Olimpiade
dan Obsesi Amerika untuk Selalu Menjadi yang Pertama R. A. Benjamin ; Jurnalis TIRTO |
TIRTO.ID, 13 Agustus 2021
Seluruh pejabat yang memberikan pidato
mengenakan masker. Bendera Olimpiade dibawakan enam orang, tak hanya olympian
tapi juga tenaga kesehatan. Itu dilakukan sebagai ucapan terima kasih kepada
mereka yang berada di garis depan penanganan pandemi Covid-19--yang membuat
kompetisi olahraga terbesar dunia ini molor satu tahun. Medali terakhir
dibagikan. Emas untuk atlet maraton Peres Jepchirchir dan Eliud Kipchoge dari
Kenya diserahkan di hadapan para atlet dari seluruh negara. Kontras dengan
apa yang terjadi di lapangan, tribun penonton kosong. Itulah beberapa pemandangan yang bisa dilihat
pada upacara penutupan Olimpiade Tokyo 2020, Minggu (8/8/2021) lalu. Banyak hal baru muncul di Olimpiade kali ini.
Ada 93 negara yang membawa pulang medali, terbanyak sejak Olimpiade modern
diselenggarakan pada 1896 di Athena, Yunani. Beberapa negara untuk kali
pertama meraih medali, misalnya Turkmenistan, Burkina Faso, dan San
Marino--yang luas wilayahnya kurang dari setengah Jakarta Selatan. Surfing
dan skateboarding akhirnya mendapatkan panggung. Indonesia mencetak sejarah
dengan membawa pulang emas dari cabang olahraga (cabor) ganda putri bulu
tangkis berkat Greysia Polii dan Apriani Rahayu. Di antara semua hal baru itu, ada satu yang
tidak berubah, dan barangkali sudah diperkirakan sebelumnya: Amerika Serikat
tetap menjadi juara umum. Pencapaian ini sebenarnya tak begitu
mengherankan karena AS-lah negara terbanyak yang mengirim atlet, 613 orang.
Persentase kemenangan mereka jadi yang paling besar. Sebagai pembanding, tuan
rumah Jepang hanya diperkuat 552 atlet, sementara rival utama, Cina, mengutus
406 atlet. Jumlah atlet yang dikirim tahun ini bahkan terbanyak kedua
sepanjang sejarah. Posisi pertama juga ditempati AS pada Olimpiade Atlanta
1996, 648 atlet. Mereka mengungguli perolehan emas Cina (38
medali) pada hari terakhir kompetisi usai Jennifer Valente meraih emas untuk
nomor women's omnium di cabor balap sepeda, lalu dilanjutkan emas ke-39 dari
tim voli putri yang mengalahkan Brasil dua set langsung. Meski jumlah emas
berkurang dibandingkan Olimpiade Rio 2016 (46 medali), keunggulan satu emas
atas Cina sudah cukup untuk memastikan kemenangan ketiga berturut-turut di
Olimpiade. Dalam tujuh Olimpiade terakhir, hanya Cina
yang sanggup menggeser dominasi AS dalam urusan emas. Itu terjadi saat mereka
menjadi tuan rumah pada 2008 silam. Meski demikian, ketika itu Cina tetap
kalah dalam hal total medali. Karena itu AS mungkin tetap memandang diri
sebagai juara umum tujuh Olimpiade terakhir. Amerika Vs Dunia We're all living in
Amerika, Coca-Cola, sometimes war. We,re all living in Amerika. Amerika.
Amerika.
Lirik lagu Rammstein berjudul
"Amerika" tersebut langsung terlintas di kepala saya malam itu, dua
hari menjelang penutupan Olimpiade, ketika Cina masih memimpin perolehan
medali dengan 36 emas sementara AS 31. Video klip dari band industrial metal
asal Jerman tersebut menampilkan satir yang menyinggung imperialisme budaya
AS: Orang-orang Afrika dan berbagai sudut Asia bersenandung we're all living
in Amerika sembari menikmati segala produk khas Paman Sam. Ketika itu media-media AS memunculkan
'penghitungan alternatif' untuk menyusun klasemen. Bukan dengan mengurutkan
berdasarkan perolehan emas melainkan dari total medali (emas, perak, dan
perunggu). Hal ini misalnya dilakukan The New York Times. Mereka menempatkan
AS di peringkat pertama dengan total 98 medali, mengungguli Cina yang
mengumpulkan 79 medali. Unggahan di Twitter sontak menuai protes dan sindiran
warganet. NBC, Washington Post, dan Yahoo Sports melakukan hal yang sama
persis. (The New York Times baru kembali ke penghitungan konvensional saat AS
berhasil menyusul Cina di hari terakhir Olimpiade). Jejak digital bahkan menunjukkan NBC telah
melakukan ini sejak Olimpiade Musim Dingin 2010 Vancouver, bahkan mungkin
lebih lama sebelum ada media sosial. Warganet menuding media-media AS bakal
menampilkan peringkat dengan metode penghitungan manasuka selama itu membuat
AS tampak digdaya. Sistem pengukuran AS memang kerap berbeda
dengan mayoritas negara di dunia. Saat negara lain memakai "meter"
untuk panjang dan "kilogram" untuk massa, panjang di AS diukur
dengan "kaki" dan berat ditakar dengan "pound" yang
merupakan sistem peninggalan Kerajaan Inggris. Belum lagi perbedaan dalam
mengukur temperatur, Fahrenheit di AS versus Celsius di hampir seluruh negara
lain. Sekarang sistem pengukuran itu bertambah,
total medali vs jumlah emas. Apa pun, yang penting Amerika pertama. Medali yang Tak Pernah
Setara AS punya motif kuat untuk menyusun peringkat
berdasarkan total medali. Mereka sejak lama telah menjadi kekuatan utama pada
atletik dan renang, dua cabor Olimpiade yang memperebutkan masing-masing 48
dan 37 medali emas. Jika dikalikan tiga (bersama perak dan perunggu), maka
medali yang tersedia dari dua cabor ini setara 2/3 dari total medali (339)
yang tersedia di Tokyo. Mereka memang masih merajai cabor renang
dengan total 30 medali di Tokyo, tapi jumlahnya telah berkurang lima
dibanding Rio 2016. Salah satu faktornya adalah perenang terhebat sepanjang
masa Michael Phelps pensiun setelah menyumbang lima dari 16 emas di Rio 2016.
Seorang diri, ia bisa mengumpulkan delapan emas dalam satu Olimpiade (rekor yang
diraih pada Beijing 2008). Total emas yang dikumpulkan Phelps (23) melebihi
pencapaian 161 negara selama berlaga di Olimpiade. Format emas, perak, dan perunggu untuk tiga
atlet teratas sudah ditetapkan sejak Olimpiade ketiga di St. Louis 1904.
Medali-medali tersebut memang dibuat tidak setara. Penghitungan konvensional
selalu menempatkan emas lebih berharga ketimbang yang lain. Lebih banyak emas
berarti peringkat yang lebih tinggi. Beberapa pihak menilai sudah sepantasnya
penghitungan itu diubah. Yahoo Sports misalnya, melempar ide liar agar medali
diberi poin. Emas dihitung tiga, perak dua, dan perunggu satu. Namun format
itu rasanya akan tetap mengunggulkan negara dengan kekuatan atlet dan
ekspektasi medali terbesar: AS. Ada pula tawaran penghitungan lain yang lebih
rumit. Formula Financial Times berangkat dari "ukuran populasi dan PDB
per kapita" yang itu "dapat menjelaskan kira-kira 95 persen
perbedaan antara penghitungan medali akhir negara, yang pada dasarnya
menciptakan tolok ukur untuk menilai apakah suatu negara memenuhi,
mengalahkan, atau gagal memenuhi ekspektasi." Dalam peringkat yang
menyertakan aspek ekonomi, sosial, dan politik itu, ROC (Rusia) menempati
peringkat teratas dengan poin +17, sementara AS berada di peringkat lima terbawah
dengan poin -8. Besar kemungkinan metode-metode ini tidak akan
digunakan sebagai penghitungan resmi (bahkan mungkin dilirik oleh
penyelenggara saja tidak). Untuk beberapa Olimpiade ke depan, sepertinya
jumlah emas akan tetap menjadi tolok ukur, diikuti jumlah perak dan perunggu.
Siapa yang menjadi juara umum Olimpiade sama
sekali tidak penting bagi saya yang hanya menonton beberapa cabor, plus satu
laga bola tangan yang tidak ditonton sampai habis lantaran tidak tega melihat
tugas berat sang kiper. Ia juga sama tidak pentingnya bagi para penggemar
bulu tangkis Indonesia dan Malaysia, atau bagi orang-orang di negara yang
atletnya bisa tampil di Olimpiade saja sudah bagus. Kengototan beberapa negara mengerahkan sumber
daya demi meraih medali sebanyak mungkin pun patut dipertanyakan.
"Tanyakan kepada orang-orang Finlandia," ujar sejarawan Olimpiade
David Goldblatt. Menurutnya, Finlandia telah lama meninggalkan obsesi
mengejar medali dan memilih "membelanjakan uangnya untuk transportasi
aktif dan fasilitas publik yang mudah diakses." Di saat Britania Raya jorjoran mengalihkan
sumber daya demi medali, Finlandia nyaris tak memenangkan apa pun lagi.
Namun, negara Nordik ini memiliki para lansia yang paling aktif dan sehat di
dunia. "Di Britania, kami memiliki sekarung emas dan krisis
obesitas," keluh Goldblatt. Ini memang soal pilihan. Bagi beberapa negara
seperti Cina dan AS, menjuarai Olimpiade sangatlah penting. Ia bisa
menumbuhkan nasionalisme rakyat sekaligus ajang unjuk kekuatan sebagai negara
nomor satu dunia. Namun, mengutip penggagas Olimpiade modern Pierre
de Coubertin, "Hal terpenting dalam Olimpiade bukanlah menjadi pemenang,
tetapi ambil bagian; hal penting dalam hidup bukanlah menaklukkan, tetapi
berjuang dengan baik." Hal penting lain dan lebih terasa manfaatnya bagi
rakyat mungkin kebijakan ala Finlandia, yang tak lagi mengejar medali demi
transportasi dan fasilitas publik yang mudah diakses. ● Sumber
: https://tirto.id/olimpiade-dan-obsesi-amerika-untuk-selalu-menjadi-yang-pertama-giy5 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar