Minggu, 24 Juli 2022

 

Benarkah Harga Listrik EBT Mahal? Wawancara Dirjen EBTKE

Dody Hidayat :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 23 Juli 2022

 

 

                                                           

PEMERINTAH terus mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menargetkan porsi EBT mencapai 23 persen dalam bauran energi primer 2025. Selain menjalankan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, pemerintah mendorong sejumlah strategi.

 

Menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana, salah satu caranya adalah menerapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS Atap). “PLTS atap karena itu tidak masuk RUPTL,” kata Dadan. Wawancara Dirjen EBTKE dilakukan pada Selasa, 19 Juli lalu.

 

Benarkah pembangunan pembangkit listrik EBT mahal?

 

Siapa bilang listrik EBT mahal. Sekarang kita lihat saja harga batu bara US$ 200-an per ton. Kalau diubah menjadi listrik per kilowatt-jam (kWh) berapa? Kira-kira hitungannya itu 1 kilogram batu bara menjadi 1 kWh. Kalau harga batu bara US$ 200 per ton, harga listriknya US$ 20 sen.

 

Artinya bisa bersaing dengan pembangkit fosil?

 

Tinggal dilihat saja angkanya. Iya, harga batu bara nanti bisa turun. Tapi untuk EBT kami pastikan tidak akan naik. Malah dari sisi kebijakan harga yang sekarang masih disusun, harganya tinggi di awal, setelah itu turun. Kenapa tinggi di awal? Supaya investasinya menarik.

 

Kalau harga batu bara normal kembali, apakah EBT masih bisa kompetitif?

 

Mungkin pertanyaan spesifiknya, di tingkat harga berapa akan kompetitif? Sekarang kita bandingkan saja dengan yang sudah terkontrak, misalnya biaya listrik PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) terapung di Cirata US$ 5,6 sen per kWh. Itu saat harga batu bara US$ 70-an.

 

Sekarang harga listrik EBT lebih kompetitif. Semestinya lebih banyak pembangkit EBT?

 

Saat ini buat Indonesia adalah waktu yang tepat untuk EBT karena nilai keekonomiannya lagi bagus-bagusnya. Tentu ada penghalang, seperti kelebihan pasokan dan pasokan yang dilindungi oleh take or pay itu.

 

Mengapa regulasi-regulasi EBT, seperti tentang PLTS atap, tidak bisa dieksekusi?

 

Perusahaan Listrik Negara (PLN) secara terbuka menyampaikan 15 persen kapasitas yang bisa dipakai untuk PLTS atap. Meski secara legal itu sesuai dengan peraturan Menteri ESDM, secara teknis tidak benar karena keekonomiannya tidak menarik. Kami bersama PLN menyusun pedoman teknis. Jadi kapan sebetulnya bisa 100 persen, kapan bisa 50 persen, atau kapan harus lebih rendah dari itu.

 

PLN mengatakan PLTS atap akan mengganggu sistem?

 

Iya. Saya juga sepakat kalau itu ditaruh di satu tempat di dalam satu trafo, skala besar. Kami sudah memasang alat untuk mengukur iradiasi surya, khususnya di Jawa, sekarang sudah pasang 50 alat. Kami sedang mengumpulkan bukti-bukti bahwa PLTS atap tak akan menurunkan kualitas listrik PLN.

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam G20 menyebutkan kebutuhan transisi energi Rp 3.500 triliun. Apa anggaran paling besar di Kementerian ESDM?

 

Mungkin banyak versi angka. Kami juga punya, basisnya tergantung pembangkit apa yang akan didorong. Pada 2060, kalau menurut proyeksi kami, pembangkit listrik EBT di Indonesia mencapai 580 gigawatt. Road map itu disusun dengan teknologi yang ada sekarang. Kita tahu potensi terbesar adalah energi surya. Nanti akan ada pembangkit surya yang sangat besar. Pembangkit hidro masih banyak yang bisa dioptimalkan. Kemudian pembangkit bayu, sekarang bisa kita lihat banyak wilayah yang punya potensi angin yang sangat bagus untuk ukuran kita.

 

Apakah proyeksi 2060 itu mencakup pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN)?

 

Dalam simulasi kami masukkan nuklir pada 2040-2050.

 

Regulasi tentang PLTN sudah matang?

 

Dalam rancangan undang-undang EBT kan sudah masuk. Dalam Undang-Undang Ketenaganukliran juga sudah ada. Mengapa tahun 2040? Untuk mengimbangi intermitensi pembangkit surya dan bayu, perlu ada baseload. Nanti baseload itu secara bergantian akan datang dari surya di siang dan harus ada pengganti. Salah satunya nuklir, bisa juga baterai atau hidrogen.

 

Untuk mendorong lebih banyak pembangkit listrik EBT, apa lagi yang akan dilakukan selain menggenjot permintaan?

 

Kalau basisnya on-grid, kita bisa merujuk ke RUPTL. Tapi kami juga mendorong yang lain, PLTS atap karena itu tidak masuk RUPTL. Yang kedua co-firing—campuran batu bara dengan biomassa—akan kami dorong karena basisnya tidak menambah kapasitas dan bisa dipakai untuk keperluan sendiri, seperti oleh pabrik kelapa sawit, pulp and paper, pabrik semen. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/166490/benarkah-harga-listrik-ebt-mahal-wawancara-dirjen-ebtke

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar