”Gradak-gruduk” Samuel Mulia ; Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu |
KOMPAS, 1 Agustus 2021
Itu
adalah salah satu tabiat yang menempel di diri saya. Bahkan, sudah menjadi
ciri khas. Gradak-gruduk, panikan, berisik, maunya yang cepat, tidak sabar,
kemudian disusul dengan cepat naik pitam, apalagi setelah aktivitas
gradak-gruduk-nya tak menghasilkan apa-apa. Panik Itu
belum mendengar sumpah serapah yang meluncur tanpa kendali dari lidah tak
bertulang ini. Ia meluncur bak pemain papan selancar yang sangat mahir. Saya
sendiri tahu, dengan kondisi gradak-gruduk itu, acap kali semuanya jadi tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Anda tahu bukan, di mana ada orang
gradak-gruduk, panikan, menelepon teman, kerabat, jejaring sosial hanya untuk
mendapat bantuan, dapat fokus pada tujuannya? Mengapa
saya menuliskan kejadian di atas? Cerita itu mengungkit masa lalu saya
setelah minggu lalu, saya menjalani operasi untuk kedua kalinya di sebuah rumah
sakit. Satu hari sebelumnya, saya harus melakukan berbagai tes, termasuk tes
PCR yang wajib dilaksanakan. Saat menanti giliran, saya melihat beberapa
pasien yang mirip seperti saya. Panik, entah berbicara dengan siapa, tetapi
sangat jelas ia berbicara tentang kebingungannya. Mereka
yang harus divaksin pun tampak begitu. Berdiskusi apakah vaksin yang tepat
untuk mereka, yang membuat mereka sreg dan tak menyesalinya secara di
berbagai media sosial telah dijelaskan begitu rupa berbagai perbedaannya. Itu
juga yang membuat saya berpikir, mungkin semua yang berlebihan itu malah melahirkan kebingungan. Apalagi orang
dengan sifat seperti saya. Melihat
itu semua, saya teringat operasi yang akan saya lakukan keesokan harinya.
Sifat gradak-gruduk mulai timbul. Melihat orang lain demikian, saya seperti
mendapat sebuah undangan untuk panik bersama-sama dan bukan malah menjadi
lebih bijak. Benar.
Anda benar seratus persen. Saya mulai membayangkan apa yang akan terjadi.
Apakah saya akan terkena serangan virus ini, karena banyak saya baca, rumah
sakit adalah salah satu sarangnya. Saya seperti punya misi bunuh diri maju ke
meja operasi esok hari. Kemudian setelah otak saya panik, Tuhan pun tak saya
biarkan untuk tidak disertakan dalam kepanikan. Berdiam diri Saya
bertanya, mengapa Tuhan membiarkan saya operasi di tengah pandemi seperti
ini? Mengapa tidak di dalam situasi yang lebih aman? Kemudian mulai merasa
tidak yakin apakah dokter saya ini bagus apa enggak. Pokoknya, kalau cacing
disebut kepanasan, yaaa… itulah saya minggu lalu. Pada
suatu siang, teman saya di ”Kota Singa” mengirim renungan singkat. Kalimatnya
begini, ”Segala sesuatu ada dalam kendali-Ku. Engkau cenderung mengintip
dengan gelisah ke dalam hari yang ada di depanmu, berusaha mengetahui apa
yang harus dilakukan dan kapan. Saat engkau membiarkan Aku mengarahkan
langkah-langkahmu, engkau akan menemukan apa yang telah Ku-siapkan bagimu
hari itu.” Setelah
membaca renungan itu, otak saya mulai berpikir. ”Tuhan memang mengendalikan,
tapi kita kan gak bisa diam aja. Emang jalan keluar jatuh dari langit? Kan,
kita harus berusaha, kita harus punya rencana A, B, kalau perlu sampai Z.
Tuhan, kan, juga minta kita bekerja dan bertanggung jawab. Bukan diam dan
merenung.” Baru
saja kepala saya berpikir demikian, tiba-tiba suara hati saya yang sarkastis
berbicara nyelekit setelah lama sekali tak terdengar suaranya. ”Eh, ingat ya.
Tuhan itu enggak pernah bekerja sama ama elo, nyet. Waktu Dia mengarahkan
langkahmu itu. Dia enggak bekerja sama ama elo supaya elo setuju.” ”Ngapain
Dia kerja sama ama elo yang jalan dan strategi yang berasal dari daging yang
terbatas. Ia punya jalan sendiri yang berbeda dari jalan-jalan dan cara
berpikir elo. Berbeda dari strategi yang elo buat. Elo sendiri juga sudah tau
kalau lagi waras, kalau jalan elo beda dengan jalan-Nya, kan? Itu mengapa elo
pernah bilang ajaib banget ya Tuhan itu.” ”Sekarang
gue tanya. Elo emang tahu ajaib itu apa artinya? Ajaib itu adalah hal yang
belum pernah elo pikirkan sebelumnya, yang belum pernah elo lihat sebelumnya,
bahkan yang menurut otak elo yang gesrek itu, gak masuk akal terjadi.” ”Makanya
kalau sampai semua yang tak masuk akal itu terjadi, elo kemudian bilang itu
sebuah keajaiban. Itu bukti kalau Tuhan enggak kerja sama ama elo! Ingat, ya.
Keajaiban Ilahi itu tak pernah datang dari strategi daging. Apalagi strategi
punya elo itu!” Setelah
dikuliahi suara hati itu, saya berniat untuk melihat keajaiban itu. Maka,
saya memberanikan diri untuk berdiam diri dan membiarkan yang tak terlihat
itu mengambil alih. Sebuah aktivitas yang tak pernah saya rasakan sebagai
tantangan untuk dilakukan. Anda
mau percaya? Berbagai keajaiban yang saya terima sejak saya membiarkan yang
tak terlihat itu mengambil alih sepenuhnya. Awalnya memang deg-degan dan
hampir kumat untuk pakai otak, tetapi akhirnya hanyalah sebuah cerita
keajaiban Ilahi yang tak terlupakan. Di lain waktu saya akan bercerita
tentang hal ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar