Meluruskan
Narasi Sejarah Proklamasi Kemerdekaan RI Abdul Syukur ; Dosen Prodi Pendidikan Sejarah dan Korpus
Penelitian Sosial, Ekonomi dan Humaniora Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Negeri Jakarta |
KOMPAS, 17 Agustus 2021
Proklamasi
sudah berlangsung 76 tahun silam. Selama itu pula kita mengubur fakta yang
sebenarnya tentang proses persiapan dan pelaksanaan Proklamasi pada 17
Agustus 1945. Sudah saatnya untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya agar
proklamasi dapat dijelaskan secara komprehensif yang mencerdaskan generasi
muda untuk memahami peristiwa sangat penting bagi bangsanya. Tulisan
ini membahas penguburan fakta sekitar proklamasi dan keharusan untuk membuka
fakta yang sebenarnya serta memberikan interpretasi baru berdasarkan metode
ilmu sejarah untuk menciptakan narasi mencerdaskan dan mencerahkan. Narasi
sejarah proklamasi selama ini merupakan warisan masa perang opini antara
Pemerintah Belanda dan Indonesia untuk kemenangan kepentingan politiknya
masing-masing sehingga narasi yang tercipta sesungguhnya merupakan sebuah
propaganda. Pada
17 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta, dua tokoh utama pergerakan
nasional Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia. Keesokan
harinya, secara aklamasi melalui musayawarah dan mufakat keduanya menjadi
Presiden dan Wakil Presiden RI. Peristiwa tanggal 17 dan 18 Agustus 1945
memperkuat bukti bahwa para tokoh gerakan nasional membentuk identitas
kebangsaan terlebih dahulu sebelum membentuk negara modern. Proses ini sangat
berbeda dengan negara tetangga terdekat seperti Malaysia yang membentuk
negara federasi terlebih dahulu, kemudian membentuk identitas kebangsaannya. Pemerintah
Belanda secara tegas menolak proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia,
pendirian negara RI dan pemerintahan RI yang dipimpin Presiden Soekarno dan
Wakil Presiden Mohammad Hatta. Penolakan mereka didasarkan pada dua alasan.
Pertama, klaim historis sebagai penguasa wilayah Indonesia sebelum diambil
alih oleh Jepang pada 1942. Kedua, keterlibatan Soekarno, Hatta, dan
tokoh-tokoh penting Pemerintah Indonesia yang bekerja untuk kepentingan
Pemerintah Jepang selama masa pendudukan militer. Tulisan
ini lebih difokuskan untuk membahas alasan kedua karena sangat menarik dari
sudut pandang ilmu sejarah dan kepentingan memberikan interpretasi yang
mencerdaskan untuk generasi digital. Mereka adalah generasi yang sangat
beruntung karena dapat memperoleh data, fakta, dan interpretasi masa lalu
dengan mudah dan cepat melalui teknologi internet. Kemudahan dan kecepatan
ini memaksa para sejarawan untuk melakukan interpretasi baru terhadap data
dan fakta sejarah yang tersajikan secara terbuka. Narasi sejarah untuk propaganda Data
dan fakta sejarah pada masa pendudukan militer Jepang di Indonesia 1942-1945
telah dimanfaatkan oleh Pemerintah Belanda dan Indonesia untuk memenangi
perang opini di antara keduanya pada tahun 1945. Masing-masing memberikan
interpretasi sesuai kepentingan politiknya terhadap data dan fakta sejarah
sehingga hasil interpretasinya adalah sebuah propaganda politik yang sangat
mengabaikan metode penafsiran dalam ilmu sejarah. Setelah 76 tahun, kini
saatnya memberikan interpretasi baru dengan menggunakann metode penafsiran
dalam ilmu sejarah yang sudah berkembang dengan sangat baik. Interpretasi
Pemerintah Belanda terhadap data dan fakta sejarah selama pendudukan militer
Jepang bahwa proklamasi dan pembentukan negara Republik Indonesia beserta
pemerintahannya berada di bawah kendali Pemerintah Jepang. Tujuan pemberian
interpretasi ini untuk memperoleh dukungan Pimpinan Tertinggi Sekutu sebagai
pemenang Perang Dunia II yang mengalahkan poros Jerman, Italia, dan Jepang.
Interpretasi ini merugikan Pemerintah Indonesia sehingga memberikan respons
menyangkal keterkaitan Pemerintah Jepang dengan Pemerintah Indonesia.
Penyangkalan dilakukan dengan mengubah sistem pemerintahan dari Kabinet
Presidensial menjadi Kabinet Parlementer. Dalam
sistem pemerintahan parlementer dilakukan pemisahan antara kepala negara dan
kepala pemerintahan. Kepala negara dipimpin Presiden Soekarno, Wakil Presiden
Mohammad Hatta, dan kepala pemerintahan dipimpin Perdana Menteri Sutan
Sjahrir. Penempatan Sutan Sjahrir sebagai kepala pemerintahan bertujuan menyangkal
propaganda Belanda bahwa pemerintahan Indonesia dipimpin para tokoh yang
bekerja sama dengan pemerintah pendudukan militer Jepang. Perubahan ini untuk
memberikan posisi tertinggi kepada Sutan Sjahrir, tokoh utama anti-Jepang,
sebagai kepala pemerintahan. Penempatan
Sutan Sjahrir sebagai kepala pemerintahan sangat penting untuk memenangi
perang opini bahwa pemerintahan Indonesia dipimpin oleh seorang tokoh
anti-Jepang sehingga langsung mematahkan propaganda Belanda. Strategi ini
diperkuat oleh realitas sosial-politik tahun 1945-1946 yang dialami para
panglima, komandan, dan prajurit Sekutu selama bertugas di Indonesia untuk
melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkannya ke Jepang serta
membebaskan para tawanan perang. Tugas ini terlaksana setelah mendapat
bantuan Pemerintah Indonesia. Faktor lain yang menguntungkan Pemerintah
Indonesia ialah pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Oktober
1945 yang beranggotakkan negara-negara di luar Sekutu dan polarisasi Blok
Barat dan Timur. Seluruh
faktor inilah yang memperkuat dukungan internasional terhadap Pemerintah
Indonesia hingga memaksa Pemerintah Belanda untuk berunding dengan
pemerintahan Indonesia. Perundingan ini berarti Pemerintah Belanda mengakui
negara RI beserta pemerintahannya. Fakta sejarah proklamasi kemerdekaan Ada
beberapa fakta yang perlu diberikan interpretasi baru yang sesuai dengan
metode interpretasi dalam ilmu sejarah tentang keterlibatan Pemerintah Jepang
beserta pemerintahan pendudukan militernya dalam mempersiapkan dan melaksanakan
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Pertama,
Sidang Istimewa ke-85 Teikoku Ginkai (Parlemen Jepang) di Tokyo yang melantik
Jenderal Kuniaki Koiso sebagai Perdana Menteri Jepang menggantikan Jenderal
Hideki Tojo. Pada 7 September 1944 Perdana Menteri Koiso mengumumkan
kebijakan pemerintah Jepang untuk memberikan kemerdekaan terhadap wilayah
pendudukan militernya di Hindia Timur (Indonesia). Kedua,
pembentukan badan persiapan usaha-usaha kemerdekaan Dokuritsu Junbi Cosokai
pada 28 Mei 1945 di Jakarta. Proses pembentukannya melibatkan para petinggi
militer Jepang di wilayah pendudukan, seperti Menteri Perang Jepang Jenderal
Seishiro Itagaki, Panglima Tentara ke-16 Angkatan Darat Jepang Letnan
Jenderal Kumachiki Harada, dan penggantinya Marsekal Laksamana Osami Nagano.
Lembaga ini dipimpin oleh dr Radjiman Wediodiningrat. Ketiga.
Pembentukan panitia persiapan kemerdekaan Dokuritsu Junbi Inkai pada 7
Agustus 1945 yang disetejui oleh Field Marshal Terauchi Hisaichi yang
bermarkas di markas besar Angkatan Perang Jepang di kota Dalat, Vietnam
Selatan. Pemerintah Jepang menunjuk Soekarno dan Mohammad Hatta menjadi
pemimpin Dokuritsu Junbi Inkai. Keduanya melanjutkan hasil sidang Dokuritsu
Junbi Cosokai untuk finalisasi pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Keempat,
pertemuan Field Marshal Terauchi dengan mantan ketua Dokuristsu Junbi Cosokai
Radjiman Wediodiningrat, Ketua dan Wakil Ketua Dokuritsu Junbi Inkai Soekarno
dan Mohamad Hata di kota Dalat, Vietnam selatan, pada 12 Agustus 1945. Kelima,
perumusan teks proklamasi yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta di rumah
dinas Laksamana Muda Tadashi Maeda sebagai Kepala Penghubung Angkatan Laut
dan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Rumah dinasnya sekarang berada di Jalan
Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat, dan telah dijadikan sebagai Museum Naskah
Proklamasi oleh Pemerintah Indonesia. Seluruh
fakta sejarah tersebut diketahui oleh Pemerintah Belanda. Mereka memberikan
interpretasi berdasarkan kepentingan politiknya, yakni proklamasi kemerdekaan
dipersiapkan dan dikendalikan Pemerintah Jepang. Interpretasi ini ditentang
oleh Pemerintah Indonesia dengan memberikan interpretasi yang juga didasarkan
pada kepentingan politiknya. Perang opini pemerintah Belanda dan Indonesia
menghilangkan obyektivitas interpretasi. Perlu narasi baru Interpretasi
masa perang opini tersebut dilestarikan oleh Pemerintah Indonesia hingga
kini. Ini teramati dari narasi yang diciptakan oleh pemerintah terhadap
proses proklamasi sebagaimana terdapat dalam buku resmi sejarah Indonesia:
Sejarah Nasional Indonesia dan buku-buku teks mata pelajaran sejarah di
sekolah. Narasi
yang diciptakan pemerintah bahwa seluruh rangkaian fakta itu merupakan janji
palsu Pemerintah Jepang yang tidak dilaksanakan sehingga para tokoh
pergerakan berinisiatif melaksanakan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus
1945 tanpa bantuan Pemerintah Jepang. Narasi ini diciptakan dalam suasana
perang opini antara Pemerintah Indonesia dan Belanda untuk memperoleh
dukungan internasional. Perang opini sudah lama berakhir sehingga perlu
menciptakan narasi baru untuk melatih kemampuan historical thinking generasi
digital dalam belajar sejarah proklamasi. Narasi
baru dapat diawali dengan pertanyaan: apakah benar bahwa kebijakan Pemerintah
Jepang yang disampaikan oleh Perdana Menteri Koiso dalam Sidang Istimewa
Parlemen Jepang pada 7 September 1944 untuk memberikan kemerdekaan merupakan
janji palsu? Artinya hanya akal-akalan ataupun ngeprank dalam bahasa gaul
generasi digital. Interpretasi
”janji palsu Pemerintah Jepang” terhadap fakta kebijakan memberikan
kemerdekaan ini menciptakan narasi yang mengabaikan fakta yang sebenarnya.
Saatnya untuk mengujinya dengan memahami realitas sosial-politik tahun
1940-an. Sebagaimana diketahui bahwa Pemerintah Jepang melibatkan diri dalam
Perang Dunia II dengan menguasai seluruh wilayah koloni negara-negara Eropa
di Kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Mereka bergabung dalam poros Jerman
dan Italia melawan negara Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat, Inggris, dan
Perancis. Pemerintah
Jepang mengalahkan Pemerintah Belanda di Hindia Timur dan mengambil alih
kekuasaan wilayah koloninya pada 1942. Namun, kemenangan tahun 1942 berubah
menjadi kekalahan satu tahun kemudian. Kekalahan demi kekalahan memaksa
pemerintah pendudukan militer mengubah kebijakannya, yakni membentuk
organisasi-organisasi semimiliter (Seinendan, Keibodan, Bogodan,
Suishinta/Barisan Pelopor, Jibakutai/Barisan Berani Mati, Kaikiyo Seinen
Thaishintai/Hizbullah) dan organisasi militer (Heiho, Peta, Giyugun/Tentara
Suka Rela). Tiga
fakta sejarah ialah kekalahan Jepang antara tahun 1943 dan 1944, pembentukan
organisasi semi militer dan organisasi militer, kebijakan Perdana Menteri
Koiso memberikan kemerdekaan dapat diberikan interpretasi kausalitas sehingga
menciptakan pemahaman komprehensif terhadap kebijakan memberikan kemerdekaan.
Kebijakan ini juga dapat diinterpretasi dengan menggunakan fakta yang tidak
terlihat, yakni cara pandang pemimpin militer Jepang setelah mengetahui
kekalahan demi kekalahan dan ketidakmungkinan untuk memenangi perang
berdasarkan analisis militer dan intelijen tempur mereka. Kekalahan
menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, hanya menunggu waktu saja.
Dalam kondisi tertekan seperti ini, maka pemberian kemerdekaan merupakan opsi
terbaik bila dibandingkan dengan menyerahkan wilayah pendudukan militernya
kepada pasukan Sekutu. Artinya, kebijakan memberikan kemerdekaan bukanlah
”janji palsu”, melainkan merupakan strategi dan taktik menghadapi kekalahan
perang. Prediksi kekalahan semakin jelas setelah keberhasilan serangan Sekutu
ke wilayah Jepang dengan menghancurkan kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan
Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Narasi
pemberian kemerdekaan bukan ”janji palsu” mendapatkan penguatan dari fakta
tentang pembentukan dua badan khusus yang ditugaskan untuk menyiapkan
persyaratan yang harus dipenuhi untuk membentuk negara modern yang merdeka,
yaki Dokuritsu Junbi Cosokai/Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan/BPUPK) dan Dokuritsu Junbi Inkai/Panitia Persiapan Kemerdekaan/PPK
oleh pemerintah pendudukan militer Jepang. Semua pimpinan militer Jepang dari
yang tertinggi hingga terendah melaksanakan kebijakan Kabinet Koiso
memberikan kemerdekaan. Mereka memberikan perlindungan, mendampingi, dan
memfasilitasi seluruh persidangan BPUPK hingga menyelesaikan tugasnya dengan
baik. Pada
saat BPUPK menyelesaikan tugasnya, Pemerintah Jepang sedang menghadapi
kenyataan kalah perang setelah mereka tidak dapat menahan serangan pasukan
Sekutu ke dalam wilayah mereka pada 6 Agustus 1945. Sehari kemudian,
pemerintah pendudukan militer Jepang melantik PPK yang dipimpin Soekarno dan
Mohammad Hatta. Pada
9 Agustus 1945, bertepatan pengeboman kota Nagasaki, pemimpin tertinggi
angkatan perang Jepang di kota Dalat, Vietnam selatan: Field Marshal Terauchi,
memerintahkan Soekarno, Hatta, dan Radjiman untuk menghadapnya di Dalat.
Pertemuan mereka dilakukan pada 12 Agustus 1945, tiga hari sebelum Kaisar
Jepang menyerah tanpa syarat kepada Panglima Sekutu. Pertemuan
pada 12 Agustus 1945 di Dalat merupakan fakta sejarah yang dapat
diinterpretasikan sebagai kesungguhan pemerintah pendudukan militer Jepang
mewujudkan kebijakan Kabinet Koiso. Terauchi adalah panglima tertinggi yang
mempunyai pengalaman tempur sehingga dapat memprediksi kekalahan pasukannya berdasarkan
analisisnya yang bersumber dari intelijen tempur. Kesediaannya
menerima Radjiman, Soekarno, dan Hatta menunjukkan bahwa pertemuan 12 Agustus
1945 di Dalat sangat penting untuk merealisasikan strategi Kabinet Koiso
memberikan kemerdekaan karena Pemerintah Jepang sudah pasti harus
meninggalkan seluruh wilayah pendudukan militernya apabila mereka kalah
perang. Kesungguhan
pemerintah pendudukan militer Jepang untuk mewujudkan pemberian kemerdekaan
dapat dirujuk pada keputusan Laksamana Maeda melindungi Soekarno, Hatta, dan
seluruh anggota PPK untuk merumuskan teks proklamasi kemerdekaan pada 16
Agustus 1945 di rumah dinasnya. Pertanyaannya, apakah Maeda melakukannya atas
inisiatif pribadi atau menjalankan perintah rahasia dari pimpinan tertingginya?
Ada fakta yang tidak terlihat, yakni Maeda adalah seorang militer yang harus
mematuhui perintah jalur komando. Berdasarkan
fakta yang tidak terlihat ini, maka jawaban rasional adalah Maeda menjalankan
perintah rahasia untuk merealisasikan strategi Kabinet Koiso. Artinya, ia
dilindungi oleh pimpinan tertingginya sehingga penguasa militer Jepang di
seluruh Jawa dan Jakarta tidak dapat membubarkan pertemuan di rumah Maeda
untuk merumuskan teks proklamasi pada 16 Agustus 1945 ataupun pelaksanaan
proklamasi pada keesokan harinya di halaman rumah Soekarno. Interpretasi
baru terhadap fakta-fakta persiapan dan pelaksanaan proklamasi merupakan
salah satu cara untuk mencerahkan dan mencerdaskan generasi digital dalam
memahami sejarah proklamasi yang sangat penting bagi dirinya, teman-temannya,
dan bangsanya. Perlu dilakukan pengujian terhadap interpretasi baru ini agar
sesuai dengan metode interpretasi dalam ilmu sejarah sehingga fakta-fakta
yang sebenarnya terjadi dapat direkonstruksi menjadi sebuah narasi untuk menjelaskan
sejarah proklamasi kepada generasi digital yang berpikir kritis terhadap
narasi lama, warisan perang opini tahun 1945. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/17/meluruskan-narasi-sejarah-proklamasi-kemerdekaan-ri |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar