereka juga memiliki
kesamaan cita-cita, yaitu menjadi polisi. Paman Ferdy, Pither Sambo, adalah
perwira tinggi Polri dan pernah menjabat Kepala Kepolisian Daerah Sumatera
Utara. Tapi takdir berkata lain. Setelah lulus SMA, Arman
batal mendaftar ke Akademi Kepolisian karena kendala kesehatan. Ia memilih
melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar,
lalu menjadi pengacara. Adapun Ferdy Sambo lulus
tes. Ia mengikuti pendidikan dan lulus pada 1994 dengan pangkat letnan dua.
Setelah 28 tahun berlalu, Ferdy meraih jabatan tertinggi selama kariernya
dengan menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan pada 2020. Kepala Polri Jenderal
Listyo Sigit Prabowo menonaktifkan Ferdy Sambo pada Senin, 18 Juli lalu.
Listyo beralasan keputusan ini diambil agar pemeriksaan penyidikan kematian
ajudan Ferdy, Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir Yosua, berjalan
mulus. “Untuk menjaga obyektivitas, transparansi, dan akuntabilitas
penyidikan yang berjalan,” ucapnya. Arman Hanis mengenang
Ferdy Sambo sebagai siswa yang tidak pernah bolos sekolah. Setiap jam belajar
usai, Ferdy memilih ikut berbagai kursus pelajaran tambahan daripada
nongkrong bersama teman-temannya. Ketekunan itu membuat
bocah kelahiran Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, 9 Februari 1973, tersebut
selalu masuk tiga besar siswa dengan nilai tertinggi di sekolah. “Di angkatan
kami, dia siswa yang paling menonjol,” ujar Arman. Ferdy selalu menjabat
ketua kelas sejak sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas. Saat duduk di bangku SMPN
6 Makassar, Ferdy berpacaran dengan Putri Candrawathi, kini menjadi istrinya,
yang juga belajar di sekolah yang sama. “Saya, Putri, dan Ferdy satu
angkatan,” tutur Farhadi, teman SMP Ferdy dan Putri yang tak mau disebutkan
nama sebenarnya. Putri, 48 tahun, adalah
anak perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang pensiun dengan
pangkat brigadir jenderal. Sedangkan Ferdy berasal dari keluarga sipil. Ayah
Ferdy, William Sambo, pegawai negeri di Dinas Peternakan Kota Makassar. Putri dan Ferdy terpisah
saat mereka bersekolah di SMA yang berbeda. Ketika Ferdy masuk Akademi
Kepolisian, Putri melanjutkan belajar di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Trisakti, Jakarta. Mereka bertemu kembali saat Ferdy lulus Akademi Kepolisian
dan bertugas di Jakarta. Ferdy mengawali karier di
Tim Khusus Anti Bandit Kepolisian Resor Jakarta Timur. Pada 1997, dia menjadi
Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Cakung, Jakarta Timur. Dua tahun kemudian Ferdy
yang masih berpangkat inspektur satu melamar Putri. Pernikahan mereka digelar
di gedung Balai Kartini, Jakarta Selatan. Pada Kamis, 7 Juli lalu, atau sehari
sebelum penembakan Brigadir Yosua, Ferdy dan Putri merayakan hari jadi
pernikahan ke-22 tahun. Ferdy Sambo dan istrinya,
Putri Chandrawati/Istimewa Meski lulus sebagai
sarjana kedokteran gigi, Putri tidak pernah menjadi dokter dan membuka tempat
praktik. “Setelah menikah ya jadi ibu rumah tangga saja,” ucap Arman Hanis.
Dari pernikahan itu, Ferdy dan Putri memiliki empat anak. Karier Ferdy sebagai
seorang reserse terus melesat. Pada 2010, ia menjabat Kepala Satuan Reserse
Kriminal Polres Jakarta Barat. Dua tahun kemudian, dia naik jabatan menjadi
Kepala Polres Purbalingga, Jawa Tengah, selama satu tahun. Setelah itu, dia
menjabat Kepala Polres Brebes, Jawa Tengah. Ferdy Sambo ditarik ke
Jakarta dan menjabat Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah
Metropolitan Jakarta Raya pada 2015. “Dia terkenal cerdas di angkatannya
karena itu banyak ditempatkan di Jakarta,” ujar Kepala Divisi Hubungan
Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo pada Jumat, 22 Juli lalu. Ferdy terlibat dalam penanganan
sejumlah kasus besar, antara lain kasus bom bunuh diri di kawasan perempatan
Jalan M.H. Thamrin-Wahid Hasyim, Jakarta, pada 14 Januari 2016. Dia juga ikut
mengungkap kasus kematian Wayan Mirna Salihin akibat minum kopi mengandung
racun sianida. Satu tahun di Polda Metro,
Ferdy ditarik ke Trunojoyo—sebutan untuk Markas Besar Polri—buat mengisi
jabatan Kepala Subdirektorat IV Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse
Kriminal dengan pangkat komisaris besar. Kemudian, pada 8 November 2019,
Kepala Polri Jenderal Idham Azis mengangkat Ferdy sebagai Direktur Tindak
Pidana Umum Bareskrim Polri. Pangkatnya naik menjadi brigadir jenderal. Hanya dalam satu tahun
Ferdy kembali naik pangkat menjadi inspektur jenderal. Pada November 2020,
Idham Azis mengangkat Ferdy sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan
Polri menggantikan Inspektur Jenderal Ignatius Sigit Widiatmono yang
meninggal karena sakit. Kala itu Ferdy menjadi
jenderal polisi bintang dua paling muda dan pejabat utama Mabes Polri.
Jenderal Listyo Sigit Prabowo tetap mempertahankan jabatan Ferdy ketika
terpilih menjadi Kepala Polri pada Januari 2021. Karier Ferdy juga tak
lepas dari kedekatannya dengan petinggi Polri. Menurut orang dekatnya yang
enggan menyebutkan namanya, Ferdy kerap sowan ke para mantan Kepala Polri.
Kariernya mulai menanjak sejak ia dekat dengan mantan Kapolri, Jenderal Tito
Karnavian. Kedekatannya dengan para petinggi Polri makin terlihat ketika
Mabes Polri membentuk Satgas Merah Putih, yang berisi perwira-perwira reserse
pilihan. Setidaknya ada dua kasus
besar yang ditangani Ferdy Sambo sepanjang 2020. Dia memimpin penyelidikan
kasus kebakaran gedung Kejaksaan Agung. Dia juga berperan dalam menyelesaikan
perkara penerbitan surat jalan palsu Djoko Tjandra. Salah satu tersangka
dalam kasus surat jalan palsu tersebut adalah Kepala Divisi Hubungan
Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte. Menurut Irjen Dedi
Prasetyo, Ferdy Sambo kerap menggelar riset. “Banyak riset yang ia lakukan,
seperti riset mengenai apa perilaku polisi yang tidak disukai masyarakat,”
kata Dedi. Selama menjadi Kepala
Divisi Propam Polri, Ferdy membuat aplikasi Propam Presisi. Aplikasi ini
menjadi salah satu saluran pengaduan masyarakat terkait dengan kinerja aparat
kepolisian. Ferdy tak kunjung merespons permintaan wawancara Tempo hingga
Sabtu, 23 Juli lalu. Baru-baru ini Ferdy menuai
kritik karena mempertahankan Ajun Komisaris Besar Raden Brotoseno, mantan
terpidana kasus korupsi proyek cetak sawah di Ketapang, Kalimantan Barat,
sebagai polisi aktif. Pada Mei lalu, Ferdy Sambo mengatakan kepolisian tidak
memecat Brotoseno karena ia berkelakuan baik. Pernyataan itu mendapat protes
publik, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat. Belakangan, Komisi Kode Etik Polri
merevisi putusan kasus Brotoseno, lalu memecatnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar