Mereka yang Sembuh
Karena Manfaat Ganja Agung Sedayu : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 16
Juli
2022
BAGI Clarissa, bukan nama
sebenarnya, ganja telah lama menjadi penyelamat. Sejak enam tahun lalu
perempuan 30 tahun ini merasakan manfaat ganja setelah secara diam-diam rutin
meminum minyak dari ekstrak biji ganja. “Untuk mengobati sakit radang sendi
kronis,” katanya saat ditemui Tempo di sebuah restoran di Jakarta Selatan,
Rabu, 13 Juli lalu. Radang menjangkiti
sendi-sendi Clarissa saat dia duduk di bangku sekolah menengah atas. Makin
lama penyakit itu makin parah. Dia sering jatuh karena sendi kakinya
tiba-tiba kehilangan tenaga. “Kalau sakitnya kambuh, semua jari saya tak bisa
ditekuk. Sangat sakit,” ujar Clarissa, kini karyawan swasta di sebuah kantor
di Jalan Sudirman, Jakarta. Dokter sempat menyarankan
dia mengkonsumsi steroid. Masalahnya, steroid hanya mengobati peradangan
sementara dan memiliki dampak buruk ke tubuh jika dikonsumsi dalam jangka
panjang. Fungsi hati, ginjal, dan reproduksi bisa terganggu, pertumbuhan
tulang pun terhambat. Clarissa mencoba mencari
berbagai obat alternatif. Hingga suatu kali ia menemukan artikel yang berisi
manfaat minyak ganja untuk mengobati radang sendi. Tapi di Indonesia belum
ada yang menjual minyak ekstrak ganja tersebut. Clarissa lantas membeli
minyak itu melalui kenalannya di Amerika Serikat dengan harga US$ 30 per
botol. Setelah Clarissa
mengkonsumsi minyak ganja, radang sendinya lenyap sementara. Dia pun bisa
bekerja secara normal. Namun, saat stok minyak ganja habis dan nyeri sendinya
kumat, Clarissa mau tak mau terpaksa mengisap ganja yang didapat dari
temannya. Efeknya kurang-lebih sama dengan minyak ganja. “Gunakan secukupnya.
Saya tak pernah ketagihan,” ucapnya. Koordinator Kelompok Ahli
Badan Narkotika Nasional (BNN) Ahwil Loetan mengakui ada banyak orang
mengkonsumsi ganja secara diam-diam untuk pengobatan. “Sepanjang tidak
ketahuan, tidak apa-apa. Begitu ketahuan, Anda berurusan dengan hukum,” ujar
Ahwil dalam wawancara khusus dengan Tempo, Selasa, 12 Juli lalu. Undang-Undang Narkotika
memasukkan ganja sebagai narkotik golongan I yang terlarang. Mereka yang
berpenyakit berat harus berakrobat untuk mendapatkan ganja sambil menghindari
risiko ditangkap penegak hukum. Namun sebagian di antaranya bernasib apes.
(Baca: Ganja dalam Angka) Reyndhart Rossy Siahaan,
40 tahun, warga Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, salah satunya. Pada
2015, Rossy mengalami sakit saraf terjepit hingga ia tidak bisa bekerja. Ia
mencoba berobat ke berbagai rumah sakit, tapi tak kunjung pulih. Hingga
akhirnya ia membeli ganja dari seorang pengedar di kotanya. Rossy mengkonsumsi air
rebusan ganja pada Oktober 2019. “Sejak minum air rebusan ganja itu, dia
mulai sembuh dari sakitnya,” tutur Harie Nugraha Cristen Lay, kuasa hukum
Rossy. pada Selasa, 12 Juli lalu. Sebulan setelah membeli ganja, Rossy
ditangkap polisi. Penegak hukum menemukan 428 gram daun ganja kering di
kontrakannya di Wae Kelambu, Manggarai Barat. Pengadilan Negeri Kupang
menjatuhkan hukuman 10 bulan penjara, dua bulan lebih ringan dari tuntutan
jaksa. Dalam amar putusan pengadilan, majelis hakim menyatakan memberi
keringanan hukuman karena Rossy mengkonsumsi ganja untuk keperluan pengobatan. Nasib serupa dialami
Ardian Aldiano, 33 tahun, warga Perumahan Wisma Lidah Kulon, Surabaya. Ardian
ditangkap polisi karena menanam ganja untuk pengobatan epilepsi. Ardian
mengidap epilepsi sejak duduk di sekolah menengah pertama. Penyakit itu kerap
kambuh saat dia sedang tidur. Kondisi itu terus
berlanjut hingga Ardian menikah. “Pada malam hari pernikahan, penyakitnya
kambuh, istrinya panik,” ujar Singgih Tomi Gumilang, 36 tahun, salah satu
pengacara Ardian. Menurut Tomi, Ardian sudah berobat ke banyak rumah sakit
dan mencoba berbagai pengobatan tradisional, tapi tak kunjung sembuh. Pada 2017, dia mendapat
informasi bahwa ganja bisa digunakan untuk mengobati penyakit kejang. Ardian
lantas membeli ganja dari seorang bandar di Malang, Jawa Timur. “Sejak itu
serangan epilepsi jarang kambuh dan dia bisa meninggalkan obat biasa,” ucap
Tomi. Ardian berinisiatif
menanam ganja secara hidroponik di halaman belakang rumahnya. Pada 27
Februari 2020, polisi menggerebek rumahnya dan menemukan 27 pohon ganja. Pengadilan
Negeri Surabaya menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Tomi menilai hukuman itu terlalu berat karena Ardian tidak menggunakan ganja
untuk teler. Kisah tragis juga pernah
dialami Fidelis Arie Sudewarto, warga Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat,
pada 2017. Fidelis menggunakan ganja untuk mengobati istrinya, Yeni Irawati,
yang mengidap syringomyelia atau tumbuhnya kista berisi cairan dalam sumsum
tulang belakang. Kondisi Yeni membaik
setelah dia mengkonsumsi ganja. Namun Badan Narkotika Nasional menangkap
Fidelis pada Februari 2017. Sekitar satu bulan kemudian, saat Fidelis menjadi
tahanan, kondisi kesehatan Yeni memburuk dan akhirnya meninggal. Adapun
Fidelis divonis 8 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar. Jeratan hukum ini membuat
banyak orang tak berani menggunakan ganja untuk keperluan medis. Singgih Tomi
Gumilang salah satunya. Ia menahan diri untuk memberikan ganja kepada adik
perempuannya, Mita, 31 tahun, yang menderita cerebral palsy atau kelumpuhan
otak sejak usia 6 bulan. Hingga kini Mita hanya bisa berbaring dan tak bisa
bicara. “Saya berharap pemerintah
segera menjalankan legalisasi ganja medis,” ujarnya. Dari literatur yang Tomi
baca, ganja bisa menjadi alternatif pengobatan bagi penyandang cerebral
palsy. Selain itu, ia mendapat cerita dari temannya, Dwi Pertiwi, yang pernah
menjalankan terapi ganja medis untuk putranya yang juga menderita kelumpuhan
otak. Putra Dwi, Musa Ibnu
Hassan Pedersen, terkena pneumonia atau infeksi yang membuat peradangan pada
kantong udara paru-paru saat berusia 40 hari. Akibat salah diagnosis dan
pengobatan, penyakit Musa berkembang menjadi meningitis yang menyerang otak. Dwi lantas membawa Musa ke
Australia untuk menjalani terapi ganja medis selama satu bulan pada 2016.
Terapi itu membuat kondisi Musa yang berusia 16 tahun membaik. Lendir di
paru-parunya berkurang dan dia tidak lagi kejang. Namun, setelah kembali ke
Indonesia, kondisi Musa memburuk. Tanpa terapi ganja medis, produksi lendir
di paru-parunya meningkat. Musa berpulang pada 26 Desember 2020 setelah
berjuang melawan sesak napas. Tragedi itu menjadi salah
satu pemicu munculnya gugatan terhadap sejumlah pasal di Undang-Undang
Narkotika yang melarang ganja digunakan untuk kepentingan kesehatan. Gugatan
ke Mahkamah Konstitusi tersebut diajukan oleh Dwi bersama Santi Warastuti dan
Nafiah Murhayanti, dua ibu yang anaknya juga menderita cerebral palsy. Sejumlah lembaga seperti
Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat ikut serta menggugat. “Ada kerancuan di
Undang-Undang Narkotika,” tutur peneliti ICJR, Iftitahsari. Pasal 4 Undang-Undang
Narkotika menyatakan bahwa aturan itu bertujuan menjamin ketersediaan
narkotik untuk pelayanan kesehatan. Namun pasal 8 justru melarang penggunaan
narkotik golongan I, seperti ganja, untuk pelayanan kesehatan. Maret lalu,
proses persidangan di Mahkamah Konstitusi rampung. Tapi putusan tak kunjung
terbit. Pada Ahad, 26 Juni lalu,
Santi Warastuti bersama suaminya, Sunarta, berjalan kaki dari kawasan
Bundaran Hotel Indonesia sambil mendorong stroller yang dinaiki putri mereka,
Pika Sasikirana. Mereka juga membawa kanvas putih bertulisan “Tolong, anakku
butuh ganja medis”. Aksi itu mengundang simpati publik. Empat hari kemudian,
Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat mengundang Santi dalam rapat dengar
pendapat soal legalisasi ganja medis. Sejumlah anggota Komisi Hukum
menyatakan dukungan untuk mengubah pasal larangan ganja medis. Wakil Ketua Komisi Hukum
Desmond J. Mahesa mengatakan DPR akan mengkaji kemungkinan mengeluarkan ganja
dari daftar narkotik golongan I melalui revisi Undang-Undang Narkotika. “Agar
bisa diakses oleh masyarakat yang membutuhkan pengobatan,” kata politikus
Partai Gerindra tersebut. Badan Narkotika Nasional
berkukuh menolak legalisasi ganja medis. Koordinator Kelompok Ahli BNN Ahwil
Loetan mengatakan lembaganya hanya mendukung riset ganja medis. Ahwil
beralasan tanaman ganja yang tumbuh di Indonesia tak cocok untuk obat karena
banyak mengandung zat tetrahydrocannabinol (THC), yang berdampak negatif pada
tubuh. “Sedangkan kandungan zat
cannabidiol yang berfungsi sebagai obat justru rendah,” ujar Ahwil saat
ditemui Tempo di kantornya, Selasa, 12 Juli lalu. (Baca: Main Tilap Penyidik
Narkotik) Pernyataan Ahwil dibantah
oleh peneliti Yayasan Sativa Nusantara, Inang Winarso, yang menilai kandungan
ganja di Indonesia tak berbeda jauh dari negara lain. Menurut dia, tingkat
kandungan cannabidiol tidak ditentukan oleh tempat tumbuhnya, melainkan usia
tanaman. “Makin tua akan makin tinggi kadar cannabidiol dan kadar
tetrahydrocannabinol makin rendah.” Ketua Perkumpulan Dokter
Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia Inggrid Tania mengatakan THC
tinggi tak bisa dijadikan dasar untuk buru-buru menolak legalisasi ganja medis
sebelum ada riset. Kadar THC pun bisa diturunkan melalui berbagai macam
proses. “Ada banyak teknologi bisa digunakan untuk membuang zat berbahaya
dalam ganja,” kata Inggrid. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/166433/mereka-yang-sembuh-karena-manfaat-ganja |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar