Minggu, 17 Juli 2022

 

Apa Itu Gaya Selingkung

Eko Endarmoko :  Penyusun Tesamoko, Tesaurus Bahasa Indonesia

MAJALAH TEMPO, 16 Juli 2022

 

 

                                                           

JANGAN terlalu terkejut atau patah arang bila Anda tidak menemukan penjelasan “gaya selingkung” di lema “gaya” dalam kamus bahasa Indonesia kita (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Coba carilah ke lema “selingkung”. Kata majemuk itu menjadi contoh, bukan berupa definisi, dalam arti kedua “selingkung”, yaitu nomina yang diterangkan begini: “terbatas pada satu lingkungan”. Jadi “gaya selingkung” kurang-lebih berarti gaya yang dipakai terbatas pada satu lingkungan tertentu.

 

Pengertian gaya itu tentu saja tak selalu mesti bertaut dengan penggunaan bahasa. Saya punya ilustrasi sederhana. Sekalipun logo namanya ditutup rapat, media seperti koran Kompas atau majalah Tempo saya rasa masih dapat dikenali khalayak pembacanya, misalnya. Perwajahan, tata letak, serta jenis, ukuran, dan warna huruf yang dipakai kedua media itu unik dan khas, bahkan kemudian menjadi semacam kepribadian atau warna mereka masing-masing. Warna, mungkin ini dapat kita analogikan dengan suara seseorang yang kita dapat kenali tanpa melihat orang itu.

 

Dengan lain perkataan, penyajian atau penampilan yang unik dan khas, yang punya kepribadian atau warna sendiri, telah menegaskan—terkadang terasa nadanya agak berlebihan—sebuah identitas.

 

Pengertian gaya itu amat mudah dihubungkan dengan bahasa. Sebab, kata “gaya” di situ paling mungkin disandingkan dengan “bahasa”, diartikan sebagai “gaya bahasa”, bukan “gaya berat” atau “gaya sentrifugal” atau “gaya tarik bumi”, umpamanya. Tapi ini adalah gaya selingkung dalam arti sempit atau terbatas. Pengertian terbatas inilah yang dimaksud dalam bagian pembicaraan seterusnya.

 

Gaya selingkung dikenal di dunia penerbitan, terutama buku dan jurnal, serta surat kabar dan majalah. Gaya ini biasanya bertolak dari asumsi: “Bahasa kami bisa jadi agak berbeda dari bahasa Anda, tapi kami berusaha menuruti kaidah bahasa yang berlaku”. Strategi yang paling mudah ditempuh adalah memakai kata atau istilah “sendiri” secara ajek.

 

Pemakaian kata atau istilah sendiri tampaknya menjadi unsur paling menonjol dalam gaya selingkung. Seolah-olah gaya selingkung hanya berurusan dengan diksi. Barangkali karena komponen ini lebih sempit, dan sebab itu lebih mudah dikenali, daripada unsur tata bahasa yang lebih kompleks.

 

Bersama majalah dan koran Tempo, koran Kompas cenderung menggunakan bentuk “subyek” dan “obyek”—bukan “subjek” dan “objek” sebagaimana disarankan oleh KBBI. Tapi pernah kata “obyek” dalam satu tulisan saya berubah jadi “objek” [lihat “Mengomunikasikan atau Menyampaikan”, Kompas, 6 Desember 2014. Setelah dimuat ke dalam buku Remah-Remah Bahasa, Perbincangan dari Luar Pagar (2017), ejaan kata itu saya kembalikan menjadi “obyek”].

 

Namun Kompas cenderung menulis Perancis (dengan swarabakti), tapi mengeja Inggris. Ini berbeda dari Tempo yang cenderung tanpa swarabakti, sesuai dengan saran KBBI: Prancis, Inggris.

 

Demikianlah. Tampaknya gaya selingkung tidak serta-merta menunjukkan kehendak menyelaraskan bahasa dengan ketentuan bahasa Indonesia yang berlaku. Yang agak mencolok buat saya adalah keajekan Kompas menulis “Muslim”, bukan “muslim”. Dalam tulisan saya “Bahasamu Kastamu” (Kompas, 7 November 2015), kata yang menurut ketentuan berawal huruf kecil itu diubah menjadi huruf kapital. Seperti nasib kata “obyek” tadi, setelah dimuat ke dalam buku Remah-Remah Bahasa, ejaan “Muslim” itu saya kembalikan menjadi “muslim”. Ini lebih masuk akal, sebab “muslim” berarti “penganut agama Islam”. Yang perlu huruf kapital di situ adalah Islam, bukan muslim.

 

Kita kemudian jadi bertanya-tanya, seberapa penting sebenarnya bentuk bahasa baku bagi kita? Sejak kapan dan bagaimana gerangan gaya selingkung menjelma jadi tempat berlindung? ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/bahasa/166417/apa-itu-gaya-selingkung

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar