Mengenang
Bung Karno, Mengenang Bung Hatta Ahmad Syafii Maarif ; Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005 |
KOMPAS, 16 Agustus 2021
Dalam
rangka merayakan hari ulang tahun kemerdekaan kita yang ke-76 pada 17 Agustus 2021 ini, izinkan saya sebagai warga sepuh menulis
kenangan akan dua tokoh besar Bung
Karno (1900-1970) dan Bung Hatta (1902-1981). Bung
Karno dan Bung Hatta punya posisi yang
sangat penting dan krusial dalam membingkai
sejarah modern Indonesia. Bung
Karno yang berapi-api adalah salah satu orator terbesar abad ke-20 di muka bumi dan Bung
Hatta tipe manusia tenang, tetapi menghanyutkan. Keduanya hasil
tempaan kekejaman kolonialisme di
negeri ini dengan kepribadian khas masing-masing. Coba
buka kembali IM (Indonesia Menggugat, 1930) Bung Karno dan IM (Indonesia Merdeka, 1928) Bung Hatta,
dua bentuk pembelaan sebagai protes
keras dan berani terhadap sistem penjajahan yang mengisap bangsa ini.
Satu disampaikan di Bandung, satu lagi
di Den Haag, Belanda. Dengan membaca ulang dua warisan sejarah ini,
semakin sadarlah kita betapa
dahsyatnya ruh kedua tokoh bangsa di saat kritikal itu. Simaklah
kutipan di bawah ini bagaimana Bung
Karno mengentak untuk menjelaskan tujuan pembelaannya. "Dan
jikalau nanti kami uraikan segala kami punya keyakinan politik, jikalau nanti kami beberkan segala sifat-sifat PNI
dan segala penglihatan atau ideologi
kami, jikalau nanti kami masukkan ‘politik’ di dalam gedung mahkamah ini, maka itu bukan untuk
mempropagandakan kebenaran kami punya
keyakinan itu, melainkan hanya supaya Tuan-tuan bisa mengetahui asas, sifat, dan aksinya PNI, dan bisa
menakar, bisa mengerti, bisa begrijpen
[memahami] kami punya penglihatan politik dan karena itu, mengerti
isi dan maksud segala perkataan dan
tindakan kami yang Tuan-tuan periksa
dalam proses ini". (Ir Soekarno, Indonesia Menggugat. Yogyakarta:
Aditya Media, 2004, hlm 11). Lagi:
“Siapa yang masih mengharapkan pertolongan dari sistem imperialisme, siapa yang masih percaya akan ‘anugerah’
yang akan dianugerahkan olehnya, siapa
yang masih menurut akan omongan ‘mission sacree’, siapa yang
masih mengarahkan mukanya ke Barat.
Ini adalah sama sekali buta akan kenyataan yang sebenarnya, buta akan realiteit.” Seru,
kan? Itu baru dua kutipan. Seluruh isi
pidato pembelaan sekitar 200 halaman itu bagi saya sungguh dahsyat menggelegar, menciutkan nyali hakim
kolonial. Sekarang, simak pulalah cara Bung Hatta dalam pembelaannya di Den
Haag yang membuat hati ini terenyuh. "Kalau
mahasiswa Belanda, Perancis dan Inggris menikmati sepenuhnya usia muda mereka
yang serba menggembirakan, maka pemuda Indonesia harus mempersiapkan diri untuk suatu tugas
yang menuntut syarat-syarat lain.
Tidak ada jalan yang siap dirintis baginya; tidak ada lowongan pekerjaan yang sudah disiapkan baginya.
Sebaliknya, dia harus membangun mulai
dari bawah, di tengah-tengah suasana yang serba sukar, di tengah-tengah
pertarungan yang penuh dendam dan kebencian. Perjuangan kemerdekaan yang berat membayang di
depannya, dan membuat dia menjadi
orang yang cepat tua dan serius untuk usianya". (Mohammad Hatta, Indonesia Merdeka. Jakarta: Bulan
Bintang, 1976, hlm. 13). Aslinya dalam
Bahasa Belanda, diterjemahkan oleh Drs Hazil). Betul,
kan, Bung Hatta tenang menghanyutkan? Dalam usia begitu belia saat menyampaikan pembelaannya. Bagian akhir pidatonya, Bung Hatta
mengingatkan penjajah akan hukum besi
sejarah. "Nederland
let op uw saeck" (Nederland, jaga baik-baik kepentinganmu) sering diucapkan oleh mereka yang mendorong
pemerintah kolonial untuk melanjutkan
terus politik tangan besinya. Dari tempat ini saya mau melontarkan kembali
kata-kata yang sama kepada mereka itu, sambil
memperingatkan bahwa kepentingan Nederland tidaklah tertolong
oleh kesewenang-wenangan dan pameran
kekuatan dalam menghadapi arus pasang
nasionalisme Indonesia, bahkan sebaliknya! Bahkan penjajahan Belanda di Indonesia akan berakhir, buat
saya telah merupakan suatu kepastian.
Tinggal persoalan waktu saja lagi, cepat atau lambat, bukan ya atau tidak. Bangsa Belanda harus menerima
hukum besi sejarah ini, terlepas dari apakah dia mau menerimanya atau tidak.
Dan janganlah Nederland memukau diri,
bahwa kekuasaan kolonialnya akan kokoh tegak sampai akhir jaman". (Ibid, hlm 147). Itulah
empat kutipan heroik dari kedua tokoh bangsa yang berasal dari dua
sumber pidato pembelaan mereka dalam
menghadapi sistem kolonial yang amat menghina
dan menyakitkan itu. Kegamangan ke depan Selanjutnya,
mari kita tengok gerak sejarah berikutnya dalam kaitannya dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Sebuah
drama hubungan dua manusia hebat yang
pernah mengguncangkan Indonesia. Dua manusia pejuang yang cintanya terhadap
negeri ini sampai ke tulang sumsum. Tetapi mengapa kita masih juga gamang mengarahkan gerak sejarah bangsa ini
ke depan? Kalau
ada bangsa yang masih sulit memetakan masa depannya dengan pasti, Indonesia mungkin salah satunya. Padahal,
bagi Bung Karno dan Bung Hatta, corak
masa depan itu cukup jelas. Modal kita secara kultural adalah bahwa pembentukan bangsa mendahului pembentukan
negara di Indonesia, yaitu sudah
dimulai sejak dasawarsa pertama abad ke-20 dan puncaknya pada dasawarsa
ketiga abad itu. Sementara
negara Indonesia sebagai konsep politik baru muncul melalui proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus
1945. Secara teori, fondasi bangunan
bangsa kita seharusnya sudah cukup kokoh, sekiranya
kesalahan-kesalahan fatal tak terjadi
pada periode pasca-proklamasi. Di
antara kesalahan itu, tak dilaksanakannya Pancasila dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara
secara nyata. Komitmen yang serba
verbalistik kepada kelima sila itu adalah dosa politik yang terbesar
yang pernah dilakukan bangsa ini,
khususnya oleh beberapa pemimpin puncaknya, terutama sejak 1950-an. Atau apakah karena dasar
Pancasila itu terlalu mendahului zaman, para elite belum siap
melaksanakannya? Sekiranya
Soekarno-Hatta tetap bergandengan tangan untuk waktu yang agak lama, dapat diperkirakan Indonesia
akan mengalami perkembangan lain yang
jauh lebih baik dan lebih bermartabat dibandingkan yang kita saksikan kemudian. Sebenarnya
Soekarno secara formal tak
menginginkan Hatta melepaskan jabatannya sebagai wakil presiden pada Desember 1956, tetapi itu sudah tak
mungkin. Dasar watak Hatta yang kukuh,
jika keputusan telah diambil, hampir tak mungkin ia akan surut, sekalipun berbagai pihak membujuknya,
termasuk sahabat terdekatnya. Ibarat
sebuah mobil, Soekarno gasnya, sementara Hatta remnya. Soekarno pasca-Hatta ibarat mobil tanpa
rem. Mobil tanpa rem itu akhirnya
tabrak sini dan tabrak sana, kadang-kadang laju dengan persneling lima. Yang kurang diperhitungkan oleh kedua tokoh
itu waktu itu adalah bahwa penumpang
mobil itu sebuah bangsa besar yang baru merdeka, mendiami sebuah rantai kepulauan yang ribuan
banyaknya. Perbedaan
subkultur yang melatarbelakangi
Soekarno dan Hatta telah menyebabkan keduanya berpisah dalam politik, sekalipun hubungan pribadi antara
mereka tetap terjalin sampai akhir
hayatnya. Perpisahan Soekarno-Hatta ternyata punya dampak beruntun
bagi perjalanan sejarah modern
Indonesia seperti tergambar di bawah ini. Pertama,
meledaknya pergolakan daerah yang langsung atau tak langsung adalah karena Hatta meninggalkan posisi
sebagai wapres. Hatta adalah simbol
orang sabrang (luar Jawa). Tetapi kita yang masih hidup ini tentu tak
bisa memutar jarum ke belakang. Semua
sudah berlalu. Tak perlu diratapi. Bung
Karno dan Bung Hatta sudah lama bersemayam di alam sana dalam perjalanan masing-masing di alam barzah,
menanti kiamat. Kenanglah segala yang
baik, lupakan dan maafkan kekurangan mereka. Perbedaan watak keduanya memang
tajam, tetapi sekiranya dapat dikelola dengan bijak tentu saling melengkapi. Kedua,
berkat kerja sama Presiden Soekarno dengan TNI, pembangkangan daerah yang dipelopori perwira Angkatan
Darat yang sakit hati ini berhasil
dipadamkan dengan meninggalkan luka berat bagi pihak yang dikalahkan.
Bung Hatta dalam kapasitasnya sebagai
warga negara telah berusaha keras agar dicari
solusi damai antara Jakarta dan daerah bergolak. Tetapi sayang, semua
upaya itu berujung dengan jalan buntu. Daerah
bergolak terparah Sumatera Barat,
tempat asal Bung Hatta, karena proklamasi pemerintah tandingan dalam bentuk PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia) pada 15 Februari 1958
dipusatkan di sana. Hanya dalam tempo tiga tahun PRRI sudah lumpuh. Ketiga,
dengan mundurnya Bung Hatta sebagai wapres, kian terbukalah peluang besar
bagi PKI untuk memainkan kartu politik
kekuasaannya dengan berlindung di bawah payung Soekarno. Bung
Hatta dikenal sebagai tokoh yang tak
percaya pada PKI. Partai Masyumi, lawan
tangguh PKI, dibubarkan Desember 1960 dengan alasan beberapa tokohnya terlibat PRRI. Pembubaran ini tak
bisa dipisahkan dari peran PKI yang
memang sudah lama ingin Masyumi menghilang dari panggung politik nasional. Keempat,
pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit dengan membubarkan Majelis Konstituante dan
menyatakan UUD 1945 berlaku kembali.
Maret 1960 parlemen dibubarkan. Situasi politik sangat memanas. Bung Hatta menentang semua
kejadian ini, tetapi dia tak berdaya.
Dengan payung UUD 1945 ini Soekarno kemudian menciptakan sistem
politik baru dalam bentuk Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Sistem
baru ini ternyata hanya berumur pendek, sesuatu yang sudah diperkirakan Bung Hatta dalam artikelnya
“Demokrasi Kita”, yang muncul pertama
kali Mei 1960. Dengan terjadinya prahara politik G30S/PKI 1965, sistem Demokrasi Terpimpin
runtuh dengan sendirinya. PKI pada 12 Maret 1966 dibubarkan oleh penguasa
baru Jenderal Soeharto, sekalipun
Soekarno secara resmi baru diganti 1968 lewat sidang MPRS, pimpinan Jenderal AH Nasution. Kelima,
setelah Presiden Soekarno diberhentikan, sebenarnya Bung Hatta punya peluang menggantikannya sebagai
presiden kedua RI. Tetapi pintu untuk
itu ditutup rapat oleh penguasa baru yang memang tak nyaman dengan sistem demokrasi. Dan Hatta adalah demokrat
sejati, dalam teori dan praktik. Bangkitlah Indonesia Demikianlah
sketsa ringkas tentang hubungan Bung Karno dan Bung Hatta, terutama di era pasca-proklamasi. Keduanya
telah menempuh jalan hidup dan
kariernya masing-masing. Bung Karno lebih dulu wafat dalam keadaan yang kurang elok diperlakukan oleh penguasa
baru. Sebelas tahun kemudian Bung Hatta
menyusul sahabatnya itu menghadap penciptanya. Semoga Allah memaafkan segala kesalahan dan kekurangan
kedua tokoh yang fenomenal ini. Amin! Di
saat Bung Karno sedang bergumul di atas pembaringan kematiannya, Bung Hatta mengunjungi sahabatnya ini.
Keduanya diam terpaku, air mata Bung
Hatta meleleh. Jam perpisahan itu sudah amat dekat. Akhirnya,
sambil tetap mengenang keduanya, dengan dasar Pancasila, marilah kita bersepakat untuk terus
mengucapkan: “Bangkitlah Indonesiaku!” Arwah Bung Karno dan Bung Hatta akan
menangis di alam sana, jika generasi
yang datang kemudian melupakan cita- cita besar yang telah digagas kedua pemimpin puncak ini, yaitu
kemerdekaan bangsa yang berdaulat penuh!. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/16/mengenang-bung-karno-mengenang-bung-hatta |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar