Independensi
atau Anomali Yudisial Ade Maman Suherman ; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman |
KOMPAS, 2 Agustus 2021
Hari
Keadilan Internasional (World Day for International Justice) yang kita
peringati tanggal 17 Juli lalu menjadi momentum untuk kontemplasi dan
evaluasi terhadap marwah keadilan (de geest van de gerechtigheid) di negeri
ini. Ketika
ketua Komisi Yudisial menyoal dilema kekuasaan kehakiman (Kompas, 19/7/
2021), boleh jadi itu ekspresi keberanian intelektual yang layak diapresiasi
karena kejujuran sekaligus kebuntuan bahkan ketidakkuasaannya atas putusan
hakim yang kian membingungkan nurani keadilan kolektif. Sesungguhnya
putusan atas Jaksa Pinangki Sirna Malasari bukan berita baru jika membuka
kembali data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang pengurangan hukuman
untuk koruptor. Diskon hukuman Dunia
peradilan juga mengenal legal discretion seperti halnya di bidang lain,
seperti legislative discretion dan executive discretion. Pertanyaan mendasar
tentunya mengapa terjadi pengurangan hukuman bagi para koruptor? Mengapa
putusan pengadilan pertama selalu terkoreksi dan tereduksi oleh putusan
tingkat kasasi atau peninjauan kembali? Benarkah
ini sebagai dogma sakti atas independensi dan imparsialitas hakim dalam
memutus suatu perkara? Data berbicara dan tidak dapat terbantahkan terkait
pengurangan hukuman bagi koruptor beberapa tahun terakhir. Contohnya,
kasus eks Bupati Bengkulu Selatan, Dirwan Mahmud, yang dalam putusan
kasasi/peninjauan kembali, hukumannya berkurang dari enam tahun menjadi 4,5
tahun. Choel Mallarangeng, dari 3,5 tahun menjadi tiga tahun. Eks
Bupati Buton, Samsu Umar Abdul Samiun, dari dua tahun sembilan bulan menjadi
dua tahun. Eks Direktur Operasional Lippo Group, Billy Sindoro, dari 3,5
tahun menjadi dua tahun. Pengusaha Hadi Setiawan, dari empat tahun menjadi
tiga tahun. Eks
Wali Kota Cilegon, Tubagus Iman Ariyadi, dari enam tahun menjadi empat tahun.
Pengacara OC Kaligis, dari sepuluh tahun menjadi tujuh tahun. Eks Ketua Dewan
Pertimbangan Daerah (DPD), Irman Gusman, dari 4,5 tahun menjadi tiga tahun. Helpandi,
dari tujuh tahun menjadi enam tahun. Eks anggota DPRD DKI Jakarta, M Sanusi,
dari sepuluh tahun menjadi tujuh tahun. Eks Hakim Mahkamah Konstitusi (MK),
Patrialis Akbar, dari selapan tahun menjadi tujuh tahun. Tamin Sukardi, dari
enam tahun menjadi lima tahun. Eks Bupati Talaud, Sri Wahyumi Manalip, dari
4,5 tahun menjadi dua tahun. Eks
Panitera Pengganti Pengadilan Bengkulu, Badaruddin Bachsin, dari delapan
tahun menjadi lima tahun. Eks anggota DPR Adriatma Dwi Putra, dari 5,5 tahun
menjadi empat tahun. Eks
Wali Kota Kendari, Asrun, dari 5,5 tahun menjadi empat tahun. Eks Panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rohadi, dari tujuh tahun menjadi lima tahun. Eks
anggota DPR Musa Zainuddin, dari sembilan tahun menjadi enam tahun. Kasus
KTP-el, Sugiharto, dari 15 tahun menjadi sepuluh tahun. Kasus KTP-el, Irman,
dari 15 tahun menjadi 12 tahun. Eks
Ketua Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, dari 15 tahun menjadi delapan tahun.
Eks Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tarmizi, dari empat tahun
menjadi tiga tahun. Hakim agung produk Komisi Yudisial Berdasarkan
Pasal 14 Undang-Undang No 18 Tahun 2011, dalam melaksanakan wewenang
sebagaimana dimaksud Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial memiliki tugas:
melakukan pendaftaran calon hakim agung, melakukan seleksi terhadap calon
hakim agung, menetapkan dan mengajukan calon hakim agung ke DPR. Komisi
Yudisial tak memiliki kewenangan melakukan penilaian, apalagi melakukan
koreksi, putusan hakim atas suatu perkara. Pertimbangan
hukum dan amar putusan merupakan kewenangan mutlak dan independensi hakim
sehingga hanya hakim itu sendiri yang dapat mengoreksi putusan melalui
jenjang upaya hukum yang ada. Persoalan
substansial dan kritikal adalah pengurangan hukuman sering kali dilakukan
oleh hakim agung tingkat kasasi dan peninjauan kembali yang notabene sebagai
center of excellence dan core of the core dari dunia pengadilan dengan
menyandang atribut yang Mulia Hakim Agung, tetapi di sisi lain bobot kualitas
putusannya berbanding terbalik dengan logika hukum dan rasa keadilan masyarakat
serta teori hukum dan keadilan. Komisi
Yudisial, sebagai penjaga marwah, martabat, dan kehormatan hakim sebaiknya
mengoptimalkan perannya dalam menyeleksi calon hakim agung. Sebagai
penjaga marwah atas martabat hakim, perlu ada cetak biru yang visioner dan
realistis untuk melakukan investasi moral atau akhlakul karimah melalui
seleksi para calon hakim agung yang kompeten, profesional, berintegritas, dan
bermoral yang bertanggung jawab kepada dirinya, agamanya, bangsanya, dan
Tuhannya yang akan mengadili di hari pengadilan yang hakiki. Independensi
tanpa tanggung jawab adalah tirani dan kezaliman yang nyata. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar