Senin, 02 Agustus 2021

 

”Gradak-gruduk”

Samuel Mulia ;  Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu

KOMPAS, 1 Agustus 2021

 

 

                                                           

Itu adalah salah satu tabiat yang menempel di diri saya. Bahkan, sudah menjadi ciri khas. Gradak-gruduk, panikan, berisik, maunya yang cepat, tidak sabar, kemudian disusul dengan cepat naik pitam, apalagi setelah aktivitas gradak-gruduk-nya tak menghasilkan apa-apa.

 

Panik

 

Itu belum mendengar sumpah serapah yang meluncur tanpa kendali dari lidah tak bertulang ini. Ia meluncur bak pemain papan selancar yang sangat mahir. Saya sendiri tahu, dengan kondisi gradak-gruduk itu, acap kali semuanya jadi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Anda tahu bukan, di mana ada orang gradak-gruduk, panikan, menelepon teman, kerabat, jejaring sosial hanya untuk mendapat bantuan, dapat fokus pada tujuannya?

 

Mengapa saya menuliskan kejadian di atas? Cerita itu mengungkit masa lalu saya setelah minggu lalu, saya menjalani operasi untuk kedua kalinya di sebuah rumah sakit. Satu hari sebelumnya, saya harus melakukan berbagai tes, termasuk tes PCR yang wajib dilaksanakan. Saat menanti giliran, saya melihat beberapa pasien yang mirip seperti saya. Panik, entah berbicara dengan siapa, tetapi sangat jelas ia berbicara tentang kebingungannya.

 

Mereka yang harus divaksin pun tampak begitu. Berdiskusi apakah vaksin yang tepat untuk mereka, yang membuat mereka sreg dan tak menyesalinya secara di berbagai media sosial telah dijelaskan begitu rupa berbagai perbedaannya. Itu juga yang membuat saya berpikir, mungkin semua yang berlebihan itu malah  melahirkan kebingungan. Apalagi orang dengan sifat seperti saya.

 

Melihat itu semua, saya teringat operasi yang akan saya lakukan keesokan harinya. Sifat gradak-gruduk mulai timbul. Melihat orang lain demikian, saya seperti mendapat sebuah undangan untuk panik bersama-sama dan bukan malah menjadi lebih bijak.

 

Benar. Anda benar seratus persen. Saya mulai membayangkan apa yang akan terjadi. Apakah saya akan terkena serangan virus ini, karena banyak saya baca, rumah sakit adalah salah satu sarangnya. Saya seperti punya misi bunuh diri maju ke meja operasi esok hari. Kemudian setelah otak saya panik, Tuhan pun tak saya biarkan untuk tidak disertakan dalam kepanikan.

 

Berdiam diri

 

Saya bertanya, mengapa Tuhan membiarkan saya operasi di tengah pandemi seperti ini? Mengapa tidak di dalam situasi yang lebih aman? Kemudian mulai merasa tidak yakin apakah dokter saya ini bagus apa enggak. Pokoknya, kalau cacing disebut kepanasan, yaaa… itulah saya minggu lalu.

 

Pada suatu siang, teman saya di ”Kota Singa” mengirim renungan singkat. Kalimatnya begini, ”Segala sesuatu ada dalam kendali-Ku. Engkau cenderung mengintip dengan gelisah ke dalam hari yang ada di depanmu, berusaha mengetahui apa yang harus dilakukan dan kapan. Saat engkau membiarkan Aku mengarahkan langkah-langkahmu, engkau akan menemukan apa yang telah Ku-siapkan bagimu hari itu.”

 

Setelah membaca renungan itu, otak saya mulai berpikir. ”Tuhan memang mengendalikan, tapi kita kan gak bisa diam aja. Emang jalan keluar jatuh dari langit? Kan, kita harus berusaha, kita harus punya rencana A, B, kalau perlu sampai Z. Tuhan, kan, juga minta kita bekerja dan bertanggung jawab. Bukan diam dan merenung.”

 

Baru saja kepala saya berpikir demikian, tiba-tiba suara hati saya yang sarkastis berbicara nyelekit setelah lama sekali tak terdengar suaranya. ”Eh, ingat ya. Tuhan itu enggak pernah bekerja sama ama elo, nyet. Waktu Dia mengarahkan langkahmu itu. Dia enggak bekerja sama ama elo supaya elo setuju.”

 

”Ngapain Dia kerja sama ama elo yang jalan dan strategi yang berasal dari daging yang terbatas. Ia punya jalan sendiri yang berbeda dari jalan-jalan dan cara berpikir elo. Berbeda dari strategi yang elo buat. Elo sendiri juga sudah tau kalau lagi waras, kalau jalan elo beda dengan jalan-Nya, kan? Itu mengapa elo pernah bilang ajaib banget ya Tuhan itu.”

 

”Sekarang gue tanya. Elo emang tahu ajaib itu apa artinya? Ajaib itu adalah hal yang belum pernah elo pikirkan sebelumnya, yang belum pernah elo lihat sebelumnya, bahkan yang menurut otak elo yang gesrek itu, gak masuk akal terjadi.”

 

”Makanya kalau sampai semua yang tak masuk akal itu terjadi, elo kemudian bilang itu sebuah keajaiban. Itu bukti kalau Tuhan enggak kerja sama ama elo! Ingat, ya. Keajaiban Ilahi itu tak pernah datang dari strategi daging. Apalagi strategi punya elo itu!”

 

Setelah dikuliahi suara hati itu, saya berniat untuk melihat keajaiban itu. Maka, saya memberanikan diri untuk berdiam diri dan membiarkan yang tak terlihat itu mengambil alih. Sebuah aktivitas yang tak pernah saya rasakan sebagai tantangan untuk dilakukan.

 

Anda mau percaya? Berbagai keajaiban yang saya terima sejak saya membiarkan yang tak terlihat itu mengambil alih sepenuhnya. Awalnya memang deg-degan dan hampir kumat untuk pakai otak, tetapi akhirnya hanyalah sebuah cerita keajaiban Ilahi yang tak terlupakan. Di lain waktu saya akan bercerita tentang hal ini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar