Upaya
Melawan Wabah yang Menguji Akal Sehat Harpiana Rahman ; Dosen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
FKM UMI, Pegiat literasi kesehatan |
DETIKNEWS, 4 Agustus 2021
Video Presiden Jokowi melakukan sidak ke
apotek mencari obat Oseltamivir dan obat Favipiravir sebetulnya tidak
menyentuh akar masalah dari pandemi yang berkepanjangan ini. Aksi Presiden
yang lalu menghubungi Menteri Kesehatan dan mengkonfirmasi ketidakberadaan
kedua obat yang dicari juga tidak menjawab persoalan. Perilaku ini sungguh
setali tiga uang dengan promosi Ivermectin. Oseltamivir dan Favipiravir adalah obat keras
yang hanya bisa diresepkan oleh dokter. Dalam rekomendasi tata laksana
COVID-19, kedua obat ini bahkan tidak disarankan kecuali dalam kondisi
tertentu dan harus izin dokter. Serupa dengan ivermectin, yang hingga saat
ini masih kian popular diwacanakan oleh pejabat publik sebagai obat ampuh
COVID-19, mengabaikan rekomendasi WHO, dokter menyatakan bahwa Ivermectin
adalah obat keras yang tidak bisa dijadikan sebagai terapi COVID-19 --eh,
malah mau dilanjutkan lagi risetnya! Penjualan secara bebas obat keras, apalagi
dikonsumsi tanpa anjuran dokter malah akan menghambat pengobatan itu sendiri
dan turut memperberat kondisi pandemi. Pandemi COVID-19 menguji akal sehat
kita semua. Komunikasi Risiko Penggunaan obat tergolong keras yang selalu
dinarasikan oleh pejabat turut menjadi biang masalah dalam penangangan
pandemi di Indonesia. Komunikasi risiko di tengah wabah yang tidak tertata
bukanlah masalah sepele dalam kesehatan masyarakat. Komunikasi risiko dalam
pengendalian wabah diharapkan mampu meningkatkan literasi kesehatan
masyarakat. Literasi kesehatan yang dimaksud di sini tentu
bukan hanya akses soal informasi kesehatan, tetapi juga meningkatkan
kemampuan masyarakat dalam menyaring informasi kesehatan. Sehingga sangat
diharapkan tiga elemen dalam penegakan komunikasi risiko saat wabah, melek
terhadap perkembangan penelitian ilmiah. Tiga elemen ini adalah pakar harus
bisa mengkomunikasikan temuannya kepada pemerintah, pemerintah mengeluarkan
pernyataan kepada publik berdasarkan hasil penelitian, dan media
menyajikannya kepada publik secara tepat. Nyatanya, komunikasi risiko yang selalu
dipertontonkan adalah komunikasi yang berisiko. Pernyataan produksi massal
kalung korona oleh Kementan beberapa waktu lalu menyebabkan masyarakat lengah
prokes, pernyataan tanaman rimpang anti COVID- 19 menyebabkan tanaman rimpang
langkah di pasaran, pernyataan rencana produksi massal obat Ivermectin oleh
BUMN menyebabkan obat ini laku di pasaran dan digunakan secara mandiri oleh
masyarakat. Di beberapa negara, pejabat publik yang tidak
hati-hati memberikan informasi kesehatan kepada publik akan diberikan sanksi.
Di Indonesia, praktik ini kian popular, dilakukan secara berulang-ulang --ini
jelas mengabaikan hak-hak masyarakat dalam mengakses informasi yang tepat
soal kesehatan dan turut memperparah infodemik. Dalam ilmu perilaku kesehatan, perilaku
over-klaim obat saat pandemi oleh pejabat publik menjadi pathogens behaviour
yang berdampak pada perilaku masyarakat dalam mengambil keputusan terkait
kesehatan dirinya. Lantas, apakah video Presiden Jokowi sidak itu juga
berdampak? Iya, jelas berdampak. Statement pejabat publik memiliki daya tarik
massa. Mari ingat, beberapa waktu lalu pernyataan
rencana produksi massal obat Ivermectin oleh BUMN menyebabkan obat ini laku
di pasaran dan digunakan secara mandiri oleh masyarakat. Padahal obat ini
adalah obat keras. Bahkan semakin laku dengan iming-iming akan dijual murah
oleh pemerintah senilai Rp 7000/tablet. Akibatnya, permintaan obat tinggi
yang menyebabkan kelangkaan obat. Sehingga jasa penyedia obat memainkan harga
hingga ratusan ribu rupiah. Publik bisa saja menilai obat yang dicari oleh
presiden dalam video tersebut dijual bebas, lalu terdorong untuk membelinya,
dan bisa dikonsumsi tanpa anjuran dokter. Dampak berikutnya bisa berimbas
pada ketersediaan dan harga. Dan yang paling buruk adalah melemahnya upaya
pencegahan penyakit, yang berakibat pada meluasnya penuluran penyakit. Upaya
promosi kesehatan tercederai oleh promosi obat keras. Promosi Kesehatan yang
Aman Demi menghindari rumah sakit kolaps,
pemerintah mempromosikan metode pengobatan sendiri di rumah jika merasakan
sakit dengan gejala ringan. Namun promosi pengobatan sendiri di rumah menjadi
beiesiko jika pemerintah tidak menghentikan wacana penggunaan obat keras
secara bebas. Di sisi lain, pemerintah juga kewalahan mendisiplinkan jasa
penyedia obat yang kadang menaikkan harga dua hingga tiga kali lipat dari HET
(Harga Eceran Tertinggi). Penanganan pandemi semakin menguji akal sehat
kita karena upaya promosi kesehatan kabur menjadi promosi obat-obatan.
Pengobatan sendiri di rumah atau isolasi mandiri harusnya dikencangkan dengan
upaya promosi kesehatan untuk meningkatkan imunitas dengan tidak hanya
mengkampanyekan minum vitamin dan makan makanan sehat, tapi memastikan harga
vitamin dan susu tidak melonjak tinggi di pasaran. Pengobatan sendiri dalam rumah mestinya disertai
dengan komitmen pemerintah agar bisa memastikan obat keras di apotek tidak
dijual dengan bebas kepada masyarakat. Di tengah kondisi penularan yang
semakin tidak terkendali, pemerintah harus menjadi saluran promosi kesehatan
yang aman bagi masyarakat. Memastikan harga obat stabil dan digunakan sesuai
anjuran dokter jauh lebih menyelesaikan masalah daripada sidak apotek. Per 20 April 2021, 8 provinsi di luar Jawa
mengalami lonjakan kasus aktif lebih dari 100%. Hampir setiap hari mencatat
tren rekor kasus positif tertinggi. Angka ini adalah indikasi lemahnya
kebijakan pengendalian penuluran COVID-19. Penguatan ketersediaan obat memang
sangat diperlukan dalam pengobatan COVID-19 untuk menyelamatkan pasien. Namun
angka kesembuhan yang tinggi bukanlah tujuan dalam pengendalian pandemi.
Salah satu indikator pengendalian pandemi adalah menekan angka penuluran
kasus positif. Agar masyarakat sehat tidak tertular, sakit, dan mati. Penguatan pencegahan penularan penyakit tidak
bisa hanya dengan mengendalikan perilaku masyarakat melalui kebijakan PPKM
(Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) dan cakupan vaksin yang tinggi.
Penegakan tracing yang adekuat,
testing yang tinggi dan merata di daerah, isolasi yang disiplin adalah
strategi yang dibutuhkan dalam pengendalian wabah. Strategi pengendalian
wabah harus mampu melindungi masyarakat dari penularan penyakit. Kunci
pengendalian pandemi bukanlah pada pengobatan, tapi pada pencegahan penyakit.
Sekalipun Presiden yang mau beli obat di apotek, jika tanpa resep dokter jangan
kasih! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar