Bagaimana Keluarga
Mengungkap Kejanggalan Kematian Brigadir Yosua Riky Ferdianto : Jurnalis Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 23
Juli
2022
KELUARGA Nofriansyah Yosua
Hutabarat atau Brigadir Yosua, 27 tahun, akhirnya menerima kabar baik pada
Jumat, 22 Juli lalu. Kepolisian Daerah Jambi mengabarkan akan menggali
kuburan dan mengautopsi ulang jenazah Brigadir Yosua. Keluarga berharap
autopsi ulang akan membuka tabir kematian Yosua. Untuk memperjuangkan
keinginan ini, Samuel Hutabarat, ayah Yosua, berangkat dari Jambi ke Jakarta
pada pertengahan Juli lalu. Pengacara keluarga
Brigadir Yosua, Kamaruddin Simanjuntak, mengatakan rencana autopsi jasad
Yosua disetujui dengan syarat. Untuk menjamin independensi hasil pemeriksaan,
kata dia, pihak keluarga meminta keterlibatan pakar forensik dari sejumlah
rumah sakit. Para pakar itu di
antaranya dokter forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit
Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta. “Kami sepakat itu dilakukan
pekan depan,” ujar Kamaruddin pada Jumat, 22 Juli lalu. Jenazah Brigadir Yosua
ditemukan di rumah dinas Kepala Profesi dan Pengamanan Inspektur Jenderal
Ferdy Sambo di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada Jumat, 8 Juli lalu.
Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menetapkan Bhayangkara Dua
Richard Eliezer Pudihang Lumiu sebagai tersangka penembak Yosua. Sebelumnya, Rumah Sakit
Bhayangkara Raden Said Sukanto atas permintaan penyidik Kepolisian Resor
Metropolitan Jakarta Selatan mengautopsi jenazah Yosua. Laporan autopsi
menyebutkan terdapat tujuh luka tembak masuk dan enam luka tembak keluar di
bagian kepala, dada, dan tangan korban. Proyektil peluru juga merobek otot
sela iga ke-2 dan ke-8 serta menyebabkan retakan tulang tengkorak. Kepala Divisi Hubungan
Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo membenarkan kabar mengenai
autopsi ulang tubuh Yosua. Menurut dia, pihaknya memberi kebebasan kepada
keluarga untuk melibatkan dokter forensik di luar institusi Polri guna
menjamin kredibilitas pemeriksaan. Ia belum mengetahui
mekanisme dan lokasi autopsi tersebut. “Belum ada kepastian soal tempat.
Nanti diputuskan menyesuaikan kebutuhan di lapangan,” kata Dedi. Sejak menerima jenazah
Yosua di Jambi pada Sabtu, 9 Juli lalu, keluarga sangsi luka-luka di tubuh
Yosua hanya karena ditembus peluru. Menurut Kamaruddin Simanjuntak, jejak
luka di bawah kelopak mata kanan dan belakang telinga kanan mengindikasikan
petunjuk luka bekas sayatan. Terlihat pula bekas
jahitan di bagian hidung dan bibir korban. Pengamatan ini diperoleh setelah
keluarga bersitegang dengan polisi yang mengantar jenazah Yosua. “Pihak
keluarga semula dilarang membuka peti dan diperlakukan secara semena-mena,”
ucap Kamaruddin. Bibi Yosua, Rohani Simanjuntak,
mengatakan keluarga sempat mempertanyakan penyebab luka pada jari kelingking
dan jari manis kiri korban. Kondisinya masih mengalirkan darah segar. Luka
itu sebelumnya tak teridentifikasi lantaran jenazah Yosua mengenakan sarung
tangan saat di peti mati. “Dua jarinya patah,” ujar Rohani. Kepala Dinas Penerangan
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Brigadir Jenderal Tatang Subarna
belum mengetahui rencana untuk melibatkan tim forensik RSPAD Gatot Soebroto
untuk mengautopsi ulang jenazah Yosua. “Saya konfirmasi dulu,” katanya.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut Laksamana Pertama Julius Widjojono
berkomentar yang sama. “Sampai saat ini belum ada arahan dari Panglima TNI,”
ucapnya pada Sabtu, 23 Juli lalu. Selain kondisi jenazah,
keluarga Yosua turut mengeluhkan personel Divisi Propam yang mengantar
jenazah Yosua ke Jambi. Di antaranya, Kepala Biro Provos Brigadir Jenderal
Benny Ali dan Kepala Biro Pengamanan Internal Brigadir Jenderal Hendra
Kurniawan. “Karo Provos memaksa adik korban menyetujui permohonan autopsi.
Padahal ini bukan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) dia,” tutur Kamaruddin. Keluarga juga merasa
diintimidasi saat Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan bersama personel polisi
lain mendatangi rumah Samuel Hutabarat, ayah Yosua, di Sungai Bahar,
MuaroJambi. Telepon seluler semua anggota keluarga yang berada di rumah ikut
disita. Kamaruddin mengatakan
Hendra pula yang menolak permintaan keluarga agar Yosua dikuburkan dengan
upacara dinas kepolisian. “Perlakuan itu melukai perasaan keluarga korban
yang tengah dirundung duka,” ujar Kamaruddin. Kegaduhan itu membuat
Markas Besar Polri turun tangan. Sejumlah perwira polisi diperintahkan
membangun komunikasi yang baik dengan keluarga Yosua. Salah satunya Kepala
Kepolisian Daerah Jambi Inspektur Jenderal Albertus Rachmad Wibowo. Menurut
Kamaruddin, Kapolda menyampaikan permintaan maaf atas tindakan sejumlah
personel yang dianggap tidak pantas. Ia juga menjanjikan bantuan kepada pihak
keluarga guna meringankan beban yang tengah mereka hadapi. Tak lama seusai pertemuan
itu, kata Kamaruddin, bantuan untuk keluarga Yosua mengalir deras. Tercatat
sedikitnya 26 kardus minuman kaleng beraneka rasa dikirim ke rumah Samuel.
Ada pula ponsel Samsung Galaxy A03. Sejumlah anggota keluarga
mengaku ditawari beasiswa pendidikan. Sementara itu, bagi yang sedang mencari
pekerjaan ditawari peluang kerja di tempat yang menjanjikan. “Yang kami
harapkan sebenarnya adalah keseriusan dan perlakuan adil polisi dalam
mengungkap kasus itu,” ucap Kamaruddin. Brigadir Jenderal Hendra
Kurniawan tak merespons permintaan wawancara Tempo. Pemeriksa Utama Divisi
Propam Komisaris Besar Leonardo Simatupang membantah kabar intimidasi kepada
keluarga Yosua. Dia mengklaim datang ke Jambi dan menyerahkan jenazah Yosua
kepada keluarga, bukan Hendra. “Tidak ada itu. Kedatangan kami untuk
menjelaskan duduk persoalan sekaligus mengantarkan mutasi adik kandung
Brigadir Y,” ujarnya. Kepala Bidang Hubungan
Masyarakat Polda Jambi Komisaris Besar Mulia Prianto tak merespons pertanyaan
Tempo soal ini hingga Sabtu, 23 Juli lalu. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat
Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo membenarkan adanya pertemuan Kapolda
dengan keluarga korban. Namun ia tak mengetahui secara pasti bantuan Polri
kepada mereka. “Tak lama setelah pemakaman, Kapolda memang pernah datang ke
rumah untuk menyatakan belasungkawa,” katanya. Belakangan, Kepala Polri
Jenderal Listyo Sigit Prabowo menonaktifkan Brigadir Jenderal Hendra
Kurniawan sebagai Kepala Biro Pengamanan Internal dan Komisaris Besar Budhi
Herdi Susianto sebagai Kepala Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Selatan.
Seorang petinggi di Mabes Polri mengatakan perilaku Hendra di Jambi yang
membuat dia kehilangan jabatan. “Kesalahan dia adalah membuat gerakan yang
tidak perlu,” ujarnya. Inspektur Jenderal Dedi
mengatakan keputusan menonaktifkan Hendra untuk memudahkan proses penyidikan
kematian Brigadir Yosua. Ia memastikan penyelesaian kasus ini berlangsung
cepat karena dianggap sebagai kasus prioritas oleh pimpinan Polri. “Kapolri
mengawal langsung kasus ini dan menjamin tidak akan ada yang bermain-main,”
ucapnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar